Alkisah, di daerah Kalimantan Timur, terdapat sebuah sungai yang bermuara di Sungai Kahayan. Muara sungai itu bernama muara Sungai Sian. Di muara sungai itu terdapat sebuah kampung yang makmur, tenteram, dan damai. Penduduknya senantiasa hidup rukun dan saling membantu satu sama lain. Di tengah-tengah kedamaian itu, tiba-tiba mereka diserang oleh kawanan perampok dengan persenjataan lengkap. Mereka memporak-porandakan seluruh isi kampung. Rumah-rumah penduduk hancur berantakan. Tangga dan tiang penyangga berserakan di mana-mana.
Melihat keberingasan perampok tersebut, penduduk kampung tidak tinggal diam. Para kaum laki-laki, baik muda maupun tua, berusaha untuk melakukan perlawanan. Pertempuran sengit pun tak terhindarkan lagi. Alhasil, mereka dapat menghalau perampok tersebut, meskipun banyak warga yang harus menjadi korban. Setelah musuh itu pergi, mereka segera menguburkan warga yang tewas dan membersihkan serpihan-serpihan rumah yang masih berserakan.
Malam harinya, seluruh penduduk berkumpul di balai basara (rumah khusus untuk rapat) untuk mencari jalan keluar agar kampung mereka terhindar dari serangan perampok. Saat musyawarah itu dimulai, seorang warga yang bernama Nyapu langsung angkat bicara.
“Maaf, para hadirin! Kalau saya boleh mengusulkan, bagaimana kalau kita tinggalkan saja kampung ini. Kita cari tempat lain untuk mendirikan kampung yang baru, sehingga kita bisa hidup aman dan tenteram. Kita tidak akan mungkin bertahan lama di kampung ini. Mereka pasti akan kembali lagi menyerang kita dengan jumlah besar, sedangankan jumlah kita semakin berkurang,” usul Nyapu memulai pembicaraan.
Namun, tak seorang pun warga yang mendukung usulannya, kecuali istrinya. Para warga lebih memilih untuk bertahan di kampung itu. Mereka bersepakat untuk mengadakan upacara agar roh-roh halus melindungi kampung mereka dari gangguan kawanan perampok. Mereka juga bersepakat untuk bergotong-royong membuat benteng pertahanan yang kokoh dan menyiapkan persenjataan lengkap. Siang dan malam, para kaum laki-laki berkeliling kampung untuk berjaga-jaga secara bergiliran, sedangkan kaum perempuan sibuk menyiapkan makanan.
Pada suatu malam, ketika sedang menyiapkan makan malam, kaum perempuan melihat beberapa jukung (kapal) datang dari hilir sungai menuju ke kampung mereka. Mengetahui bahwa jukung-jukung tersebut berisi kawanan perampok,mereka pun panik dan berlarian sambil berteriak.
“Perampok …! Perampok … ! Perampok datang… !!!
Mendengar teriakan itu, para kaum laki-laki yang sedang berjaga-jaga segera membangunkan warga lainnya yang sedang beristirahat untuk menghadang kawanan perampok tersebut. Pertempuran sengit pun kembali terjadi. Pertempuran antara kedua belah pihak berlangsung cukup lama. Namun, lagi-lagi pertempuran itu dimenangkan oleh penduduk. Pertempuran tersebut kembali menyisahkan kepedihan bagi sebagian penduduk. Banyak kaum ibu-ibu yang menangis histeris, karena suami mereka tewas dalam pertempuran tersebut.
Melihat kondisi kampung yang rusak parah dan banyaknya warga yang menjadi korban, Nyapu kembali mengajak seluruh penduduk kampung untuk meninggalkan kampung itu. Namun, para warga tetap saja menolak ajakan Nyapu. Akhirnya, Nyapu dan istrinya memutuskan untuk meninggalkan kampung itu.
“Baiklah! Jika tidak ada yang berniat meninggalkan kampun ini, izinkanlah saya dan istri saya pergi. Kami akan pergi ke hulu sungai dan membuka ladang di sana,” ungkap Nyapu.
Keesokan harinya, Nyapu dan istrinya berpamitan kepada seluruh penduduk. Ketika mereka akan berangkat, para tali atau palu (janda) yang berjumlah empat puluh orang menyatakan ingin ikut. Setelah mempersiapkan bekal secukupnya, rombongan itu pun berangkat dengan menggunakan jukung menyusuri Sungai Kahayan. Setelah berhari-hari menentang arus, sampailah mereka di muara Sungai Miri. Mereka kemudian menyusuri Sungai Miri menuju arah hulu hingga menemukan muara Sungai Napoi. Kemudian mereka berbelok menyusuri Sungai Napoi hingga ke hulu. Akhirnya, mereka tiba di sebuah sungai yang belum pernah mereka datangi. Mereka pun menamakan sungai itu Sungai Bolo. Air sungai itu sangat jernih. Pemandangan di sekitarnya pun sangat indah dan hawanya sangat sejuk. Pepohonan tumbuh subur di pinggir sungai.
“Wah, tempat ini indah sekali. Tanahnya subur dan banyak sungai-sungai kecil yang mengalir di sini. Jika kita tinggal di sini, tentu kita tidak akan kekurangan air,” ucap istri Nyapu.
“Kamu benar, Istriku! Sebaiknya kita membuka perkampungan baru di sekitar sungai ini,” kata Nyapu.
Akhirnya, Nyapu bersama rombongannya memutuskan untuk tinggal di daerah itu dan segera membangun rumah. Dalam waktu sepekan, mereka berhasil mendirikan sebuah perkampungan. Nyapu pun diangkat menjadi kepala kampung. Mereka menamai kampung itu Kampung Nyapu.
Setelah itu, Nyapu bersama warganya membuka ladang. Mereka menanami ladang itu dengan tanaman padi. Mereka sangat tekun dan rajin merawat tanaman mereka, sehingga ketika musim panen tiba, lumbung-lumbung padi mereka penuh dengan padi. Nyapu dan warganya pun hidup bahagia.
Kebahagiaan Nyapu pun semakin bertambah ketika istrinya melahirkan seorang anak perempuan yang cantik jelita. Bayi itu mereka beri nama Moret. Nyapu dan istrinya merawat dan mendidik Moret dengan penuh kasih sayang. Sejak Moret berusia lima tahun, Nyapu sering mengajaknya ke ladang untuk memperkenalkan kepadanya tentang kehidupan alam di sekitarnya. Tak heran jika Moret tumbuh menjadi anak yang cerdas dan memiliki watak kasih sayang kepada sesama. Moret pun sangat senang tinggal di kampung itu, karena seluruh warga sayang kepadanya.
Sementara itu di tempat lain, penduduk kampung di muara Sungai Sian kembali diserang oleh kawanan perampok. Karena tidak mampu lagi bertahan di kampung itu, akhirnya mereka pun berbondong-bondong menuju ke Kampung Nyapu. Mereka membangun rumah dan membuka ladang sebagaimana penduduk lainnya. Lama-kelamaan, Kampung Nyapu semakin ramai.
Seiring dengan berjalannya waktu, Moret pun tumbuh menjadi seorang gadis yang cantik jelita. Kecantikannya mengundang decak kagum setiap pemuda yang melihatnya dan mereka pun berharap dapat mempersuntingnya.
Moret adalah gadis yang cerdas. Ia tidak ingin gegabah dalam memilih jodoh. Ia ingin mendapatkan suami yang dapat mendatangkan kemakmuran, kesejahteraan, dan ketenteraman bagi seluruh penduduk Kampung Nyapu. Untuk itu, ia mengajukan syarat kepada setiap pemuda yang datang melamarnya agar mengisi lumbung terbesar yang ada di Kampung Nyapu dengan biji buah-buahan dalam waktu sehari. Biji-biji tersebut akan ditanam di ladang-ladang milik penduduk seusai pesta pernikahannya.
Sudah banyak pemuda kampung yang datang melamarnya, namun tak satu pun yang mampu untuk memenuhi syaratnnya. Moret menyadari bahwa syarat yang diajukannya itu cukup berat. Namun, ia merasa yakin bahwa suatu hari kelak pasti ada pemuda yang sanggup untuk memenuhinya. Ternyata keyakinannya benar. Beberapa hari kemudian, datanglah seorang pemuda tampan dari kampung lain yang bernama Karang hendak melamarnya. Selain tampan, Karang juga memiliki kesaktian yang tinggi. Berbekal kesaktiannya, ia pun menyanggupi syarat yang diajukan Moret. Namun, Moret tidak mau menerima lamaran itu sebelum syaratnya diwujudkan oleh si Karang.
“Maaf, Tuan! Lamaran Tuan baru saya akan terima jika Tuan telah memenuhi lumbung padi yang paling besar di kampung ini dengan biji buah-buahan,” kata Moret.
“Baiklah, jika itu yang Putri inginkan. Izinkanlah saya untuk mohon diri untuk segera mewujudkan syarat Putri,” kata Karang.
Setelah berpamitan, berangkatlah si Karang ke hutan. Dengan kesaktiannya, ia berhasil mengumpulkan banyak sekali biji buah-buahan hingga memenuhi lumbung padi terbesar di Kampung Nyapu. Karena syaratnya terpenuhi, Moret pun menerima lamaran Karang. Beberapa hari kemudian, pesta pernikahan mereka dilangsungkan dengan sangat meriah. Berbagai pertunjukan seni dan tari dipertontonkan. Undangan yang hadir datang dari berbagai penjuru.
Dalam pesta tersebut, ayah Moret (Nyapu) meminta tolong kepada seluruh undangan untuk menanam seluruh biji buah-buahan yang telah dikumpulkan Karang. Usai pesta, seluruh undangan yang hadir bergotong-royong menanam biji buah-buahan tersebut di ladang Nyapu dan di ladang milik warga Kampung Nyapu lainnya. Dalam waktu setengah hari, seluruh biji buah-buahan tersebut berhasil ditanam. Betapa senang hati Moret karena keinginannya dapat terwujud. Ia pun hidup berbahagia bersama suaminya.
Beberapa tahun kemudian, kebahagiaan Moret semakin bertambah. Selain karena dikaruniai dua orang putra-putri yang tampan dan cantik, juga karena seluruh biji buah-buahan yang ditanam di ladang telah berbuah lebat. Hasilnya pun dapat dinikmati oleh seluruh warga hingga ke anak cucu mereka.
* * *
Demikian cerita Nyapu dan Moret dari daerah Kalimantan Timur, Indonesia. Cerita di atas termasuk kategori dongeng yang mengandung nilai-nilai moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Tokoh utama dalam cerita di atas adalah Nyapu dan Moret. Pelajaran yang dapat diambil dari tokoh Nyapu adalah bahwa ia seorang laki-laki yang memiliki wawasan luas dan pandangan jauh ke depan. Hal ini terlihat ketika ia mengajak para penduduk untuk mengungsi ke tempat lain setelah kampung mereka diporak-porandakan oleh kawanan perampok dan banyak warga yang menjadi korban. Dengan mengungsi, ia berharap kehidupan mereka akan lebih baik dan aman dari gangguan perampok. Alhasil, mereka pun dapat mendirikan sebuah perkampungan dan berladang secara aman, sehingga mereka hidup tenteram dan sejahtera.
Hal tersebut di atas juga ditunjukkan oleh sikap Moret. Ia adalah seorang gadis yang cerdas dan memiliki pandangan jauh ke depan. Ia memilih jodoh yang dapat mendatangkan kemakmuran, kesejahteraan, dan ketenteraman bagi seluruh penduduk Kampung Nyapu. Dari sini dapat dipetik sebuah pelajaran bahwa orang yang memiliki pandangan jauh ke depan memiliki rasa tanggung jawab terhadap anak cucu (generasi mendatang). Tindakan yang dilakukan oleh Moret tidak semata-mata untuk kepentingan pribadi, tapi juga untuk kepentingan seluruh masyarakat. Tidak hanya untuk kehidupan masa kini, tapi juga untuk kehidupan anak cucunya di masa yang akan mendatang.