Rara Mendut atau Roro Mendut (dalam bahasa Jawa) adalah seorang gadis cantik yang berpendirian teguh. Karunia kecantikan yang luar biasa membuat Rara Mendut menjadi rebutan para pria, mulai dari kalangan rakyat biasa, bangsawan, hingga panglima perang. Suatu ketika, Rara Mendut diculik oleh Adipati Pragolo II, penguasa Kadipaten Pati untuk dijadikan selir. Namun, sebelum menjadi selir Adipati Pragolo II, Rara Mendut direbut oleh panglima perang Kerajaan Mataram, Tumenggung Wiraguna untuk dijadikan selir pula. Bagaimana nasib Rara Mendut selanjutnya? Berikut kisahnya dalam cerita Kisah Rara Mendut.
* * *
Dahulu, di pesisir pantai utara Pulau Jawa, tepatnya di daerah Pati, Jawa Tengah, tersebutlah sebuah desa nelayan bernama Teluk Cikal. Desa itu termasuk ke dalam wilayah Kadipaten Pati yang diperintah oleh Adipati Pragolo II. Kadipaten Pati sendiri merupakan salah satu wilayah taklukan dari Kesultanan Mataram yang dipimpin oleh Sultan Agung.
Di Teluk Cikal, hidup seorang gadis anak nelayan bernama Rara Mendut. Ia seorang gadis yang cantik dan rupawan. Rara Mendut juga dikenal sebagai seorang gadis yang teguh pendirian. Ia tidak sungkan-sungkan menolak para lelaki yang datang melamarnya sebab ia sudah memiliki calon suami, yakni seorang pemuda desa yang tampan bernama Pranacitra, putra Nyai Singabarong, seorang saudagar kaya-raya.
Suatu hari, berita tentang kecantikan dan kemolekan Rara Mendut terdengar oleh Adipati Pragolo II. Penguasa Kadipaten Pati itu pun bermaksud menjadikannya sebagai selir. Sudah berkali-kali ia membujuknya, namun Rara Mendut tetap menolak. Merasa dikecewakan, Adipati Pragolo II mengutus beberapa pengawalnya untuk menculik Rara Mendut.
Hari itu, ketika Rara Mendut sedang asyik menjemur ikan di pantai seorang diri, datanglah utusan Adipati Progolo.
“Ayo gadis cantik, ikut kami ke keraton!” seru para pengawal itu sambil menarik kedua tangan Rara Mendut dengan kasar.
“Lepaskan, aku!” teriak Rara Mendut sambil meronta-ronta, “Aku tidak mau menjadi selir Adipati Pragolo. Aku sudah punya kekasih!”
Para pengawal itu tidak peduli dengan rengekan Rara Mendut. Mereka terus menyeret gadis itu naik ke kuda lalu membawanya ke keraton. Sebagai calon selir, Rara Mendut dipingit di dalam Puri Kadipaten Pati di bawah asuhan seorang dayang bernama Ni Semangka dengan dibantu oleh seorang dayang yang lebih muda bernama Genduk Duku.
Sementara Rara Mendut dalam masa pingitan, di Kadipaten Pati sedang terjadi gejolak. Sultan Agung menuding Adipati Pragolo II sebagai pemberontak karena tidak mau membayar upeti kepada Kesultanan Mataram. Sultan Agung pun memimpin langsung penyerangan ke Kadipaten Pati.
Menurut cerita, Sultan Agung tidak mampu melukai Adipati Pragolo II karena penguasa Pati itu memakai kere waja (baju zirah) yang tidak mempan senjata apapun. Melihat hal itu, abdi pemegang payung sang Sultan yang bernama Ki Nayadarma pun berkata,
“Ampun, Gusti Prabu. Perkenankanlah hamba yang menghadapi Adipati Pragolo!” pinta Ki Nayadarma seraya memberi sembah.
“Baiklah, Abdiku. Gunakanlah tombak Baru Klinting ini!” ujar sang Sultan.
Berbekal tombak pusaka Baru Klinting, Ki Nayadarma langsung menyerang Adipati Pragolo II. Namun, serangannya masih mampu ditepis oleh Adipati Pragolo II. Saat Adipati itu lengah, Ki Nayadarma dengan cepat menikamkan pusaka Baru Klinting ke bagian tubuh sang Adipati yang tidak terlindungi oleh baju zirah. Adipati Pragolo II pun tewas seketika.
Sementara itu, para prajurit yang dikomandani panglima perang Mataram, Tumenggung Wiraguna, segera merampas harta kekayaan Kadipaten Pati, termasuk Rara Mendut. Tumenggung Wiraguna langsung terpesona saat melihat kecantikan Rara Mendut. Ia pun memboyong Rara Mendut ke Mataram untuk dijadikan selirnya.
Tumenggung Wiraguna berkali-kali membujuk Rara Mendut untuk dijadikan selir, namun selalu ditolak. Bahkan, di hadapan panglima itu, ia berani terang-terangan menyatakan bahwa dirinya telah memiliki kekasih bernama Pranacitra. Sikap Rara Mendut yang keras kepala itu membuat Tumenggung Wiraguna murka.
“Baiklah, Rara Mendut. Jika kamu tidak ingin menjadi selirku, maka sebagai gantinya kamu harus membayar pajak kepada Mataram!” ancam Tumenggung Wiraguna.
Rara Mendut tidak gentar mendengar ancaman itu. Ia lebih memilih membayar pajak daripada harus menjadi selir Tumenggung Wiraguna. Oleh karena masih dalam pengawasan prajurit Mataram, Rara Mendut kemudian meminta izin untuk berdagang rokok di pasar. Tumenggung Wiraguna pun menyetujuinya. Ternyata, dagangan rokoknya laku keras, bahkan, orang juga beramai-ramai membeli puntung rokok bekas isapan Rara Mendut.
Suatu hari, ketika sedang berjualan di pasar, Rara Mendut bertemu dengan Pranacitra yang sengaja datang mencari kekasihnya itu. Pranacitra berusaha mencari jalan untuk bisa melarikan Rara Mendut dari Mataram.
Setiba di istana, Rara Mendut menceritakan perihal pertemuannya dengan Pranacitra kepada Putri Arumardi, salah seorang selir Wiraguna, dengan harapan dapat membantunya keluar dari istana. Rara Mendut tahu persis bahwa Putri Arumardi tidak setuju jika Wiraguna menambah selir lagi.
Putri Arumardi dan selir Wiraguna lainnya yang bernama Nyai Ajeng menyusun siasat untuk mengeluarkan Rara Mendut ke luar dari istana. Bersama dengan Pranacitra, Rara Mendut berusaha untuk kembali ke kampung halamannya di Kadipaten Pati.
Namun sungguh disayangkan, pelarian Rara Mendut dan Pranacitra diketahui oleh Wiraguna. Pasangan ini akhirnya berhasil ditemukan oleh para prajurit Wiraguna. Rara Mendut pun dibawa kembali ke Mataram, sedangkan secara diam-diam, Wiraguna memerintahkan abdi kepercayaannya untuk menghabisi nyawa Pranacitra. Alhasil, kekasih Rara Mendut itu tewas dan dikuburkan di sebuah hutan terpencil di Ceporan, Desa Gandhu, terletak kurang lebih 9 kilometer sebelah timur Kota Yogyakarta.
Sepeninggal Pranacitra, Tumenggung Wiraguna kembali membujuk Rara Mendut agar mau menjadi selirnya. Namun, usahanya tetap sia-sia, gadis cantik itu tetap menolak. Sang Panglima pun tidak kehabisan akal. Ia kemudian menceritakan perihal kematian Pranacitra kepada Rara Mendut.
“Sudahlah, Rara Mendut. Percuma saja kamu menikah dengan Pranacitra,” ujar Tumenggung Wiraguna.
“Apa maksud, Tuan?” tanya Rara Mendut mulai cemas.
“Pemuda yang kamu kasihi itu sudah tidak ada lagi,” jawab Tumenggung Wiraguna.
“Kanda Pranacitra sudah tidak ada? Ah, itu tidak mungkin terjadi. Aku baru saja bertemu dengannya kemarin,” kata Rara Mendut tidak percaya.
“Jika kamu tidak percaya, ikutlah bersamaku, akan kutunjukkan kuburnya,” ujar Tumenggung Wiraguna.
Rara Mendut pun menurut untuk membuktikan perkataan Tumenggung Wiraguna. Betapa terkejutnya Rara Mendut begitu sampai di tempat Pranacitra dikuburkan. Ia berteriak histeris di hadapan makam kekasihnya.
“Kanda, jangan tinggalkan Dinda!” tangis Rara Mendut.
“Sudahlah, Mendut! Tak ada lagi gunanya meratapi orang yang sudah mati,” ujar Wiraguna, “Ayo, kita tinggalkan tempat ini!”
Rara Mendut pun bangkit lalu mengikuti Tumenggung Wiraguna sambil terus menangis. Belum jauh mereka meninggalkan tempat pemakaman itu, Rara Mendut pun murka dan mengancam akan melaporkan perbuatan Wiraguna kepada Raja Mataram, Sultan Agung.
“Tuan jahat sekali. Perbuatan Tuan akan kulaporkan kepada Raja Mataram agar mendapat hukuman yang setimpal!” ancam Rara Mendut.
Seketika, Tumenggung Wiraguna menjadi sangat marah. Ia kemudian menarik tangan Rara Mendut untuk dibawa pulang ke rumahnya. Namun, gadis itu menolak dan meronta-ronta untuk melepaskan diri. Begitu tangannya terlepas, ia menarik keris milik Tumenggung Wiraguna yang terselip di pinggangnya. Rara Mendut kemudian berlari menuju makam kekasihnya. Panglima itu pun berusaha mengejarnya.
“Berhenti, Mendut!” teriaknya.
Setiba di makam Pranacitra, Rara Mendut bermaksud untuk bunuh diri.
“Jangan, Mendut! Jangan lakukan itu!” teriak Tumenggung Wiraguna yang baru saja sampai.
Namun, semuanya sudah terlambat. Rara Mendut telah menikam perutnya dengan keris yang dibawanya. Tubuhnya pun langsung roboh dan tewas di samping makam kekasihnya. Melihat peristiwa itu, Tumenggung Wiraguna merasa amat menyesal atas perbuatannya.
“Oh, Tuhan. Sekiranya aku tidak memaksanya menjadi selirku, tentu Rara Mendut tidak akan nekad bunuh diri,” sesal Tumenggung Wiraguna.
Penyesalan itu tak ada gunanya karena semuanya sudah terjadi. Untuk menebus kesalahannya, Tumenggung Wiraguna menguburkan Rara Mendut satu liang dengan Pranacitra. Begitulah kisah perjuangan Rara Mendut dalam mempertahankan harga diri dan kesetiaannya.
* * *
Demikian cerita Kisah Rara Mendut dari Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Hingga kini, kisah ini masih dikenang dan menjadi simbol cinta yang abadi dalam masyarakat Jawa. Oleh YB. Mangunwijaya, cerita ini telah ditulis dalam trilogi karya sastra klasik berjudul Rara Mendut, Genduk Duku, dan Lusi Lindri yang dimuat di harian Kompas secara bersambung. Sekitar tahun 1983, novel ini kemudian diadaptasi menjadi sebuah film yang berjudul “Roro Mendut” yang disutradarai oleh Ami Prijono. Tahun 2008, novel trilogi ini kembali diterbitkan ke dalam gabungan sebuah novel yang berjudul Rara Mendut: Sebuah Trilogi.
Adapun pesan moral yang dapat dipetik dari kisah di atas adalah bahwa harta, pangkat, dan jabatan bukanlah jaminan untuk mendapatkan cinta sejati seseorang. Cinta sejati tidak selamanya bisa dinilai dengan materi, namun justru cinta itu hadir karena perasaan saling memberi-menerima dan memiliki sebagaimana kisah Rara Mendut dan Pranacitra.