1. Pada masa revolusi
Ketika Jepang sudah kalah dalam perang Asia Pasifik, maka disaat itulah Jepang menjanjikan kemerdekaan kepada Indonesia. Pada tanggal 9 April 1945 dibentuk Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI). BPUPKI terdiri atas 38 orang anggota, yang terdiri dari 8 orang Jepang dan 15 orang dari golongan Islam dan selebihnya dari golongan nasionalis sekuler dan priyayi Jawa.
Tugas BPUPKI adalah merumuskan bentuk negara, batasan negara, dasar filsafat negara, dan masalah-masalah lain yang perlu dimasukkan dalam konstitusi. Dalam sidang-sidangnya BPUPKI mengalami berbagai perdebatan ideologis yang sengit antara golongan Islam dengan golongan nasional sekuler tentang dasardasar negara yang akan diberlakukan di negara yang akan berdiri. Sebenarnya yang diperjuangkan oleh para tokoh Islam bukanlah realisasi negara Islam, tetapi lebih tepat pada adanya jaminan terhadap pelaksanaan syariat ajaran-ajaran Islam. Sedangkan golongan nasionalis yang dipelopori Sukarno dan Muhammad menghendaki negara persatuan nasional yang memisahkan urusan negara dan urusan Islam.
Untuk meredam perpecahan, akhirnya disepakati untuk membentuk “Panitia Sembilan” yang terdiri dari lima orang dari golongan sekuler, yaitu Sukarno, Muhammad Hatta, Achmad Subarjo, Muhammad Yamin dan A.A Maramis. Sedangkan golongan Islam diwakili oleh H. Agus Salim, Kiai Wahid Hasyim, Abikusno, dan Abdul Kahar Mudzakir.8 Setelah bergumul selama lebih kurang 21 hari, akhirnya pada 22 Juni 1945 suatu sintesis dan kompromi politik dapat diwujudkan antara dua pola pemikiran yang berbeda. Sintesis inilah yang kemudian dikenal dengan Piagam Jakarta. Dalam piagam ini terdapat anak kalimat pengiring pada sila pertama: “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Pada waktu proklamasi tanggal 17 Agustus 1945, Piagam Jakarta sama sekali tidak digunakan. Sukarno-Hatta justru membuat teks proklamasi yang lebih singkat karena ditulis dengan tergesa-gesa. Kompromi politik dalam bentuk Piagam Jakarta rupanya hanya mampu bertahan selama 57 hari. Anak kalimat pengiring yang terdiri dari tujuh atau delapan perkataan tersebut dirasakan oleh sebagian bangsa kita di belahan Timur sebagai diskriminatif terhadap pemeluk agama lain. Perlu diketahui, menjelang kemerdekaan, setelah Jepang tidak dapat menghindari kekalahan dari tentara sekutu, BPUPKI ditingkatkan menjadi Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Berbeda dengan BPUPKI yang khusus untuk pulau Jawa, PPKI merupakan perwakilan daerah seluruh kepulauan Indonesia.
Dalam suasana seperti itu, M. Hatta dalam sidang PPKI setelah kemerdekaan berhasil dengan mudah meyakinkan anggota bahwa hanya suatu konstitusi “sekuler” yang mempunyai peluang untuk diterima oleh mayoritas rakyat Indonesia. Maka demi persatuan bangsa, akhirnya anak kalimat itu pada tanggal 18 agustus 1945 dibuang dari pembukaan UUD 1945. Tujuh kata dalam anak kalimat yang tercantum dalam sila pertama Pancasila dengan segala konsekuensinya dihapuskan dari konstitusi. Bahkan kantor urusan agama seperti yang diperoleh Islam selam pendudukan Jepang, oleh panitia pun ditolak.
Oleh golongan nasionalis “sekuler” keputusan itu dianggap sebagai gentleman’s agrement kedua yang menghapuskan Piagam Jakarta sebagai gentleman’s agrement pertama. Sementara itu, keputusan yang sama dipandang oleh golongan nasionalis Islam sebagai mengkhianati gentleman’s agrement itu sendiri. Para nasionalis Islam mengetahui bahwa Indonesia Merdeka yang mereka perjuangkan dengan penuh perngorbanan itu, jangankan berdasarkan Islam, Piagam Jakarta pun tidak. Hal tersebut menyebabkan kekecewaan yang luar biasa bagi para nasionalis Islam.
Yang sedikit agak melegakan hati umat Islam adalah keputusan Komite Nasional Islam Pusat (KNIP), pengganti PPKI, yang bersidang tanggal 25, 26, dan 27 November 1945. Komite yang dipimpin oleh Sultan Syahrir, pimpinan utama Partai Sosialis Indonesia (PSI) itu antara lain membahas usul agar dalam Indonesia merdeka ini soal-soal keagamaan digarap oleh satu kementrian tersendiri dan tidak lagi diperlakukan sebagai bagian tangung jawab Kementerian Pendidikan. Sedikit banyak keputusan tentang kementerian Agama ini merupakan semacam konsesi kepada kaum muslimin yang bersifat kompromi.
Setelah wakil Presiden mengeluarkan maklumat no.x tentang diperkenankannya mendirikan partai-partai politik, tiga kekuatan yang sebelumnya bertikai muncul kembali. Pada tanggal 7 November 1945 Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) lahir sebagai wadah aspirasi umat Islam, 17 Desember 1945 Partai Sosialis yang mengkristalisasikan falsafah hidup Markis berdiri, dan 29 Januari 1946, Partai Nasional Indonesia (PNI) yang mewadahi cara hidup nasionalis “sekuler” pun muncul. Partaipartai yang berdiri sesudah itu dapat dikategorikan ke dalam tiga aliran utama ideologi yang terdapat di Indonesia di atas. Partaipartai Islam setelah merdeka selain Masyumi adalah Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII) yang keluar dari Masyumi tahun 1947, Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), dan Nahdlatul Ulama (NU) yang keluar dari Masyumi tahun 1952. Dalam masa-masa revolusi, konflik ideologi di atas memunculkan tiga alternatif dasar negara: Islam, Pancasila, dan Sosial Ekonomi. Tetapi, dalam perjalanan sidang-sidang konstituante itu, perdebatan ideologis mengenai unsur dasar negara terkristal menjadi Islam dan Pancasila.
2. Masa demokrasi parlementer
Setelah penyerahan kedaulatan 27 Desember 1949, sejarah politik Indonesia memasuki babak baru dengan diterapkannya sistem demokrasi parlementer dan konstitusi UUD RIS 1949 yang kemudian diganti dengan UUDS 1950. Pada tahun 1950-1957 ditandai dengan jatuh bangunnya partai-partai politik yang berumur rata-rata kurang dari setahun. Setelah NU keluar dari Masyumi, parpol Islam diwakili oleh Masyumi, NU, PSII, dan Perti. Ciri lainnya tidak satu pun parpol yang mayoritas. Pada masa revolusi, PNI dan Masyumi sering mengadakan kerjasama, namun pada masa ini hubungannya tidak serasi lagi, bahkan dalam saat-saat tertentu sama sekali terputus.
Peranan partai politik Islam dalam kabinet-kabinet pada kurun waktu itu mengalami pasang surut, seiring dengan jatuh bangunnya kabinet. Dalam kabinet Hatta (1950), Masyumi memperoleh jatah empat kursi menteri. PSII dan Perti tidak masuk. Sedang dalam kabinet Natsir (1950-1951), yang merupakan kabinet pertama yang dipimpin oleh Masyumi, duduk 4 orang dari Masyumi dan 2 dari PSII. Dalam kabinet Sukiman (1951-1952) yang merupakan koalisi Masyumi dan PNI, kedua belah pihak memeperoleh jatah lima kursi, sedangkan PSII dan Perti tidak disertakan. Berikutnya, dalam kabinet Wilopo (1952-1953), Masyumi mendapat jatah 4 kursi, termasuk menteri agama (Fakih Utsman dari Muhammadiyah). Wilopo (PNI) ditunjuk setelah Prawoto (Masyumi) dan Sidik (PNI) gagal membentuk kabinet. Kabinet Ali Sastroamijoyo I (1953-1955) mengikut sertakan wakil NU atas nama organisasinya, ikut dalam pemerintahan. Kabinet Ali I jatuh, dan digantikan oleh kabinet Burhanuddin Harahap (1955-1956) dari Masyumi dengan tugas khusus menyelenggarakan pemilu 1955. Setelah hasil PEMILU tahun 1955 ini secara resmi kabinet Burhanuddin bubar.
Pemilu 1955 menghasilkan empat partai besar, yaitu PNI, Masyumi, NU, dan PKI. Tidak ada yang menang mayoritas. PNI urutan pertama denagn 22,3% suara, Masyumi 20,9% suara, NU 18,4%, sedangkan sisa terbagi di antara partai-partai kecil lainnya
3. Masa demokrasi terpimpin
Usaha partai-partai Islam untuk menegakkan Islam sebagai ideologi negara di dalam konstituante mengalami jalan buntu. Demikian juga dengan Pancasila, yang oleh umat Islam waktu itu, dipandang sebagai milik kaum “anti Islam” ;setidak-tidaknya di dalam konstituante. Memang kesempatan untuk menyelesaikan tugas konstituante masih terluang, namun pekerjaannya diakhiri dengan Dekrit Presiden 1959, konstituante dinyatakan bubar dan UUD 1945 dinyatakan berlaku kembali. Dalam konsideran Dekrit itu disebutkan bahwa Piagam Jakarta menjiwai dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan UUD 1945. Jelas, Dekrit sebenarnya ingin mengambil jalan tengah. Tapi dekrit itu sendiri menandai bermulanya sutau era baru, Demokrasi Terpimpin, 19 yang sebelumnya, Bung Karno dalam berbagai kesempatan, mencela pemerintahan banyak partai. Baginya sistem parlementer tidak sesuai dengan alam pikiran Indonesia. Oleh karena itu, sistem ini harus diganti dengan sistem politik lain yaitu demokrasi terpimpin. Sejak tahun 1957 Sukarno sudah berusaha melancarkan sistem parlementer dengan menciptakan sebuah sistem “Demokrasi Terpimpin”, ia merancang pembentukan sebuah kabinet termasuk di dalamnya dewan komunis dan nasionalis untuk mewakili kepentingan kelompok pekerja, petani, pemuda, dan kelompok regional. Pergantian kekuasaan ini menjadikan pengaruh Komunis tersebar luas, membangkitkan kekhawatiran keinginan pihak Muslim atas otonomi regional. Para pemuka militer di Sumatera dan Sulawesi dan tokoh-tokoh juru bicara Muslim yang mewakili partai Masyumi, termasuk Muhammad Natsir, pimpinan partai ini, menentang rencana tersebut dan membentuk sebuah pemerintahan revolusioner Republik Indonesia. Pemerintahan revolusioner tersebut kalah, dan pada bulan Juli 1959 Sukarno membubarkan majelis konstituante dan mengumumkan pernyataan kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945. Seminggu setelah dekrit 5 Juli 1959, Sukarno mengumumkan kabinetnya yang baru, menggantikan Kabinet Juanda.
Kabinet Juanda adalah kabinet peralihan dari periode Demokrasi Parlementer ke Demokrasi Terpimpin. Demokrasi gaya baru ini memang sudah lama ia dambakan, tapi karena posisinya tidak kokoh, sistem inilah yang membawanya kepada kehancuran untuk selamanya. Lebih jauh ia mengantarkan negeri ini kepada kehancuran ekonomi sebagai akibat dari pengeluaran yang sangat besar dan akumulasi hutang asing yang membengkak.
Demokrasi terpimpin ini membawa kehidupan demokratis terancam dan berada dalam krisis. Masyumi yang sangat ketat berpegang kepada konstitusi, yang selalu melancarkan kritik tajam dianggap sebagai perintang revolusi pada bulan Agustus 1960 diperintahkan presiden Sukarno bubar. Sedangkan NU dan Perti tetap diizinkan untuk eksis dalam setiap pemilu, karena mereka mendukung Demokrasi terpimpin. Sementara itu, organisasi anggota Masyumi seperti Muhammadiyah, Mathla’ul Anwar, al-Ittuhadiyah, al-Jami’ah alWashliyah, al-Irsyad, dan Persatuan Islam (Persis), sebelum Masyumi dibubarkan, dengan penuh pengertian kedua belah pihak, mengundurkan diri dari partai.
Jadi, secara garis besar, ada dua kelompok partai Islam saat itu. Kelompok pertama Masyumi yang memandang keikutsertaan dalam sistem politik otoriter sebagai penyimpangan dari ajaran Islam. Kelompok kedua, yakni liga Muslim (NU, PSII, dan Perti), berpandangan bahwa turut serta dalam demokrasi terpimpin adalah sikap realistis dan pragmatis
Referensi
Rifat Husnul Ma’afi. Politik Islam di Indonesia pasca kemerdekaan hingga demokrasi terpimpin. Surabaya: Jurnal humum dan perundangan Islam. Institut Studi Islam Darussalam. 2013
Thaba, Abdul Aziz. Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru. Jakarta: Gema Insani Press, 1996.
Lapidus, Ira. M. Sejarah Sosial Ummat Islam bagian ke III. Jakarta: PT RajaGRafindo Persada, 2000.