Jegog Jazz, Sebuah Keintiman Timur dan Barat

Alunan musik itu mengalun sangat indah penuh harmoni, namun tetap dinamis dengan distorsi-distorsi alami sewajarnya. Nada-nada diatonis mengalir dari gitar dan bass elektrik, sesekali alunan melodius dari flute mempercantik komposisi musik, di belakangnya samar namun dominan terdengar suara perkusi bercampur tabuh-tabuhan bambu sebagai ritme pengawal komposisi. Secara sepintas, musik ini mengalun dalam sebuah harmonisasi yang sangat apik. Namun jika melihat lebih dalam, ternyata musik yang diberi nama JegogJazz ini merupakan hasil perpaduan dari sebuah perbedaan yang sangat signifikan. JegogJazz lahir dari musik tradisional Jegog yang berasal dari kabupaten Jembrana, Bali dan musik Jazz dari Amerika Serikat. Entah sejak kapan kedua aliran musik tersebut mulai menjadi intim, yang pasti “keintiman” keduanya menghasilkan karya yang indah dan unik.

Meskipun lahir dari sebuah perbedaan, ternyata Jegog dan Jazz memiliki beberapa kemiripan. Menurut para musisi yang menggeluti kedua jenis aliran musik ini, Jegog dan Jazz mirip dari segi historis dan teknis, keduanya merupakan musik yang lahir dari pemberontakkan terhadap sebuah hegemoni. Tentu saja karena latar belakang budaya yang berbeda, pemberontakkannya pun berada dalam konteks yang berbeda pula. Sebelum berbicara lebih jauh tentang JegogJazz, ada baiknya kita melihat terlebih dahulu sejarah singkat dari kedua jenis musik tersebut.

Awal Kelahiran Jazz

Berbagai definisi serta sejarah mengenai musik Jazz tentunya sudah banyak dibahas di berbagai media. Hampir semua orang di dunia mengenal musik tersebut, tak heran jika hari ini Jazz berada di puncak popularitasnya. Meskipun sudah banyak yang tahu tentang musik yang lahir di Amerika Serikat tersebut, namun tak salah juga rasanya bila dalam tulisan ini kita mengulasnya secara singkat.

Jazz lahir di kalangan masyarakat ladang di Amerika Serikat, dari sebuah ketertindasan masyarakat kulit hitam yang pada waktu itu masih terbelenggu dalam sistim perbudakan. Istilah Jazz sendiri awalnya identik dengan istilah aktivitas seksual, seringkali istilah ini diasosiasikan dengan dunia prostitusi.

Sebagai suatu aliran musik, Jazz memiliki akar musik yang beragam, mulai dari musik Afrika dengan Tribal drums-nya, Blues, musik gereja atau Gospel, Field Hollers (teriakan para peladang) hingga musik klasik Eropa yang pada saat itu menjadi sebuah hegemoni. Konon tradisi musik Jazz ini mulai berkembang sejak akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Pada awalnya musik Jazz ini hadir dengan nada-nada dasar Pentatonis khas Blues. Kemudian, musik Jazz mulai mengenal bentuk Rag Time, sebuah bentuk musik yang lahir dari improvisasi bebas dalam permainan piano. Biasanya jenis Rag Time ini sering dimainkan di bar-bar. Pada perkembangannya kemudian, Blues yang merupakan cikal-bakal dari Jazz mulai dikolaborasikan dengan Rag Time, perpaduan inilah yang melahirkan jenis Boogie-Woogie. Bentuk-bentuk tersebut kemudian berkembang dan bertransformasi menjadi berbagai jenis dari musik Jazz yang sekarang banyak dikenal.

New Orleans adalah saksi kelahiran musik Jazz, dari kota inilah Jazz lahir dan berkembang pesat. Perkembangan Jazz di kota ini sempat “dibunuh” oleh pemerintah lokal karena dianggap sebagai musik yang memicu berbagai tindak kriminal, akibatnya, pada tahun 1917, hampir seluruh tempat hiburan yang menampilkan musik Jazz di New Orleans ditutup. Namun hal ini tidak menjadi “penjara” bagi para musisi Jazz, mereka berkelana keluar daerah, seolah-olah menjelma menjadi “nabi” bagi “agama” bernama Jazz. Terbukti sekitar tahun 1920an, Jazz sudah menyebar ke berbagai daerah, seperti Chicago, Missisipi, Detroit, Memphis dan New York.

Di tanah air kita, Jazz mulai masuk sekitar tahun 1930, dibawa pertama kali oleh musisi-musisi Jazz Filipina yang mengadu nasib di Jakarta. Selain mengenalkan musik Jazz, para musisi Filipina ini pun mengenalkan berbagai alat musik tiup seperti Terompet dan Saxophone. Pada saat itu, mereka seringkali memainkan Jazz dengan irama latin seperti Rhumba, Samba dan Boleros. Pengaruh musik Jazz di tanah air pun tak lepas dari para musisi Jazz Belanda, mereka datang sekitar tahun 1948 dengan tujuan untuk membentuk sebuah Orkes Simfoni. Jose Cleber, Salah satu musisi Belanda tersebut memiliki Orkestra, pada orkestra inilah seringkali ia menampilkan Jazz dengan mahzab California.

Pada dasarnya, inti dari musik Jazz adalah improvisasi yang dibentuk dari sebuah spontanitas dalam memproduksi nada-nadanya. Improvisasi inilah yang membuat musik Jazz lebih hidup dan dinamis. Jika berbicara masalah tehnik, tentu saja, Jazz tidak boleh terlepas dari Blue Note dan Sinkopasi. Kedua hal tersebut pada dasarnya bukanlah belenggu atau aturan dasar, justru kedua tehnik tersebut adalah pemicu kreatifitas dalam memainkan Jazz. Improvisasi itulah yang seringkali dianggap sebagai pemberontakkan Jazz terhadap hegemoni musik Eropa yang cenderung statis, rapih dan sangat teratur. Dengan kata lain, Jazz merupakan suatu pemberontakkan terhadap sebuah keteraturan demi tercapainya kedinamisan dan vitalitas dalam bermusik.

Alat Musik Jegog yang juga merupakan instrumen terbesar dari perangkat kesenian Gamelan Gong Kebyar

Kesenian Jegog lahir di sebuah banjar bernama Sebual yang terletak di desa Dangintukadaya, kabupaten Jembrana, Bali. Jegog sendiri diambil dari sebuah instrumen paling besar dalam perangkat kesenian Gamelan Gong Kebyar. Kesenian Jegog ini diciptakan pada tahun 1912 oleh seorang seniman bernama Kiang Geliduh. Selanjutnya kesenian ini mulai diperkenalkan secara luas oleh Pat Natil atau yang lebih dikenal dengan nama Kiang Jegog dari desa Delodbrawah. Atas perjuangan beliau, kesenian Jegog ini mulai dikenal luas di seantero Jembrana pada tahun 1920.

Kelahiran Jegog     

Hampir mirip dengan musik Jazz, kesenian Jegog ini lahir di kalangan masyarakat agraris, namun bedanya, Jegog muncul di kebudayaan masyarakat sawah, huma dan hutan di bagian barat pulau dewata. Ketidaksengajaan dan spontanitas pun mengawali prosesi kelahiran Jegog ini, awalnya adalah spontanitas para petani ketika mengusir burung-burung yang menjadi hama areal persawahan mereka. Karena tidak ada perkakas lain selain kulkul bambu dalam pondok mereka, maka dengan spontan mereka pun menabuh bambu tersebut. tak disadari ternyata spontanitas mereka dalam menabuh bambu menghasilkan sebuah harmoni yang indah. Selanjutnya para petani tersebut dengan dikomando oleh Kiang Gelidih mencoba bermain dengan kulkul bambu tersebut. Awalnya mereka mencoba bereksperimen dengan perangkat bambu yang lebih kecil (Barungan Tingklik). Setelah mengalami berbagai modifikasi, perangkat bambu kecil tersebut dikembangkan menjadi lebih besar sehingga dihasilkan perangkat Jegog seperti yang sekarang dikenal.

Pementasan kesenian Jegog pada awalnya hanya sebagai bentuk hiburan bagi masyarakat yang sedang bergotong-royong dalam membuat atap rumah dari bahan pohom rumbia atau ijuk. Dalam kebudayaan masyarakat Bali, kegiatan tersebut dikenal dengan sebutan “Nyucuk”. Awal fungsi kesenian Jegog ini tentu mengingatkan kita pada salah satu akar musik Jazz, Field Hollers, teriakan para peladang, berfungsi juga sebagai hiburan bagi para peladang pada saat itu. Pada perkembangan selanjutnya, kesenian Jegog pun mengambil peran sebagai pengiring upacara keagamaan, pernikahan serta jamuan kenegaraan. Bahkan saat ini, kesenian ini pun didampingi oleh tari-tarian yang terinspirasi dari alam dan budaya lokal Bali. Beragam kesenian baru muncul dari perpaduan tersebut, sebut saja Tabuh Trungtungan, Tabuh Goal Ngolol, Tabuh Macan Putih dengan tari-tarian pengiringnya seperti Makepung, Cangak Lemodang dan Tari Bambu. Sebagian besar dari kesenian tersebut seringkali ditampilkan untuk kepentingan pariwisata. Konon, jiga perangkat gamelan Jegog dimainkan pada malam hari yang sunyi, bunyinya bisa menjangkau jarak tiga kilometer jauhnya.

Dalam kesenian Jegog dikenal pula sebuah perlombaan yang bernama Jegog Mebarung. Pada umumnya, perlombaan ini melombakan dua sampai tiga kelompok kesenian Jegog. Setiap kelompok yang biasanya terdiri dari 20 penabuh Jegog akan berlomba menabuh perangkat Jegog mereka sekeras-kerasnya, pada akhirnya yang memenangkan lomba adalah kelompok Jegog yang mengeluarkan suara lebih dominan dibanding yang lain.

Dalam perjalanannya sebagai kesenian tradisional, Jegog harus melewati berbagai rintangan. Penolakan dari berbagai pihak sebagai salah satu bentuk kesenian tradisional pun pernah dialami oleh kesenian ini. Pada awalnya seni Jegog dianggap keluar dari tatanan normal kesenian Bali, jangkauan nada-nadanya yang unik serta teknis bermain yang tidak biasa adalah beberapa penyebabnya. Namun, seiring dengan kegigihan, kreatifitas dan inovasi dari para seniman-senimannya dalam mengembangkan Jegog, kini kesenian ini bukan hanya diakui dalam khazanah kesenian Bali saja, tetapi juga diakui dunia sebagai salah satu sebagai warisan budaya Nusantara Indonesia.

Ayu Laksmi dan Wayan Balawan dalam Jegog Jazz

Simbol Kolaborasi Budaya    

Setelah melihat ulasan singkat mengenai sejarah kelahiran kesenian Jegog dan musik Jazz, tentunya kita dapat melihat bahwa dibalik segala macam perbedaan, baik itu latar belakang budaya maupun interval nada-nadanya, ternyata Jegog dan Jazz pun memiliki beberapa persamaan, beberapa diantaranya yang paling menonjol adalah kedua jenis musik ini sama-sama lahir di tengah budaya masyarakat agraris serta memiliki spontanitas dan vitalitas sebagai warna dominan dalam permainannya. Jika melihat dari perjalanan panjang kedua jenis musik ini, tak salah kiranya jika menganggap Jegog dan Jazz merupakan musik perlawanan dan pemberontakkan terhadap hegemoni yang ada, tentu saja sekali lagi, dalam konteks tertentu.

Pada era sekarang ini, dimana perkembangan dunia musik semakin maju, dan marak dalam hal kolaborasi lintas genre, JegogJazz tentunya harus menjadi sebuah perhatian serius, apalagi saat ini sedang marak digelar festival bertajuk World Music Festival atau World Jazz Festival. Dari berbagai sisi, JegogJazz jelas memiliki persyaratan yang lengkap untuk digolongkan ke dalam kedua genre yang sedang populer tersebut.

Saya ingat sebuah pementasan di Bali, pada penghujung tahun 2009 tepatnya, bertepatan dengan Grand Opening Bentara Budaya Bali. Pada saat itu Bentara Budaya yang menasbihkan dirinya sebagai ruang berkesenian bagi kesenian marjinal dan non-mainstream memilih JegogJazz sebagai prosesi peresmiannya. JegogJazz Project begitu mereka menamakannya, nama-nama musisi papan atas seperti I Dewa Gede Budjana, I Wayan Balawan dan Ayu Laksmi terlibat dalam sebuah kolaborasi dengan kelompok JegogJazz Cong Lagas dari banjar Moding, Jembrana dengan pengarah musik Nanoq dan Kansas. Meskipun terhitung singkat dari segi persiapannya, kolaborasi tersebut terlihat sangat menawan dan indah bahkan memancing kerinduan untuk menikmatinya lagi, namun sayang…pagelaran unik seperti itu sangat jarang sekali dipentaskan. Ada kesan lain yang tertangkap dari kolaborasi tersebut, lebih dari sekedar kolaborasi musik biasa, Jegog dan Jazz pada akhirnya melebur menjadi sebuah simbol kolaborasi budaya timur dan barat. Dua kubu dominan di dunia ini yang sangat bertolak belakang dari segi budayanya ternyata dapat menghasilkan sebuah keindahan dan harmonisasi yang sangat menawan. (pj)