Kiprah Muhammadiyah Pada Masa Order baru


Peran Muhammadiyah pada mass orde baru bisa dikelompokan kedalam bagian, yaitu di bidang politik, bidang sosial ekonomi, dan bidang pendidikan.

A. Bidang Politik

Tujuan awal lahirnya muhammadiyah adalah untuk memurnikan ajaran agama islam. Mengajak pemeluk islam untuk menjalankan syariat islam dan meninggalakn praktek-praktek keagamaan yang bercampur dengan praktek agama hindu. Namum pada masa orde baru Muhammadiyah berperan dalam bidang politik walaupun tidak secara langsung menjadi partai politik. Peran Muhammadiyah di bidang politik diantaranya:

1. Merehabilitasi Masyumi

Muhammadiyah melalui Keputusan Tanwir Juni 1966 di Bandung menghendaki adanya wadah politik independen yang menjadi saluran politik warganya sehingga memprioritaskan merehabilitasi Masyumi. Usaha rehabilitasi Masyumi dilakukan dengan banyak cara termasuk membangun kekuatan dikalangan umat Islam yang belum memiliki wadah politik melalui BKAM (Badan Kordinasi Amal Muslimin) yang didirikan pada 16 Desember 1966 yang terdiri atas enam belas organisasi Islam. Upaya merehabilitasi Masyumi dilakukan pula oleh ketua PP Muhammadiyah K.H Ahmad Badawi yang melobi presiden, walaupun menemui kegagalan.

2. Pembentukan Partai Muslimin Indonesia (Parmusi)

Kegagalan merehabilitasi Masyumi mendorong tokoh-tokoh Muhammadiyah mendirikan partai Islam baru yang terpisah dari Masyumi. Keluarga besar bulan bintang (Masyumi) kemudian membentuk sebuah tim tujuh yang diketuai oleh K.H Fakih Usman untuk melakukan pengkajian mendalam mengenai partai. Dari hasil pertemuan tim menyepakati dibentuknya Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) sebagai pewaris sah Bulan Bintang. Piagam pembentukan partai ditandatangani oleh keluarga Bulan Bintang atau BKAM yang terdiri dari 16 organisasi Islam dan Muhammadiyah salah satu dari penandatangan piagam pembentukan Parmusi. Pada tahun 1969 di Ponorogo, Muhammadiyah melalui sidang Tanwir menyatakan sikapnya bahwa partai politik (Parmusi) merupakan salah satu proyek Muhammadiyah. Keputusan ini merupakan kelanjutan dari keputusan Muktamar ke-37 tahun 1968 yang menyatakan partai politik merupakan wadah kegiatan dakwah.

3. Melepaskan diri dari politik praktis

Konflik internal partai ataupun infiltrasi pihak luar, menyebabkan kekecewaan di kalangan Muhammadiyah sehingga melalui sidang Tanwir 1970 mengeluarkan pernyataan yang menegaskan ketidakterkaitannya dengan partai politik. Kemudian melalui Muktamar Muhammadiyah ke-38 tahun 1971 di Ujung Pandang yang dikenal dengan konsep Khittah Perjuangan Muhammadiyah, telah mengambil kebijakan untuk tidak terlibat dalam kegiatan politik praktis dan menjaga jarak yang sama dengan segenap kekuatan politik manapun dalam asas netralitas. Melalui Muktamar tersebut Muhammadiyah mengukuhkan diri sebagai gerakan kultural yang tidak terkait dengan partai politik manapun, tetapi membebaskan warganya untuk menyalurkan aspirasi politiknya kepada kekuatan-kekuatan politik yang ada selama tidak merugikan Islam dan Muhammadiyah sendiri.

B. Bidang Sosial Ekonomi

Seiring makin gencarnya pembangunan ekonomi yang dilakukan pada masa orde baru, perhatian Muhammadiyah juga semakin serius terhadap perkembangan ekonomi Indonesia. Dawan Rahardjo, melihat bahwa secara konsepsional maupun potensi, anggota Muhammadiyah dapat memainkan peranan penting dalam bidang pengembangan kehidupan ekonomi umat. Dalam pengembangan perekonomian umat keterlibatan Muhammadiyah diakui memang masih sangat terbatas, dimana sebagian besar keterlibatan itu masih sebatas pada sumbangan pemikiran. Walaupun sumbangan resmi Majelis Ekonomi juga masih terbatas, namun bukan berarti tidak ada sama sekali, misal Majelis Ekonomi telah berhasil merintis satu-dua Bank Perkreditan Rakyat (BPR).

Memasuki 1970-an, Muhammadiyah semakin berupaya meningkatkan aktivitas ekonomi di level internal. Pada muktamar ke 40 di Surabaya tahun 1978, memutuskan bahwa Muhammadiyah perlu melakukan upaya konkret dalam bidang ekonomi dalam konteks melakukan bimbingan usaha perekonomian umum dan keluarga. Salah satunya mengusahakan adanya suatu proyek percontohan usaha ekonomi yang bersifat nasional, dan untuk menindaklanjuti, Muktamar juga memutuskan dibentuknya baitul mal yang akan berfungsi sebagai dana induk perjuangan. Pada level mikro, Majelis Ekonomi dimandatkan untuk menyukseskan program tersebut dengan menfokuskan pada peningkatan mutu ekonomi umat sehingga diperoleh rezeki yang halal dan memiliki fungsi sosial (koperasi, organisasi usahawan, usaha peternakan, pertanian, dan lain-lain).

C. Bidang Pendidikan

bidang pendidikan merupakan pilihan utama bagi Muhammadiyah untuk melakukan pemberdayaan masyarakat. Organisasi ini memandang bahwa perubahan nasib umat Islam hanya mungkin dicapai apabila umat Islam memperoleh akses yang luas ke dalam dunia pendidikan. Muhammadiyah menyadari bahwa untuk hidup di dalam masyarakat industrial, seseorang harus belajar melalui pendidikan formal yang mengajarkan keterampilan-keterampilan tertentu sehingga pendidikan Muhammadiyah berusaha memenuhi pasaran kerja baru dalam birokrasi, industri, pendidikan, perdagangan dan sebagainya.

Pada muktamar ke 38 di Ujung Pandang tahun 1971, Muhammadiyah yang mempertegas kedudukannya serta berusaha memperkuat amal usahanya yang mencerminkan sebagai organisasi dan gerakan dakwah, maka majlis PPK (Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan) Muhammadiyah merumuskan program “Pemurnian dalam bidang Pendidikan” pada tahun 1975/1976. Maka berdasarkan Surat Keputusan Pimpinan Pusat Muhammadiyah tanggal 25 Desember 1975 nomor 35/PP/1975 menetapkan qo’idah bagi perguruan tinggi Muhammadiyah, dan berdasar SK PP Muhammadiyah nomor 17/PP/1976 dikeluarkan qo’idah bagi perguruan dasar dan menengah Muhammadiyah.

Dengan adanya qo’idah bagi pelaksanaan pendidikan Muhammadiyah maka hal-hal pokok tentang pendidikan di dalamnya telah mencakup dari masalah tujuan hingga masalah teknis. Melalui pengintensifan peranan majelis PPK Muhammadiyah telah berhasil mengelola lembaga pendidikan di seluruh Indonesia sesuai dengan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan kebijaksanaan pemerintah.

Referensi

MT. Arifin, Gagasan Pembaharuan Muhammadiyah Dalam Pendidikan. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1987

Syarifuddin Jurdi, 1 Abad Muhammadiyah: Gagasan Pembaharuan Sosial Keagamaan. Jakarta: Buku Kompas, 2010

A. Syafi’i Ma’arif, Independensii Muhammadiyah: di Tengah Pergumulan Pemikiran Islam dan Politik. Jakarta: Pustaka Cidesindo, 2000