Pada jaman dahulu kala, di sebuah desa yang bernama kelekak nangak yang terdapat di kecamatan membalong, hiduplah sepasang suami-istri yang miskin dan tidak mempunyai anak. sang suami bernama pak inda, sedangkan sang istri bernama bu tumina. mereka tinggal di sebuah rumah kecil yang beratap rumbia dan berlantai kayu gelegar berlapik jerami. untuk memenuhi kebtuhan kuasa hidup sehari-hari, mereka menanam padi di ladang dan menangkap ikan dengan cara memasang pukat di tepi laut. ketika air surut, ikan-ikan akan terperangkap dalam pukat itu.
pada suatu hari, demam isu panen padi bersempurnaan dengan waktu air laut surut. pak inda betare (berpamitan) kepada istrinya untuk melihat sero yang dipasang di tepi laut.
“dik! hari ini abang akan pergi memeriksa sero di tepi laut. bagaimana kalau saudara termuda sendiri saja yang berangkat ke ladang memanen padi?” tanya sang suami.
“baik, bang! kebetulan juga hari ini kita tidak mempunyai lauk untuk makan siang,” jawab sang istri.
Dengan membawa ambong, berangkatlah pak inda ke laut. ketika akan mendekati seronya, tiba-tiba ia tersandung sepotong bambu. ia pun mengambil bambu itu dan melemparkannya ke laut, biar hanyut terbawa oleh air laut yang sedang surut. namun, ketika akan menangkap ikan di seronya, ia tersandung lagi dengan sepotong bambu.
“kenapa banyak sekali bambu yang hanyut di tempat ini?” gumam pak inda sambil mengamati bambu itu.
“ganjil! miripnya bambu ini yang sudah aku lemparkan tadi,” gumam pak inda takjub.
oleh sebab sudah tidak tabah ingin melihat seronya, pak inda segera membuang kembali bambu itu agak jauh ke tengah laut biar tidak menghalanginya lagi. sesudah itu, ia pun menangkap ikan di dalam seronya. pak inda sangat gembira, sebab menerima banyak ikan. sebagian ikan tersebut ia masukkan ke dalam ambongnya, dan sebagian pula diikat dengan tali rotan, sebab ambongnya tidak dapat menampung semua ikan tersebut. sesudah itu, ia pun bergegas pulang ke rumahnya.
namun, pada ketika akan meninggalkan pantai, tiba-tiba ia kembali tersandung pada sepotong bambu. ia pun mengambil bambu itu lalu mengamatinya secara seksama.
“wah, tidak salah lagi, ini bambu yang aku buang ke laut tadi. tapi, kenapa bambu ini mampu hingga ke sini, padahal air laut sedang surut?” tanya pak inda dalam hati.
“benar-benar ganjil! bambu ini dapat melawan arus air laut. ini bukanlah bambu sembarangan,” tambahnya sambil mengamati bambu itu.
sesudah beberapa ketika berpikir, pak inda mengambil bambu itu dan menggunakannya sebagai pemikul ikan. sehingganya di rumah, pak inda menceritakan peristiwa yang dialami kepada istrinya. oleh istrinya, bambu itu digunakan sebagai penindih jemuran padi biar tidak diterbangkan angin.
pada suatu hari, ketika sedang duduk berkalem di rumah, pak inda dan istrinya dikejutkan oleh bunyi letusan yang sangat monyets. keduanya pun segera menuju ke sumber bunyi letusan itu. rupanya, sumber letusan itu berasal dari sepotong bambu yang digunakan oleh sang istri menindih jemuran padi yang berada di depan rumah mereka. alangkah terkejutnya mereka ketika melihat seorang bayi perempuan disertai dengan pancaran cahaya yang menyilaukan keluar dari bambu itu.
“bang, lihat itu! ada seorang bayi perempuan yang tergeletak di tanah,” seru sang istri.
“bayi itu menangis! cepat tolong dia, dik!” seru pak inda kepada istrinya.
tanpa berpikir panjang, bu tumina segera mengambil dan memandikan bayi itu. sesudah bersih, ia menggendong bayi itu sambil bernyanyi:
anakku akung, anak kandungku.
anak kandung sibiran tulang,
obah jerih… pelerai demam.
bu tumina terus bernyanyi hingga si bayi tidak menangis lagi dan tertidur. kedua suami-istri itu sangat senang, disebabkan sudah menerima seorang anak yang sudah lama mereka dambakan. mereka pun merawat dan membesarkan bayi itu dengan penuh kasih akung mirip anak kandung mereka sendiri. mereka memberinya nama putri pinang gading.
waktu berjalan begitu cepat, putri pinang gading sudah berumur lima belas tahun tahun. setiap hari ia pergi berburu binatang di hutan yang ada di sekitar rumahnya. banyak sudah binatang buruan yang dulu dipanahnya, sebab memang semenjak kecil ia sangat suka bermain panahan dan seringkali dilatih oleh ayahnya cara memanah yang baik. semenjak kehadiran putri pinang gading, rezeki pak inda terus bertambah, sehingga kehidupan mereka pun semakin sejahtera.
pada suatu hari, terdengar kabar bahwa di kampung kelekak remban terjadi bencana yang ditimbulkan oleh agresi burung yang besar. oleh masybirat kelekak remban, burung itu disebut burung gerude yang tinggal di sebelah timur kawasan ranau. burung gerude itu sangat ganas dan buas. ia mengobrak-abrik permukiman penduduk kelekak remban, dan bahkan sudah menelan seorang warga. seluruh penduduk kelekak remban jadi panik. untuk berlindung dari agresi burung gerude, para warga membuat remban.[6] tidak seorang pun warga yang berani keluar rumah.
peristiwa yang mengerikan itu terdengar oleh putri pinang gading yang kini sudah berusia 21 tahun. ia bertekad hendak pergi ke kampung kelekak remban untuk menolong warga yang sedang dilanda ketakutan.
“ayah, ibu! izinkanlah putri pergi untuk mengusir binatang buas itu!” pinta putri pinang gading.
“apakah kau sanggup mengalahkan burung besar itu, nak?” tanya pak inda khawatir kepada putrinya.
“ayah tidak perlu khawatir. putri akan membinasakan burung itu dengan panahku yang beracun ini,” jawab putri pinang gading dengan penuh keyakinan.
“baiklah, kalau begitu! tapi, kau harus lebih berhati-hati, nak! kami takut kehilanganmu,” ujar pak inda.
“benar, nak! kau ialah putri kami satu-satunya,” sahut bu tumina.
“baik, ayah, ibu! putri akan jaga diri,” kata putri pinang gading seraya berpamitan kepada ayah dan ibunya.
sesudah menyiapkan beberapa anak panah yang sudah dibubuhi racun, putri pinang gading berangkat menuju kampung kelekak remban. sehingganya di sana, kampung itu tampak sepi. semua warga sedang bersembunyi di dalam rumah mereka. putri pinang gading juga tidak melihat burung gerude itu.
“ke mana burung gerude itu? aku sudah tidak tabah lagi ingin membinasakannya,” gumam putri pinang gading yang sudah siap dengan anak panah di tangannya.
baru saja selesai bergumam, tiba-tiba ia mendengar bunyi burung yang sangat monyets. bunyi itu tidak lain ialah bunyi burung gerude. burung itu terbang ke sana ke mari di atas rumah-rumah penduduk sedang mencari mangsa. sesekali ia mengobrak-abrik rumah penduduk. namun, burung itu tidak menyadari jikalau putri pinang gading sedang memperhatikan gelagaknya dari balik sebuah pohon besar.
putri pinang gading yang sudah siap dengan anak panah di tangannya tinggal menunggu ketika yang sempurna untuk meluncurkan anak panahnya. pada ketika burung gerude itu lengah, dengan cepat ia melepaskan anak panahnya. anak panah itu meluncur ke arah burung gerude itu dan sempurna mengenai dadanya. burung gerude itu pun jatuh ke bumi dan tewas seketika.
para warga yang menyaksikan peristiwa itu melalui cela-cela rumah, keluar dari rumah mereka dan segera mengerumuni burung gerude yang sudah mati itu. mereka sangat kagum melihat keberanian putri pinang gading. akhirnya, kampung itu terbebas dari ancaman bahaya agresi burung gerude. untuk merayakan keberakibatan itu, para warga mengadakan pesta besar-besaran dengan mengundang putri pinang gading.
konon, tempat jatuhnya burung geruda itu berubah menjadi tujuh buah anak sungai. sementera anak panah putri pinang gading yang mengenai dada burung gerude itu tumbuh menjadi serumpun bambu. suatu hari, ada seorang nelayan memotong bambu itu untuk dijsaudara termudaan joran[7]pancing. pada ketika memotong sebatang pohon bambu itu, tiba-tiba tangan nelayan itu terakut dan pribadi meninggal sebab bambu itu masih beracun. oleh masybirat setempat, bambu itu disebut dengan bulo berantu (bambu beracun). kemudian kampung itu mereka beri nama belantu, dari kata buloantu. namun, dalam perkembangannya, nama belantu berubah menjadi membalong yang kini menjadi nama kecamatan di pulau belitung.
* * *
demikian cerita putri pinang gading dari kawasan bangka-belitung (babel), indonesia. cerita di atas termasuk ke dalam cerita legenda yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijsaudara termudaan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. setidaknya ada dua pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas, yaitu keutamaan sifat pemberani dan pandai menghargai sesuatu.
pertama, keutamaan sifat pemberani. sifat pemberani yang dimaksud di sini ialah berani sebab benar, berani pada kebaikan dan berani menegakkan keadilan. sifat pemberani ini tercermin pada perilaku putri pinang gading yang berakibat membinasakan burung gerude yang besar dan ganas itu, walaupun ia hanya seorang perempuan. dari sini dapat membisubil sebuah pelajaran bahwa hendaknya orang tua membekali anak-anaknya dengan aneka macam keterampilan semenjak masih kecil.
kedua, sifat pandai menghargai sesuatu. sifat ini tercermin pada perilaku pak inda. pada mulanya, ia menganggap bahwa sepotong bambu itu tidak bermanfaat baginya. namun, sesudah berpikir, ia pun menyadari ternyata bambu itu berkhasiat untuk dijsaudara termudaan sebagai pemikul. bahkan, suatu hal yang tidak dulu diduga sebelumnya oleh pak inda, ternyata bambu itu bermetamorfosis menjadi seorang bayi perempuan. ia dan istrinya pun menjadi senang disebabkan sudah menerima seorang anak yang sudah lama mereka dambakan. dari sini dapat membisubil sebuah pelajaran bahwa jikalau kita menerima sesuatu benda, hendaknya tidak melihat dari segi fisiknya saja, tetapi memikirkan manfaat yang dapat membisubil dari benda tersebut.