Kisah Lawongo dan Asal Mula Pulau Napombalu

Pulau Kabaruan, Sulawesi Utara, hiduplah seorang pemuda tampan bernama Lawongo. Ia seorang pemburu babi hutan dan pemain suling yang mahir. Kemahirannya bermain suling sangat dikagumi oleh masyarakat sekitar. Banyak gadis cantik yang jatuh cinta kepadanya, namun tak seorang pun yang memikat hatinya. Untuk mencari gadis yang didambakannya, ia sering berkeliling di Pulau Kabaruan mempertunjukkan kemahirannya memainkan suling.

Pada suatu hari, tibalah Lawongo di Desa Damau. Para warga desa pun berkumpul hendak menyaksikan pertunjukannya. Lawongo memainkan sulingnya dengan lincahnya sambil mengamati gadis-gadis yang ikut menonton pertunjukannya. Beberapa saat kemudian, tiba-tiba padangan matanya tertuju pada seorang gadis cantik yang berdiri di antara kerumunan penonton. Melihat kecantikan gadis itu, ia pun langsung terpikat. Dengan penuh semangat, ia pun mengeluarkan seluruh kemampuannya bermain suling untuk memikat hati gadis itu. Gadis itu pun terbuai menikmati permainan suling Lawongo sambil menatap mata Lawongo denga penuh arti

.

Setelah pertunjukan Lawongo selesai, para warga pun membubarkan diri dan kembali ke rumah masing-masing, kecuali gadis itu. Si Gadis tidak beranjak dari tempatnya berdiri. Lawongo pun segera menghampiri dan menyapanya.

“Hai, gadis cantik! Apakah Adik suka dengan permainan suling Abang?” tanya Lawongo.

“Iya, Bang! Adik sangat kagum dengan permainan suling Abang?” jawab gadis itu sambil tersenyum.

Mendapat tanggapan baik dari gadis itu, Lawongo pun tidak segan-segan mengungkapkan perasaannya dengan untaian pantun.

Dari mana hendak ke mana
Dari Jepang ke Bandar Cina
Kalau boleh kami bertanya
Bunga yang kembang siapa punya?

Dari Jepang ke Bandar Cina
Singgah berlabuh di Singapura
Bunga yang kembang siapa punya?
Kami ingin memetiknya

 Gadis itu pun menjawab dengan untaian pantun pula.

Tetak buluh sampaikan kain
Kain cela tepi bersuji
Masakan lepas pada yang lain
Jika sudah disitu janji

Kain celah tepi bersuji
Lalu sampaikan atas galah
Jika sudah disitu janji
Hajatpun lalu disampaikan Allah

Setelah mengungkapkan perasaan suka sama suka, kedua sejoli itu pun saling berjanji.

Tanam melati di ruma-ruma
Ubur-ubur sampingan dua
Kalau mati bersama
Satu kubur kita berdua

Ubur-ubur sampingan dua

Tanam melati bersusun tangkai
Satu kubur kita berdua
Kalau boleh bersusun bangkai

Akhirnya, Lawongo pun menikah dengan gadis itu. Sejak saat itu, ia pun menetap di Desa Damau, tempat tinggal istrinya. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarganya, Lawongo bercocok tanam dan berburu babi hutan. Hampir setiap hari ia berhasil mendapatkan binatang buruan. Penduduk Desa Damau pun sangat menghargai pekerjaannya tersebut, karena sejak kedatangannya ke desa itu, para penduduk terhindar dari gangguan babi hutan yang kerap berkeliaran di sekitar desa dan merusak tanaman mereka. Di samping itu, pada malam harinya, para penduduk sangat terhibur dengan irama suling yang dimainkan oleh Lawongo. Lawongo pun segera mendapat perhatian dari penduduk setempat dan menjadi pujaan bagi semua warga, baik yang tua maupun yang muda. Bahkan, banyak gadis kerap mencari-cari perhatian dan menggondanya, namun Lawongo tidak pernah terpengaruh oleh godaan itu.

Sebesar apa pun godaan yang datang kepadanya, Lawongo akan tetap sayang kepada istrinya. Sejak awal ia sudah berjanji untuk selalu bersama istrinya sehidup-semati, karena ia merasa senang, tenteram, dan bahagia hidup bersama pujaan hatinya itu. Namun, di tengah-tengah ketenangan, ketenteraman, dan kebahagiaan itu, tiba-tiba muncul malapetaka yang menimpa kehidupannya.

Pada suatu malam, Lawongo bermimpi sedang pergi berburu babi di tengah hutan. Babi yang sedang diburuhnya itu sangat besar. Selama menjadi pemburu binatang, ia tidak pernah menemukan babi sebesar itu. Dengan seluruh kemampuannya, ia pun melemparkan tombaknya ke arah babi hutan itu. Duggg…!!! Tombaknya tempat mengenai punggung babi itu. Apa yang terjadi? Babi besar itu bukannya roboh, tetapi justru mengamuk dengan ganasnya dan berbalik menyerangnya. Menyadari hidupnya terancam, Lawongo pun segera mencabut pisaunya dari warangkanya, lalu menikamkannya ke lambung kanan babi itu. Setelah memastikan babi itu benar-benar telah mati, ia segera memasukkan pisaunya ke dalam warangkanya dan kemudian membawa pulang babi hasil buruannya itu untuk ditunjukkan kepada istrinya. Saat tiba di rumahnya, tiba-tiba ia terbangun dan tersadar dari mimpinya. Oleh karena malam masih larut, ia pun kembali melanjutkan tidurnya di samping istrinya.

Keesokan harinya, seperti biasanya, Lawongo bangun pagi-pagi sekali untuk bersiap-siap pergi berburu. Setelah mempersiapkan tombak dan pisaunya, berangkatlah ia ke hutan. Ia sengaja tidak membangunkan istrinya karena hari masih sangat pagi.

Sesampainya di hutan, Lawongo langsung melakukan perburuan. Sudah setengah hari ia berkeliling di hutan itu, namun tak seekor pun binatang buruan yang ditemukannya.

“Aneh, sungguh aneh! Kenapa suasana hari ini sangat sepi? Tak seekor burung yang berkicau. Pepohonan pun seakan diam membisu. Babi hutan dan binatang lainnya juga tidak ada yang berkeliaran,” gumam Lawongo dengan heran.

Hari pun sudah semakin siang. Badan Lawongo sudah sangat letih, perutnya terasa sangat lapar, dan kerongkongannya pun terasa kering karena haus. Ia pun segera memanjat pohon kelapa dan memetik beberapa butir buah kelapa muda, lalu membelahnya. Betapa terkejutnya ia ketika akan mencabut pisaunya, pisau itu melekat sangat keras pada warangkanya.

“Aduuuh, kenapa pisau ini sangat disulit dicabut?” keluh Lawongo.

Dengan sekuat tenaga Lawongo mencabut pisau itu, dan akhirnya ia pun berhasil. Ia sangat terperanjat saat melihat darah membeku di pisaunya itu.

“Wah, ternyata darah inilah yang menyebabkan pisau ini sulit dicabut dari warangkanya,” gumamnya.

Sejenak Lawongo terdiam memikirkan kenapa ada darah membeku pada pisaunya itu. Tiba-tiba, ia pun teringat pada mimpinya semalam. Saat itu pula, ia teringat pada istrinya yang tidur di sampingnya semalam.

“Waduh! Jangan-jangan aku salah tikam semalam?” ucap Lawongo dengan menduga-duga.

Tanpa berpikir panjang, Lawongo segera berlari pulang ke rumahnya. Sesampainya di rumah, ia melihat sudah banyak warga yang berkumpul di depan rumahnya.

“Ada apa, Pak! Kenapa kalian berkumpul di sini?” tanya Lawongo kepada seorang warga.

“Maaf, Lawongo! Kami turut berduka cita melihat kondisi istrimu,” jawab warga itu.

“Memangnya kenapa dengan istriku?” tanya Lawongo cemas.

“Para warga menemukan istrimu dalam keadaan terbujur kaku,” jawab warga itu.

Mendengar keterangan warga itu, Lawongo pun semakin yakin dengan dugaannya bahwa bukanlah babi hutan yang ia tusuk dengan pisaunya semalam, melainkan istrinya yang sedang tidur di sampingnya. Ia pun segera berlari masuk ke dalam rumahnya untuk melihat keadaan istrinya. Saat masuk ke dalam kamar, ia melihat istrinya tidur terlentang ditutupi oleh kain kafan di atas pembaringan yang ditunggui oleh sejumlah warga. Dengan perlahan-lahan, Lawongo membuka kain kafan itu. Saat kain kafan terbuka, terlihatlah tubuh pada bagian lambung istrinya penuh dengan darah yang sudah membeku.

“Tidaaak….!!! Jangan tinggalkan aku, Istriku!” teriak Lawongo dengan histeris di antara kerumunan warga yang sedang mengelilingi istrinya.

Lawongo sangat menyesal atas kejadian yang menimpa istrinya itu.

“Maafkan Abang, Istriku! Abang tidak bermaksud melakukan ini. Abang sangat mencintaimu,  Istriku!” seru Lawongo sambil menangis terseduh-seduh.

Namun, apa hendak dibuat, nasi sudah menjadi bubur. Istri Lawongo yang sangat dicintainya itu telah pergi menghadap kehadirat Tuhan Yang Mahakuasa. Lawongo pun tidak dapat berbuat apa-apa untuk menyelamatkan istrinya. Sesuai dengan sumpah janjinya ketika untuk selalu bersama istrinya sehidup-semati dan satu kubur berdua, ia pun meminta kepada warga agar segera membuat dua peti mati, satu untuk istrinya dan satu lagi untuk dirinya. Semua warga terperanjat mendengar permintaannya itu.

“Jangan lakukan itu, Lawongo! Jika kamu ikut mati bersama istrimu, kami akan merasa kesepian, karena tidak lagi mendengar irama sulingmu yang sangat merdu itu. Lagipula kamu masih terlalu muda dan masih mempunyai banyak harapan untuk bisa hidup lebih baik lagi,” pesan seorang warga.

Namun, Lawongo tidak menghiraukan nasehat tersebut. Ia tetap bertekad mati bersama istri yang sangat dicintainya itu.

“Tidak, Pak! Aku harus mati bersama istriku. Dialah satu-satunya harapan saya di dunia ini,” kata Lawongo.

Setelah itu, Lawongo berpesan kepada sanak saudara, teman-teman, dan penduduk setempat agar segera membuat lubang dan saluran udara pada peti matinya.

“Kalian tidak usah bersedih. Saya akan bermain suling di dalam peti mati itu untuk menghibur kalian semua,” kata Lawongo.

Para warga tidak dapat lagi mencegah keinginan Lawongo dan segera memenuhi permintaannya. Setelah semuanya selesai, Lawongo pun bersiap-siap untuk dikuburkan bersama istrinnya. Sebelum masuk ke dalam peti matinya, Lawongo kembali berpesan kepada warga.

“Jika kalian sudah tidak mendengar lagi suara sulingku, berarti aku sudah tidak ada lagi di dalam kubur ini. Pergilah kalian ke pantai dan kalian akan melihat benda aneh muncul dari laut, datang dari kaki langit. Benda aneh itu adalah penjelmaanku. Tapi, ingat! Kalian jangan menunjuk benda itu dan jangan pula kalian teriaki. Kalian diam saja di pantai dengan tenang sambil menunggu benda itu,” ujar Lawongo.

Setelah Lawongo masuk ke dalam peti mati itu, para warga pun segera menguburkan Lawongo bersama istrinya. Pada hari pertama dan kedua, mereka masih mendengar suara suling Lawongo dengan sangat nyaring dan merdu. Pada hari ketiga, suara suling Lawongo semakin kecil. Memasuki hari kempat dan kelima, suara suling itu hanya terdengar sayup-sayup dan akhirnya pada hari ketujuh suara suling Lawongo lenyap sama sekali.

Teringat pada pesan Lawongo, pagi-pagi sekali, seluruh sanak keluarga dan teman-teman Lawongo serta penduduk Desa Damau segera berlari menuju ke pantai. Sesampainya di pantai, mereka duduk dengan tenang sambil menunggu benda aneh yang datang dari kaki langit sebagaimana yang dikatakan oleh Lawongo. Sudah dua jam mereka menunggu, namun belum ada tanda-tanda akan munculnya benda aneh itu. Para warga pun mulai meragukan akan kebenaran perkataan Lawongo.

“Wah, sudah lama kita menunggu di sini, tapi benda aneh itu tidak muncul juga. Jangan-jangan Lawongo hanya mengada-ada,” ucap seorang warga.

“Benar, barangkali Lawongo hanya membohongi kita semua,” tambah seorang warga lainnya.

“Sebaiknya kita tunggu beberapa saat lagi,” sahut salah seorang keluarga istri Lawongo.

Tak berapa lama kemudian, tiba-tiba sebuah benda berwarna kehitam-hitaman mencuat menyerupai gunung muncul dari permukaan laut di kaki langit. Benda aneh itu bergerak menuju ke arah pantai Desa Damau. Melihat benda itu, para warga hanya terperangah melihat benda aneh itu. Mereka pun tidak berani berteriak dan menunjuk benda itu sebagaimana pesan Lawongo. Semakin lama benda itu semakin mendekat ke arah mereka. Mereka pun mulai ketakutan karena khawatir benda besar itu menabrak pulau tempat tinggal mereka. Baru saja mereka akan berlari meninggalkan pantai itu, tiba-tiba benda raksasa itu berhenti di tengah laut. Para warga pun semakin penasaran ingin mengetahui benda itu dari dekat. Maka berlayarlah beberapa orang warga menuju ke arah benda itu. Setelah mereka mendekat, ternyata benda itu adalah sebuah pulau karang. Mereka pun menamai pulau itu Napombalu yang diambil dari kata napo berarti pulau karang, dan kata nawalu yang berarti benda aneh yang berubah menjadi sebuah pulau. Di saat pasang besar, pulau itu tenggelam dan di saat surut, pulau itu muncul kembali di permukaan laut.