Kisah Indara Pitaraa dan Siraapare

Dahulu, di sebuah kampung di Sulawesi Tenggara, hiduplah sepasang suami istri. Saat itu, sang istri sedang hamil tua. Semakin mendekati masa kelahiran, ia sering mengalami kesakitan seperti ada benda tajam yang menusuk-nusuk perutnya dari dalam. Melihat keadaan tersebut, sang suami pun hanya bisa pasrah dan berdoa semoga istri yang amat dicintainya itu dapat melahirkan dengan selamat.

Akhirnya, sang istri pun melahirkan anak lelaki kembar. Ajaibnya, kedua anak itu lahir bersama dengan sebuah keris pusaka di tangan kanan masing-masing. Pasangan suami istri pun baru menyadari bahwa ternyata kedua keris itulah yang kerap menusuk-nusuk perut sang istri. Mereka kemudian memberi nama kedua anak kembarnya itu Indara Pitaraa dan Siraapare dan merawatnya dengan penuh kasih sayang.

Sepuluh tahun kemudian, Indara Pitaraa dan Siraapare telah tumbuh menjadi remaja. Namun sayangnya, mereka menjadi anak yang nakal. Keris pusaka itu menjadi sumber kenakalan mereka. Mereka kerap menggunakan keris tersebut untuk merusak tanaman. Bahkan, tak jarang keris itu digunakan untuk membunuh hewan ternak penduduk. Perilaku Indara Pitaraa dan Siraapare benar-benar telah meresahkan masyarakat. Kedua orangtua mereka pun pusing memikirkan perilaku si kembar.

Suatu malam, ketika Indara Pitaraa dan Siraapare sedang terlelap, kedua orangtuanya tampak sedang berbincang mengenai anak mereka.

“Pak, aku sudah tidak tahan lagi melihat perilaku anak-anak kita. Kalau begini terus keadaannya, aku khawatir warga akan membenci kita,” keluh sang istri.

“Benar juga katamu, Bu. Tapi, apa yang harus kita lakukan untuk menghentikan kenakalan mereka?” tanya sang suami bingung.

Sang istri termenung sejenak. Ia tampaknya berpikir keras untuk mencari jalan keluar dari permasalahan tersebut. Selang beberapa saat kemudian, sang istri lalu berkata kepada suaminya.

“Pak, bagaimana kalau mereka kita suruh saja merantau?” saran sang istri.

“Wah, usul yang bagus, Bu. Aku rasa mereka pasti setuju,” jawab suaminya.

Ketika mereka menyampaikan hal tersebut pada esok harinya, Indara Pitaraa dan Sirapaare pun menyambutnya dengan riang gembira. Mendengar persetujuan kedua anak kembarnya, sang ibu segera menyiapkan bekal berupa 7 buah ketupat, 7 butir telur rebus, 7 ruas tebu sebagai pengganti air minum, dan 2 belah kelapa tua. Sang ibu juga membekali mereka tempurung kelapa sebagai penutup kepala.

“Wahai, anak-anakku. Bawalah semua barang-barang ini untuk bekal kalian selama di perjalanan,” ujar sang ibu.

Sebelum kedua anak yang amat disayanginya itu berangkat, sang Ayah berpesan kepada mereka.

“Dengarlah, anak-anakku. Kalian adalah bersaudara kandung. Untuk itu, Ayah minta kalian harus selalu rukun dan saling membantu jika salah satu di antara kalian mendapat musibah,” ujar sang ayah, “Ingat, kalian juga harus selalu berjalan bersama, jangan sampai berpisah!”

“Baik, Ayah,” jawab si kembar serentak.

Setelah berpamitan pada orangtua mereka, Indara Pitaraa dan Sirapare pun pergi. Mereka berjalan menyusuri hutan lebat, mendaki gunung, dan menuruni lembah tanpa arah dan tujuan. Mereka terlihat sangat rukun. Ketika istirahat dan makan, mereka selalu bersama-sama.

Suatu hari, Indara Pitaraa dan Siraapare sedang mendaki sebuah gunung. Gunung itu merupakan gunung ketujuh yang akan mereka daki. Setiba di puncak, mereka kemudian berhenti untuk melepaskan lelah. Dengan bekal yang masih tersisa, mereka pun makan bersama. Setelah itu, mereka beristirahat. Ketika mereka sedang terlelap, tiba-tiba datang angin topan yang sangat kencang. Siraapare yang terbangun lebih dulu segera membangunkan kakaknya.

“Kakak, cepat bangun!” serunya, “Ada angin topan datang.”

Indara Pitaraa seketika terbangun.

“Ayo cepat kita ikatkan tali pinggang agar kita berpisah bila diterbangkan angin!” seru Indara Pitaraa .

Indara Pitaraa dan Siraapare pun segera mengikatkan tali pinggang mereka. Namun, angin topan yang amat dahsyat tiba-tiba datang menerpa mereka. Tak ayal, keduanya pun terbang melayang-layang di udara. Semakin lama, mereka semakin jauh naik ke angkasa. Tanpa disadari, tali pinggang mereka terlepas sehingga keduanya pun berpisah.

“Siraapare, adikku..!” teriak Indara Pitaraa , “Jangan dirimu baik-baik!”

“Iya, Kak,” jawab Siraapare yang suaranya tidak terlalu terdengar lagi oleh Indara Pitaraa .

Anak kembar itu akhirnya terjatuh ke bumi di tempat yang berbeda. Indara Pitaraa terjatuh di sebuah negeri yang sedang terancam amukan ular raksasa. Sementara Siraapare terjatuh di negeri yang sedang dilanda perang. Siraapare terpaksa ikut berperang untuk membela negeri tersebut. Bahkan, Dengan keris pusaka sebagai senjata dan tempurung kelapa sebagai perisai, ia berhasil memukul mundur pasukan musuh. Akhirnya, Siraapare dinobatkan menjadi raja di negeri tersebut.

Sementara itu, Indara Pitaraa amat terkejut karena negeri yang ia temui sangat sepi. Tak seorang pun orang terlihat keluar rumah. Ketika memasuki sebuah rumah, ia mendengar suara gemerisik dari balik sebuah gendang besar.

“Sepertinya ada orang di balik gendang itu,” gumamnya.

Indara Pitaraa kemudian melangkah perlahan-lahan mendekati gendang itu. Begitu mendekat, ia langsung menepak (memukul) gendang itu. Orang yang ada di baliknya pun tersentak kaget.’

“Hai, jangan pukul gendang itu!” seru suara itu, “Aku ada di baliknya.”

Alangkah terkejutnya Indara Pitaraa ketika orang yang keluar dari balik gendang itu adalah seorang gadis cantik.

“Hai, siapa kamu?” tanya Indara Pitaraa .

“Maaf, Tuan Muda. Aku putri Raja negeri ini,” jawabnya.

“Oh, ampun Tuan Putri,” ucap Indara Pitaraa seraya memberi hormat, “Maaf, Tuan Putri. Kalau boleh hamba tahu, apa gerangan yang terjadi di negeri ini? Lalu, kenapa Tuan Putri bersembunyi di balik gendang ini?”

“Negeri ini sedang diteror oleh seekor ular raksasa. Ular raksasa meminta kepada warga agar aku dijadikan sebagai persembahan. Jika tidak, dia akan marah dan menyerang negeri ini,” ungkap sang Putri dengan sedih.

“Baiklah, kalau begitu. Tuan Putri tidak perlu takut, hamba akan menghabisi ular raksasa itu,” ujar Indara Pitaraa .

Tak berapa lama kemudian, ular raksasa itu datang. Ia amat marah karena sang Putri yang dijanjikan tidak datang ke tempatnya.

“Karena permintaanku tidak dipenuhi, seluruh penduduk negeri ini akan kubinasakan,” ancam ular raksasa itu.

Mendengar suara ular itu, Indara Pitaraa dengan gagahnya segera keluar. Tangan kanannya menggenggam keris pusaka, sedangkan tangan kirinya memegang perisai tumpurung kelapa.

“Hai, ular biadab! Jika berani, lawan aku!” tantang Indara Pitaraa .

“Ha… Ha… Ha…!” ular itu tertawa terbahak-bahak, “Hai, anak ingusan! Dengan apa kamu berani melawanku?”

“Lihatlah, keris pusaka di tanganku ini!” seru Indara Pitaraa , “Keris ini akan mengoyak-oyak seluruh isi perutmu. Ayo, majulah kalau berani!”

Merasa diremehkan, ular raksasa itu langsung menyerang Indara Pitaraa dengan kibasan ekornya. Indara yang sebelumnya sudah bersiap-siap, dapat dengan mudah menghindar. Uar itu pun kembali melancarkan serangan bertubi-tubi hingga berhasil memanggut dan menelan tubuh Indara Pitaraa . Sementara itu, Indara Pitaraa yang berada di dalam perut ular itu, tidak menyia-nyiakan kesempatan. Ia menebaskan kerisnya dan mencabik-cabik isi perut ular itu. Ular yang ganas itu akhirnya tewas. Indara Pitaraa pun segera keluar dari dalam perutnya ular itu.

Keberhasilan Indara Pitaraa membunuh ular raksasa yang ganas itu disambut meriah oleh penduduk negeri. Ia pun menikahi putri Raja dan beberapa tahun kemudian ia dinobatkan menjadi raja. Indara Pitaraa memerintah negeri itu dengan arif dan bijaksana.

Suatu ketika, tanpa disangka-sangka, Raja Indara Pitaraa bertemu dengan adiknya Siraapare yang juga telah menjadi raja di negeri lain. Akhirnya, mereka memutuskan untuk kembali ke kampung halaman untuk menemui orangtua mereka. Mereka pulang dengan membawa istri masing-masing dan disertai oleh sejumlah pengawal. Setiba di kampung halaman, mereka pun mengadakan pesta selama tujuh hari tujuh malam dengan mengundang seluruh warga kampung. Pada kesempatan itulah, Indara Pitaraa dan Sirapaare meminta maaf kepada seluruh warga atas kenakalan mereka di masa kecil. Tidak hanya itu, mereka juga mengganti seluruh kerugian, baik hewan ternak maupun tanaman yang dulu pernah mereka rusak.