Kerajaan Larantuka: Kerajaan Kristen Pertama Indonesia

Kerajaan Larantuka adalah sebuah kerajaan yang berada di Nusa Nipa yang berarti Pulau Naga dalam bahasa lokal,sedangkan dalam bahasa Portugis: Cabo de Flores yang sekarang disebut sebagai Pulau Flores, dan dalam buku Nāgarakṛtāgama dikatakan sebagai Galiyao yang disebut sebagai penghasil kayu cendana. Wilayah kekuasaannya mencapai Adonara. dengan raja pertama bernama Lorenzo I
Sebagai kerajaan yang penting, interaksi dengan kerajaan-kerjaan lain bahkan negara lain pun terjadi. Larantuka yang sempat dipengaruhi ajaran Hindu dari Majapahit, menjelma menjadi kerajaan Kristen-Katolik pertama di Nusantara. Faktor inilah yang kian memperkuat hubungan Larantuka dengan Portugis.

Asal Mula

Mitos dalam ceritera rakyat menyebutkan bahwa kerajaan Larantuka semula didirikan oleh seorang tokoh perempuan yang bernama Watowele bersama suaminya Pati Golo Arakian yang berasal dari keturunan bangsawan pulau Timor dari kerajaan Wehale yang merupakan tokoh peranakan perempuan bangsawan Jawa dan bangsawan kerajaan Wehale.
Kerajaan itu semula lebih dikenal dengani kerajaan Ata Jawa sebelum akhirnya bernama Larantuka.
Watowele merupakan tokoh keramat yang diyakini dilahirkan dari gunung Ilemandiri dan merupakan cikal bakal keturunan satu – satunya dinasti yang memerintah kerajaan Larantuka dan dihormati sebagai keturunan langsung dari gunung atau keturunan Ile Jadi. Baru pada pemerintahan keturunan ke – 3, yakni raja Sira Demon Pagu Molang kerajaanLarantuka menemukan bentuk pemerintahan tradisional yang lebih teratur yang tetap dipelihara hingga berakhirnya kerajaan Larantuka.
Sebelum tahun 1600, pedagang Portugis meninggalkan Solor dan menetap di Larantuka. Para pedagang terlibat dalam konflik dengan Dominikan di Solor, karena mereka lebih tertarik dalam perdagangan daripada kristenisasi. Pada tahun 1613, Solor diduduki Belanda dan Dominikan pindah ke Larantuka juga.
Kemudian Larantuka menjadi stasiun internal untuk perdagangan kayu cendana dari Timor dan menjadi pusat perdagangan Portugis di wilayah Indonesia bagian tenggara. Larantuka bahkan menjadi tempat pengungsian bagi desertir dari Dutch East India Company (VOC).

Ritual

Upacara ritual pengorbanan hewan memiliki posisi yang cukup penting dan mempengaruhi berbagai struktur dan proses sosial pada bermacam lapisan sistem politik Flores Timur. Kohesi sosial dan legitimasi status sosial melalui ritus memiliki peranan khas dalam berbagai organisasi sosial-politik di Flores Timur (Graham, 1985:141). Selain dalam upacara ritual pembagian kakang, ritus juga tampak pada upacara penerimaan imigran Kroko Pukeng.
Ritus pengorbanan hewan yang pertama kali ditetapkan oleh Raja Sira Demong Pagong Molang ini dilaksanakan di setiap kampung (Lewo) oleh ‘panitia empat’ yang disebut suku raja (suku besar). (Istilah suku berasal dari kata Melayu. Istilah asli Flores Timur untuk menyebut suku adalah Ama atau Wung.
Organisasi suku dalam kampung tidak sama tinggi kedudukan dan fungsinya. Pada prinsipnya, nama-nama suku ‘besar’ itu berkaitan erat dengan fungsi para kepala suku dalam upacara ritual pengorbanan hewan. Selain itu, mereka juga memangku kekuasaan duniawi ataupun yang berkaitan dengan dunia ilahi. Keempat suku itu adalah: Ama Koten, Ama Kelen, Ama Marang, dan Ama Hurint.
Dalam ritus pengorbanan hewan, Ama Koten memegang kepala hewan korban. Dia adalah kepala dari ‘panitia empat’, tuan tanah, dan memegang kekuasaan dalam kampung. Ama Kelen memegang bagian belakang hewan korban.
Dialah yang bertugas mengurus hubungan dengan kampung-kampung lainnya dan mengatur masalah perang ataupun damai. Ama Marang bertugas membacakan doa, menceritakan sejarah asal usul (tutu rnaring usu-asa) untuk mendapat restu (ike kwaAt) dari kekuatan leluhur.
Dialah yang bertugas menjaga tatanan adat dalam kampung. Ama Hurint bertugas membunuh hewan korban, meneliti urat hati hewan korban untuk meramal suatu kejadian. Ama Hurint dan Ama Marang juga bertugas memberi nasihat atau saran bila terdapat perbedaan pendapat antara Ama Koten dan Ama Kelen, mencari jalan keluar bersama-sama dengan pemuka-pemuka atau tua-tua yang disebut Kelake.

Reinha Rosari

Sekitar tahun 1665, Raja Ola Adobala dibaptis dengan nama Don Fransisco Ola Adobala Diaz Vieira de Godinho. Secara ritual, ia memprakarsai upacara penyerahan tongkat kerajaan berkepala emas kepada patung Tuan Ma (Bunda Maria Reinha Rosari) sebagai lambang bahwa Larantuka sepenuhnya menjadi kota Reinha (Ratu) dan para raja adalah wakil dan abdi Bunda Maria. Dengan demikian menyiratkan Kerajaan Larantuka sebagai kerajaan Katolik.
Pada tanggal 8 September 1886 Raja Don Lorenzo Usineno II DVG, raja ke-10 Larantuka, menobatkan Bunda Maria sebagai Ratu Kerajaan Larantuka sehingga Larantuka sejak saat itu umum disebut “Reinha Rosari” (Ratu Rosari).