Legenda Samba Paria

Samba` Paria adalah seorang gadis cantik jelita yang tinggal bersama adiknya di sebuah rumah panggung di tengah hutan di daerah Mandar, Sulawesi Barat, Indonesia. Pada suatu hari, Raja Mandar bersama beberapa orang pengawalnya menculik Samba` Paria. Mengapa Raja Mandar menculiknya? Lalu bagaimana nasib Samba` Paria selanjutnya? Temukan jawabannya dalam cerita Samba` Paria berikut ini.

 

Alkisah,

Di daerah Mandar, Sulawesi Barat, hidup seorang gadis cantik jelita bersama seorang adiknya yang masih berumur sepuluh tahun. Kedua kakak beradik itu adalah yatim piatu. Mereka hidup rukun dan saling menyayangi. Mereka tinggal di sebuah rumah panggung peninggalan orang tua mereka yang berada di tengah hutan belantara, jauh dari permukiman penduduk. Dari kejauhan, rumah mereka hampir tidak kelihatan, karena selain tertutupi pepohonan rindang di sekitarnya, juga diselubungi oleh tanaman paria (pare) yang menjalar mulai dari tiang, tangga, dinding, hingga ke atap rumahnya. Itulah sebabnya, gadis cantik itu dipanggil “Samba` Paria”, yang berarti perempuan yang rumahnya diselubungi tanaman paria.

Pada suatu hari, Samba` Paria bersama adiknya sedang asyik menyantap makanan jepa[1] di dalam rumah. Tanpa disengaja, ketika sang Adik akan memasukkan jepa ke dalam mulutnya, tiba-tiba terlepas dari tangannya dan langsung jatuh ke tanah. Mereka membiarkan jepa itu di tanah, karena kotor dan tidak layak lagi untuk dimakan.

Pada waktu yang hampir bersamaan, rombongan maraqdia (raja) dari daerah pesisir Tanah Mandar sedang berburu binatang di hutan itu. Mereka datang dengan menunggangi kuda dan membawa serta beberapa ekor anjing pemburu yang sudah terlatih. Saat berada di tengah hutan, tidak jauh dari rumah Samba` Paria, mereka melepaskan tali anjing-anjing pemburu tersebut dan membiarkannya pergi mencari mangsa. Pada saat anjing-anjing tersebut terlepas, terdengarlah suara gonggongan anjing memecah kesunyian hutan.

Tidak berapa lama kemudian, seekor anjing kesayangan sang Raja telah kembali sambil menggigit sesuatu di mulutnya.

“Pengawal! Cepat ambil benda itu dan bawa kemari!” titah sang Raja yang sedang duduk beristirahat di bawah sebuah pohon.

“Hamba laksanakan, Tuan,” jawab seorang pengawal lalu menghampiri anjing itu.

Setelah mengambil benda itu, si pengawal segera menyerahkannya kepada sang Raja.

“Ampun, Tuan! Benda ini ternyata sepotong jepa yang masih hangat,” lapor pengawal itu sambil menyerahkan jepa itu kepada raja.

“Apa katamu? Jepa hangat? Dari mana anjing itu mendapat jepa hangat di tengah hutan belantara seperti ini?” tanya sang Raja penuh keheranan.

Sang Raja yakin bahwa orang yang membuat jepa itu pasti berada di sekitar hutan tersebut. Oleh karena penasaran, ia pun memberikan isyarat kepada anjingnya agar mengantarnya ke tempat di mana ia memperoleh jepa hangat itu. Akhirnya, anjing yang sudah mengerti maskud tuannya itu segera berlari sambil menggonggong menuju ke sebuah tempat. Sang Raja pun mengikutinya dari belakang dengan menunggangi kuda putih kesayangannya. Kemudian disusul oleh beberapa orang pengawal raja.

Tidak berapa lama, sampailah mereka di depan rumah Samba` Paria yang diselubungi tanaman pare. Sang Raja hampir tidak percaya melihat sebuah rumah di tengah hutan belantara itu. Oleh karena sudah tidak sabar ingin mengetahui penghuni rumah itu, ia pun segera menaiki beberapa anak tangga.

“Permisi… apakah ada orang di dalam?” tanya sang Raja sambil mengetuk pintu.

Beberapa saat kemudian, pintu rumah itu terbuka pelan-pelan. Alangkah terkejutnya sang Raja saat melihat seorang gadis cantik jelita berdiri di hadapannya.

“Aduhai… cantiknya gadis ini,” ucap sang Raja dalam hati dengan takjub.

Saat itu pula, hati sang Raja tiba-tiba berdetak kencang. Rupanya, ia menaruh hati kepada gadis itu. Hati Samba` Paria pun bergetar tidak karuan. Tetapi bukan karena jatuh hati, melainkan karena ia tahu bahwa orang yang sedang berdiri di depannya adalah seorang raja. Ia mengetahui hal itu, karena melihat pakaian yang dikenakannya dipenuhi perhiasan emas yang berkilauan. Samba` Paria pun bertambah yakin ketika melihat kuda yang ditunggangi orang itu berwarna putih. Di daerah Mandar pada masa itu, kuda berwarna putih merupakan kuda yang sangat istimewa yang hanya ditunggangi oleh raja dan kalangan ningrat kerajaan.

“Silahkan masuk, Tuan!” Samba` Paria mempersilahkan sang Raja sambil memberi hormat.

”Terima kasih, gadis cantik! Kalau boleh aku tahu, siapa namamu dan kamu tinggal bersama siapa di rumah ini?” tanya sang Raja.

“Ampun, Tuan! Hamba Samba` Paria. Hamba tinggal di rumah ini bersama adik hamba yang masih berumur sepuluh tahun,” jawab Samba` Paria.

“Aku adalah raja negeri ini. Aku bersama beberapa orang pengawalku sedang berburu binatang di hutan ini,” kata sang Raja memperkenalkan dirinya.

“O, iya. Aku sangat haus, bolehkah aku minta air minum?” pinta sang Raja.

Samba` Paria pun segera menyuruh adiknya untuk mengambilkan air untuk sang Raja. Setelah adiknya masuk ke dapur, ternyata persediaan air minum mereka telah habis.

`Ampun, Tuan! Kebetulan persediaan air minum hamba telah habis. Tapi, jika Tuan berkenan menunggu, hamba akan menyuruh adik hamba untuk mengambil air minum di sungai yang terletak di balik gunung,” kata Samba` Paria.

“Dengan senang hati, aku akan menunggu di sini. Apalagi ada gadis cantik menemaniku,” ucap sang Raja mulai merayu.

Saat itu, tiba-tiba muncul niat buruk sang Raja ingin menculik Samba` Paria untuk dijadikan Permaisurinya. Sebelum adik Samba` Paria berangkat ke sungai, sang Raja melubangi tempat air yang biasa digunakan Samba` Paria. Sang Raja melakukan hal itu, agar anak kecil itu berlama-lama di sungai. Sebab, tidak mungkin anak itu dapat mengisi wadah air yang berlubang.

Beberapa saat setelah adik Samba` Paria berangkat ke sungai, sang Raja pun tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Ia segera memerintahkan beberapa pengawalnya yang menunggu di depan rumah agar membawa gadis cantik itu ke istana.

“Ampun, Tuan! Jangan bawa hamba ke istana! Kasihan adik hamba jika ditinggal sendirian di sini,” kata Samba` Paria mengiba kepada sang Raja.

“Ah, biarkan dia sendirian di sini dimakan binatang buas,” ucap sang Raja dengan nada ketus.

“Pengawal! Bawa segera calon permaisuriku ini!” titah sang Raja.

“Baik, Tuan!” jawab para pengawal serentak dan segera melaksanakan perintah.

Samba` Paria pun mulai bingung, karena adiknya belum juga pulang dari sungai. Sang Adik pasti akan mencarinya jika para pengawal itu membawanya ke istana. Ia pun segera mencari cara agar dapat meninggalkan jejak, sehingga adiknya dapat mengetahui ke mana arah perginya.

”Ampun, Tuan! Sebelum Tuan membawa hamba, bolehkah hamba mengajukan satu permintaan?” pinta Samba` Paria.

“Apakah itu? Katakanlah!” seru sang Raja.

“Bolehkah hamba membawa beberapa lembar daun paria? Hamba sangat senang makan sayur daun paria,” ungkap Samba` Paria.

Sang Raja pun memenuhi permintaan Samba` Paria. Setelah memetik puluhan lembar daun paria, Samba` Paria pun dibawa ke istana dengan menggunakan kuda. Dalam perjalanan menuju ke istana raja, Samba` Paria merobek-merobek daun paria itu lalu membuangnya di sepanjang jalan yang dilaluinya agar adiknya dapat mengetahui jejaknya. Setelah menempuh perjalanan selama setengah hari, Samba` Paria bersama rombongan raja tiba di istana raja.

Sementara itu adik Samba` Paria baru saja kembali dari sungai tanpa membawa air minum sedikit pun. Sesampai di depan rumahnya, ia melihat pintu rumahnya tertutup rapat.

“Kenapa sepi begini? Apakah rombongan raja itu sudah pergi?” tanyanya dalam hati.

Dengan pelan-pelan, anak itu menaiki anak tangga rumahnya satu per satu. Setelah berada di depan pintu, ia pun berteriak memanggil kakaknya.

“Kak… ! Kak Samba`… ! Adik pulang…!”

Berkali-kali ia berteriak, namun tidak mendapat jawaban dari kakaknya. Akhirnya ia pun langsung membuka pintu. Alangkah terkejutnya anak itu setelah mengetahui kakaknya tidak ada di dalam rumah. Ia kemudian mencarinya di sekitar rumah, namun tidak juga menemukan kakaknya.

“Ka…. kak…, kamu di mana?” anak itu menangis tersedu-sedu sambil duduk di depan rumahnya.

Beberapa saat kemudian, pandangan anak itu tertuju pada sobekan daun paria yang berserakan di sepanjang jalan di depan rumahnya. Akhirnya, ia pun mengerti bahwa kakaknya dibawa pergi oleh rombongan raja tersebut.

Tanpa berpikir panjang lagi, ia pun mengikuti sobekan daun paria itu untuk mencari kakaknya. Setelah menempuh perjalanan selama dua hari, akhirnya sampailah ia di rumah raja. Sebuah rumah panggung yang sangat megah.

“Kak…! Kak Samba`…!” teriak anak itu di samping rumah raja.

Setelah berteriak berkali-kali dan tidak mendapat jawaban, akhirnya anak itu berkata:

“Jika Kakak tidak sudi menemui Adik, perlihatkanlah separuh wajah Kakak di jendela!” pintanya.

Namun, dari atas rumah itu, sang Raja justru memperlihatkan padanya wajah kucing. Sementara Samba` Paria dikurung dalam kamar agar tidak keluar menemui adiknya. beberapa saat kemudian, anak itu berkata lagi.

“Jika Adik tidak boleh melihat wajah Kakak, perlihatkanlah tangan Kakak!”

Hati anak itu hancur, karena sang Raja memperlihatkan kaki depan kucing kepadanya. Lalu ia berkata lagi.

“Jika Kakak masih menyayangi Adik, tunjukkanlah kaki Kakak!”

Benar-benar malang nasib anak itu. Sang Raja kembali memperlihatkan kaki belakang kucing kepadanya. Oleh karena mengira sang Kakak tidak sudi lagi menemuinya, akhirnya anak kecil itu berpesan.

“Baiklah, jika Kakak tidak sudi menemui Adik, Adik akan pulang ke rumah. Adik akan menanam sebatang pohon kelor di sini. Jika batang kelor ini layu berarti Adik sedang sakit keras. Dan, jika batang kelor ini mati, berarti Adik juga sudah mati,” kata anak itu lalu bergegas pergi dengan perasaan sedih dan kecewa.

Samba` Paria hanya bisa menangis mendengar semua pesan terakhir adiknya dari dalam rumah itu. Ia selalu mengkhawatirkan nasib adiknya yang tinggal sendiri di tengah hutan. Untuk mengetahui keadaan adiknya, setiap hari ia mengintip batang kelor itu melalui jendela rumah. Semakin hari batang kelor itu semakin layu. Hal itu menunjukkan bahwa adik Samba` Paria sedang sakit keras. Mengetahui kondisi itu, Samba` Paria mulai panik. Ia pun segera mencari cara agar bisa melarikan diri dari istana raja.

Pada suatu hari, saat sang Raja pergi berburu, Samba` Paria memasak nasi dan lauk sebanyak-banyaknya, karena ia berniat untuk melarikan diri. Setelah semua makanan sudah matang, ia lalu mengajak dayang-dayang istana pergi mandi di sungai yang berada tidak jauh dari istana. Ketika sedang asyik mandi, Samba` Paria sengaja membuang cincin pemberian sang Raja kepadanya ke dalam air.

“Tolong… tolong… cincinku jatuh ke dalam air!” teriak Samba` Paria.

Mendengar teriakan tuannya itu, dayang-dayang tersebut segera melompat ke dalam sungai. Mereka harus menemukan cincin itu. Jika tidak, mereka pasti akan dihukum oleh sang Raja. Pada saat dayang-dayang tersebut menyelam di dalam air, Samba` Paria segera mengenakan pakaiannya dan mengambil bungkusan makanannya, lalu menunggang kuda hendak menemui adiknya yang dikiranya sudah meninggal.

Sesampai di rumahnya, ia mendapati adiknya sedang sekarat. Dengan panik, ia pun segera membuka bungkusan makanan yang dibawanya lalu menyuapi adiknya. Meskipun dengan pelan-pelan, adiknya masih bisa mengunyah dan menelan makanan itu. Akhirnya, sang Adik pun perlahan-lahan pulih dan sudah bisa diajak berbicara. Namun hal itu belum membuat hati Samba` Paria menjadi tenang, karena Raja Mandar pasti akan menyusul dan membawanya kembali ke istana.

Samba` Paria pun segera menghaluskan biji cabe rawit, merica, dan daun kelor sebanyak-banyaknya. Setelah itu, ia mencampurnya dengan abu dapur, lalu memberinya air sehingga bentuknya seperti adonan kue.

Tidak lama kemudian, Raja Mandar benar-benar datang mencarinya. Sang Raja langsung naik ke rumah dan mengetuk pintu.

“Hei, Samba` Paria, buka pintunya! Kalau tidak, aku dobrak pintu ini!” seru sang Raja yang sudah berdiri di depan pintu dengan geram.

Samba` Paria pun segera membuka pintu rumahnya sambil membawa wadah dari tempurung kelapa yang berisi adonan cabe rawit, abu, daun kelor dan merica. Saat pintu terbuka, ia langsung menyiramkan adonan tersebut kepada kedua mata sang Raja. Raja itu pun langsung menjerit menahan rasa perih sambil mengusap-usap kedua matanya. Tanpa disadari, tiba-tiba kakinya terpeleset dan akhirnya jatuh terjungkal-jungkal ke tanah. Raja itu pun tewas seketika, karena tulang lehernya patah terpental di tangga rumah Samba` Paria. Sejak itu, Samba` Paria pun kembali hidup damai, rukun, dan tenang bersama adiknya.

* * *

Demikian cerita Samba` Paria dari daerah Tinambung, Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Cerita di atas termasuk kategori legenda yang mengandung pesan-pesan moral. Setidaknya ada dua pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas, yaitu: keutamaan sifat saling menyayangi dan akibat buruk dari sifat kasar langgar (kurang ajar).

Pertama, keutamaan sifat saling menyayangi. Sifat ini tercermin pada perilaku Samba` Paria dan adiknya. Mereka senantiasa saling menyayangi dan menjaga antara satu dengan yang lain. Hal ini tampak pada usaha Samba` Paria yang mencari-cari agar bisa melarikan dari istana raja untuk menemui adiknya yang sedang sakit keras. Dari sini dapat diambil sebuah pelajaran bahwa kekuatan kasih dan sayang dapat menimbulkan ide-ide yang dapat menyelamatkan seseorang dari kezaliman orang lain. Dalam kehidupan orang Melayu, sifat kasih sayang ini sangat diutamakan, karena dapat membina kerukunan dan menghindari perselisihan antar sesama. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:

berbuah kayu di tengah padang
daunnya rimbun tempat berteduh
bertuah Melayu berkasih sayang
hidup rukun sengketa menjauh

Kedua, akibat buruk sifat kasar langgar (kurang ajar). Sifat ini tercermin pada perilaku Raja Mandar yang telah menculik dan memaksa Samba` Paria untuk dijadikan permaisurinya. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:

binasa diri kasar langgar,
binasa badan kurang ajar