Keterbatasan pilihan biasanya mendorong orang untuk lebih kreatif. Itulah yang dialami oleh Ir. Tjokorda Raka Sukawati, untuk memecahkan dilema dalam membangun jalan tol di Jakarta; antara terbatasnya tempat dan biaya.
Ir. Tjokorda Raka Sukawati (lahir di Ubud, Bali, 3 Mei 1931 – meninggal di Ubud, Bali, 11 November 2014 pada umur 83 tahun[1]) adalah seorang insinyur Indonesia yang menemukan konstruksi Sosrobahu, yang memudahkan pembangunan jalan layang tanpa mengganggu arus lalu lintas pada saat pembangunannya.
Tjokorda meraih gelar Insinyur bidang Teknik Sipil di Institut Teknologi Bandung 1962, dan memperoleh gelar Doktor dari Universitas Gajah Mada Yogyakarta pada tahun 1996.
Ia meniti karier di PT. Hutama Karya yang bergerak dibidang jasa konstruksi dan infrasruktur, merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di bawah Departemen Pekerjaan Umum (PU). Ketika menggarap proyek jalan layang antara Cawang dengan Tanjung Priok di Jakarta itulah teknologi Sosrobahu ditemukan.
Tahun 80-an koran-koran ramai memberitakan pembangunan jalan tol sepanjang Cawang Tanjungpriok. Jika jalan tol yang ditempatkan di atas jalan by pass Ahmad Yani itu dibangun dengan metode konvensional, jelas akan semakin memacetkan lalulintas.
Sebab, tiang horizontalnya berukuran hampir 22 meter, nyaris sarna lebar dengan jalan by pass itu sendiri.
Pembangunan jalan tol yang justru menimbulkan kemacetan, jelas bertentangan dengan tujuan pembangunan jalan tol itu sendiri. Masih ada alternatif lain, yaitu memakai cara gantung, seperti yang dilakukan di Singapura. Kendalanya, dari aspek biaya akan jauh lebih mahal.
Ir. Tjokorda Raka Sukawati berhasil memecahkan keruwetan ini dengan menciptakan tiang pancang yang diberinya nama Sosrobahu. Sosrobahu bekerja dengan meniru cara kerja dongkrak yang bisa bergeser dan memutar dengan tiang dongkrak sebagai sumbu. Tiang pancang tetap dibangun vertikal searah jalan by pass. Setelah kering, tiang itu diputar 90 derajat. Raka Sukawati berhasil membuat landasan putar yang memungkinkan tiang pier head seberat 488 ton ini berputar di atas kepala pier shaft. Tanggal 27 Juli 1988 menjadi hari yang bersejarah bagi Ir. Tjokorda Raka Sukawati. Untuk pertama kalinya Sosrobahu akan diujicoba. Dengan hati berdebar, Raka menyaksikan tiang horizontal sepanjang 22 meter itu perlahan berputar. “Jika tiang itu tidak berputar, say a akan mengundurkan diri. Malu saya,” katanya. Tapi, Raka Sukawati tidak perlu mengundurkan diri. Sosrobahu hasil ciptaannya, mencatat sukses. Setelah dipatenkan, hasil kreasinya itu kini menjadi salah satu komoditas ekspor yang menghasilkan devisa.
Di ujung kariernya di PT. Hutama Karya, Tjokorda terseret persoalan Korupsi Kolusi Nepotisme (KKN) yang menimpa perusahaan konstruksi itu. Tjokorda harus berurusan dengan masalah commercial paper, hal yang asing bagi seorang insinyur seperti dirinya. Ia sempat berurusan dengan pengadilan. Kasus ini terkuat menyusul krisis finansial Asia yang membuat banyak perusahaan konstruksi terkena masalah.
Tjokorda Raka Sukawati, yang juga pendiri Fakultas Teknik Universitas Udayana, telah pensiun dari PT. Hutama Karya, namun masih tetap berkarya bahkan menghasilkan teknologi sosrobahu versi kedua yang lebih unggul soal kepraktisan dibandingkan versi sebelumnya. Kini ia tinggal di kampung halamannya di Ubud, Bali dengan mengajar di jenjang Pascasarjana Bidang Teknik Sipil Universitas Udayana.