Kisah Bujang Kirai yang Pemberani

Bujang Kirai seorang remaja lelaki yang baik hati dan sakti mandraguna. Ia adalah keponakan Raja Sutan Panduko dari Negeri Muaro Bodim, Sumatera Barat. Suatu ketika, ia diutus oleh ibunya untuk membebaskan sang paman, Sutan Panduko, yang ditawan oleh Raja Baduatai dari Kerajaan Ampu Baroyo. Mampukah Bujang Kirai membebaskan pamannya? Ikuti kisahnya dalam cerita Bujang Kirai yang Pemberani berikut ini!

* * *

Dahulu, di sekitar pesisir barat daerah Sumatra Barat ada seorang raja muda dan tampan bernama Sutan Panduko. Ia adalah raja yang adil dan bijaksana sehingga negerinya pun makmur. Seluruh rakyat sangat mencintainya. Sifat raja yang baik itu berkat bimbingan kakaknya yang bernama Siti Asanah. Siti Asanah mempunyai seorang putra bernama Bujang Kirai. Perempuan yang terkenal arif ini senantiasa mendidik putranya dengan ajaran moral dan budi pekerti sesuai dengan ajaran agama dan adat. Selain itu, Siti Asanah juga membekali anaknya dengan kesaktian ilmu bela diri.

Suatu hari, terdengar kabar bahwa Raja Baduatai yang terkenal kejam dari Kerajaan Ampu Baroyo hendak mengadakan sayembara adu ayam guna mencarikan jodoh untuk putrinya yang bernama Putri Sawang Dilangit. Sutan Panduko yang masih bujangan berniat untuk mengikuti sayembara tersebut. Niat itu ia sampaikan kepada kakaknya. Mulanya, Siti Asanah mencegahnya karena ia tahu sifat dan perengai Raja Baduatai.

“Jangan, Adikku. Bukankah kamu tahu sendiri siapa Raja Baduatai? Aku tidak ingin terjadi sesuatu kepada dirimu,” cegah Siti Asanah.

“Tapi, saya mendengar kabar bahwa Putri Sawang Dilangit adalah putri yang baik dan rendah hati. Jika berhasil memenangi sayembara itu, saya akan memboyongnya ke istana ini,” kata Sutan Panduko.

Sejenak, Siti Asanah terdiam, lalu berkata kepada adiknya.

“Baiklah, kalau itu keinginanmu. Tapi, ingat! Kamu harus berhati-hati saat berhadapan dengan Raja Baduatai yang zalim dan serakah itu!” pesan Siti Asanah.

Sutan Panduko segera mempersiapkan segala sesuatunya, termasuk ayam kurik rintik kesayangannya. Ayam jago miliknya itu terkenal sakti dan sudah berkali-kali memenangi pertandingan adu ayam. Dengan percaya diri, Sutan Panduko segera menuju Kerajaan Ampu Baroyo. Setiba di sana, para peserta dari berbagai negeri telah berkumpul. Di antara peserta, hadir pula seorang raja bernama Sutan Dihulu yang terkenal licik.

Keesokan harinya, pertandingan sabung ayam dimulai. Para peserta telah berkumpul di arena pertandingan di halaman istana. Raja Baduatai bersama permaisuri dan putrinya telah hadir untuk menyaksikan jalannya pertandingan. Para penonton dari berbagai kalangan sudah berdatangan untuk memberi semangat kepada jagoan masing-masing.

Sesaat kemudian, gong pun dibunyikan sebagai tanda dimulainya pertandingan. Satu per satu para peserta masuk ke arena pertandingan untuk mengadu ayam jago masing-masing. Selama pertandingan berlangsung, sang Putri terlihat tegang dan berharap-harap cemas menanti siapa yang bakal menjadi pendamping hidupnya.

“Ya Tuhan! Siapapun pemenang pertandingan ini, hamba berharap dia adalah calon suami yang baik, arif, dan bijaksana,” doa Putri Sawang Dilangit.

Pertandingan sabung ayam itu telah berlangsung selama 3 jam. Sudah banyak ayam yang berguguran di arena pertadingan. Kini, tinggal ayam jago milik Sutan Panduko dan Sutan Dihulu yang bertahan. Keduanya pun siap untuk ditarungkan. Mulanya, ayam jago milik Sutan Dihulu menyerang terlebih dahulu. Serangannya bertubi-tubi hingga ayam jago milik Sutan Panduko kewalahan menghindari serangan itu. Ketika ayam jago Sutan Dihulu mulai kelelahan, ayam kurik rintik berbalik menyerang. Dengan sekali terjang, ayam Sutan Dihulu pun jatuh tersungkur di tanah dan tewas seketika.

Melihat kejadian itu, Sutan Dihulu murka. Ia tidak mau menerima kekalahan itu. Maka, ia langsung menyerang Sutan Panduko. Namun, serangan-serangan itu dapat dipatahkan oleh Sutan Panduko. Sutan Dihulu pun semakin marah. Dengan kalap, ia mencabut kerisnya.

“Terimalah serangan kerisku ini!” teriaknya seraya menikamkan keris ke tubuh Sutan Panduko.

Sutan Panduko berkelit dengan gesit sehingga serangan Sutan Dihulu hanya menyambar angin. Merasa diremehkan, Sutan Dihulu semakin gencar menyerang. Namun, lama-kelamaan tenaganya habis terkuras. Pada saat yang tepat, Sutan Panduko menepis dan menangkap keris lawannnya lalu keris itu ia balik dan ditikamkan ke dada Sutan Dihulu. Tak ayal, raja yang licik itu tewas seketika terkena senjatanya sendiri.

Melihat peristiwa itu, Raja Baduatai segera bangkit dari singgasananya.

“Prajurit! Buang mayat itu ke laut dan tangkap raja muda itu!” titah Raja Bauatai.

Akhirnya, Sutan Panduko dijebloskan ke dalam penjara. Meskipun ayam kirik jagoannya telah memenangi sayembara itu, ia dianggap tidak berhak menikahi sang Putri karena telah melakukan pembunuhan. Ayam jagonya pun disita oleh Raja Baduatai.

Sementara itu, para pengawal Sutan Panduko cepat-cepat kembali Muaro Bodim untuk melaporkan peristiwa itu kepada Siti Asanah.

“Ampun, Baginda Ratu! Hamba ingin melapor,” lapor salah seorang dari pengawal tersebut.

“Apa yang terjadi dengan adikku, pengawal?” tanya Siti Asanah dengan cemas.

“Ampun, Baginda Ratu! Sutan Panduko ditawan oleh Raja Baduatai,” jelas si pengawal.

Pengawal itu kemudian menceritakan semua peristiwa yang dialami oleh Sutan Panduko hingga akhirnya ditawan oleh Raja Baduatai. Mendengar cerita itu, Siti Asanah menjadi marah.

“Ini tidak bisa dibaiarkan. Raja Baduatai yang angkuh harus diberi pelajaran,” ujar Siti Asanah geram. “Pengawal! Tolong panggilkan putraku, Bujang Kirai!”

“Baik, Baginda Ratu,” jawab pengawal itu.

Tak berapa lama kemudian, pengawal itu kembali bersama Bujang Kirai.

“Ada apa Bunda memanggilku?” tanya Bujang Kirai sambil menatap mata ibundanya yang berkaca-kaca.

“Ketahuilah, Putraku! Pamanmu sedang ditawan oleh Raja Baduatai,” ungkap Siti Asanah.

“Apa? Paman Sutan Panduko ditawan?” tanya Bujang Kirai dengan terkejut.

“Benar, Putraku. Kita harus segera bertindak. Untuk itu, Bunda akan mengutusmu ke Ampo Baroyo untuk membebaskan pamanmu,” kata Siti Asanah. “Tapi, kamu harus berangkat sendirian, Putraku.”

“Baik, Bunda,” jawab Bujang Kirai.

Rupanya, Siti Asanah yang bijak itu sudah mengetahui kemampuan putranya. Ia tidak ingin menyerang Raja Baduatai dengan mengerahkan pasukannya karena ia juga tahu jika pasukan raja Buatai sangat besar. Dengan hanya mengutus Bujang Kirai seorang diri, ia berharap putranya itu dapat menyelinap masuk ke dalam istana dan membinasakan Raja Baduatai yang keji itu. Tidak lupa, Siti Asanah membekali putranya dengan siraut, pisau kecil berujung bengkok, pusaka warisan dari ayahnya.

Setiba di Kerajaan Ampu Baroyo, Bujang Kirai dengan hati-hati menyelinap masuk ke dalam istana. Dengan kecerdikannya, ia mencari tahu di mana keberadaan pamannya sekaligus mencari tahu rahasia kekuatan Raja Baduatai. Alhasil, ia berhasil memperoleh keterangan dari salah seorang penjaga bahwa rahasia kekuataan Raja Baduatai bahwa kekuataannya akan berkurang ketika ia ingin membuang air kecil di waktu bangun pagi.

Ketika fajar mulai menyingsing di ufuk timur, Bujang Kirai dengan kesaktiannya menyelinap masuk ke kamar Raja Baduatai tanpa diketahui penjaga. Namun, Raja Baduatai tak kalah saktinya. Ia yang sedang terlelap langsung terbangun karena mengetahui kedatangan tamu tak diundang.

“Hai, anak muda. Siapa kamu dan kenapa masuk ke dalam kamarku?” tanya Raja Baduatai dengan kesal.

“Aku Bujang Kirai dari Kerajaan Muaro Bodim. Aku ke mari hendak membebaskan pamanku, Sutan Panduko,” jawab Bujang Kirai dengan tenang.

“Dasar anak bodoh! Kamu ke sini hanya untuk mengantarkan nyawa!” hardik Raja Baduatai. “Pergi dari sini kalau mau selamat!”

“Tidak, aku tidak akan pergi sebelum pamanku dibebaskan!” tegas Bujang Kirai.

Raja Baduatai menjadi sangat marah. Tiba-tiba ia melayangkan tangannya hendak menampar Bujang Kirai. Namun, tanpa diduga, tamparan itu dengan mudah dielakkan. Melihat hal itu, ia baru sadar bahwa pemuda yang dihadapinya ternyata berilmu cukup tinggi.

Raja Baduatai pun mengeluarkan segala kemampuannya. Pertarungan sengit tak terelakkan. Mulanya, Raja Baduatai terlihat tangguh. Serangannya datang secara bertubi-tubi. Namun, lama-kelamaan, Raja Baduatai ingin buang air. Pikirannya pun bercabang. Ketika ia lengah, Bujang Kirai segera menikamnya dengan siraut pusaka. Raja yang kejam itu pun tewas.

Kabar tentang tewasnya Raja Baduatai pun diketahui oleh penghuni istana. Bahkan, kabar itu telah tersebar ke seluruh penjuru Negeri Ampu Baroyo. Seluruh rakyat pun berbondong-bondong dan berkumpul di halaman istana. Di hadapan mereka, berdiri salah seorang punggawa kerajaan untuk menyampaikan ucapan bela sungkawa.

“Wahai, seluruh rakyat Ampu Baroyo. Raja kita sudah wafat. Beliau tewas di ujung siraut Bujang Kirai,” kata punggawa kerajaan itu.

Mendengar kabar itu, rakyat bukannya bersedih melainkan bersorak gembira.

“Hancurlah kezaliman… hancurlah kezaliman…!”

Punggawa kerajaan itu kemudian kembali berkata, “Baiklah, saudara-saudaraku. Yang mati mari kita kuburkan, yang tinggal mari kita pelihara!”.

Setelah Raja Baduatai dimakamkan, para punggawa istana dan seluruh rakyat negeri itu mengadakan musyawarah untuk mencari pengganti raja.

“Sesuai dengan adat negeri ini, kita harus memilih seorang raja baru. Menurut kalian, siapa yang berhak menjadi raja?” tanya punggawa istana.

“Kita semua sudah tahu bahwa orang yang telah berjasa menghancurkan kezaliman di negeri ini adalah Bujang Kirai. Maka, alangkah baiknya jika pahlawan ini kita angkat menjadi raja,” ujar seorang peserta sidang.

Seluruh rakyat Ampu Baroyo menyetujui. Namun, Bujang Kirai sendiri menolaknya.

“Maaf, kedatangan saya ke mari bukan untuk merebut kekuasaan, tetapi ingin membebaskan paman saya, Sutan Panduko,” kata Bujang Kirai, “Sebaiknya, tampuk kerajaan ini kita serahkan kepada Putri Sawang Dilangit. Dialah yang lebih berhak menjadi raja di negeri ini. Busuk tebu sebatang, belum tentu busuk ke surumpunnya.”

Akhirnya, Putri Sawang Dilangit pun dinobatkan sebagai Raja Ampu Baroyo yang baru. Sementara itu, Bujang Kirai membawa pamannya pulang. Setelah kesehatannya kembali pulih, Sutan Panduko kembali memerintah Kerajaan Muaro Bodim dengan arif dan bijaksana. Semua itu adalah berkat jasa dan keberanian Bujang Kirai.

* * *

Demikian cerita Bujang Kirai Yang Pemberani dari Sumatera Barat. Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa Raja alim raja disembah, raja lalim  raja disanggah. Raja yang zalim seperti Raja Baduatai tidak akan dihargai atau dihormati oleh rakyatnya. Sementara itu, orang pemberani dalam membela kebenaran seperti Bujang Kirai akan dihormati dan dikenang jasa-jasanya.