Charles Adriaan van Ophuysen – begitu nama lengkapnya – lahir di Solok, Sumatera Barat, pada 260 tahun 1856. Tumbuh di lingkungan pribumi membuat Belanda totok ini gemar mempelajari Bahasa berbagai suku di Hindia Belanda, terutama Bahasa Melayu. Pada 1879, ia menerbitkan buku yang berjudul Kijkjes in Het Huiselijk Leven Volkdicht (Pengamatan Selintas Kehidupan Kekeluargaan Suku Batak) dan Maleische Spraakkunst (Tata Bahasa Melayu). Pada 1904 pemerintah kolonial mengangkatnya menjadi guru besar ilmu bahasa dan kesusastraan Melayu di Universitas Leiden.
Tigabelas tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1917, Charles Adriaan van Ophuysen meninggal dunia. Namun karya besarnya sebagai ahIi linguistik tetap bertahan hingga tiga dekade kemudian, dan sempat menjadi media bagi tumbuhnya perkembangan sastra Indonesia modern, khususnya angkatan Balai Pustaka dan Poedjangga Baroe.
Ejaan van Ophuysen berlaku di masa penjajahan Belanda sampai tahun 1947. Ejaan ini turut mempengaruhi perkembangan bahasa dan sastra Indonesia. Sebelum ada ejaan van Ophuysen, tata Bahasa Indonesia masih berupa ejaan bahasa Melayu dengan huruf latin. Rancangan ejaan baru itu disusun van Ophuysen bersama Engku Nawawi gelar Soetan Ma’moer dan Moehammad Taib Sutan Ibrahim, pada tahun 1896.
Pedoman tata bahasa yang dikenal dengan nama Ejaan van Ophuysen itu resmi diakui pemerintah kolonial pada tahun 1901. Ketika pada tahun 1947 pemerintah RI menggunakan secara resmi Ejaan Suwandi, toh ejaan yang baru itu sebagian besar tetap berlandaskan pada aturan-aturan menurut Ejaan van Ophuysen.