Indonesia terdiri dari banyak suku bangsa yang punya aturan hukum sendiri-sendiri. Sulit untuk merangkum berbagai pranata lokal itu menjadi satu hukum yang bulat. Tetapi, Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro sedikit demi sedikit mulai memperbaiki peradilan di tanah air. Lewat penerbitan UU Darurat No.l/1951, ia menegaskan hanya ada tiga macam pengadilan di lingkungan peradilan umum yang berlaku di seluruh Indonesia, yaitu pengadilan tingkat pertama, banding, dan kasasi.
Setamat dari Rechtsschool Jakarta pada 1922,. laki-laki kelahiran Solo, 15 Juni 1903 itu langsung menjadi hakim. Selama 40 tahun (sejak zaman penjajahan Belanda, Jepang, dan Indonesia merdeka) ia mengabdikan hidupnya sebagai hakim. Ilmu hukumnya makin terasah ketika ia mendapat kesempatan belajar ke Universitas Leiden, Belanda. Karimya sebagai hakim terus melesat dengan menjadi Ketua
Mahkamah Agung (19 52-1966) dan penasihat hukum presiden dengan kedudukan setara menteri (1960-1962) .
Di masanya, Mahkamah Agung sempat menuai protes ketika melawan dominasi hukum ad at. Putusan kasasi pada 1961 atas sengketa waris di Kabanjahe, Karo-Batak, memberi hak kepada anak perempuan untuk mewarisi harta ayahnya. “Putusan itu setidak-tidaknya membuka pintu bagi hukum adat itu untuk berkembang sebagai hukum yang hidup ke arah meninggikan derajat kaum perempuan/’ ujar Wirjono.
Yurisprudensi tetap soal kedudukan anak perempuan dalam hukum waris ini telah mengembalikan hak-hak perempuan yang selalu menjadi warga kelas dua di mata hukum adat. Dalam hal warisan, bagian anak perempuan sama dengan anak laki-laki. Monumen keadilan ini akan terus hidup meski sang arsiteknya telah berpulang pada April 1985.