Kumpulan Cerita Rakyat Indonesia Terpopuler Sepanjang Masa

Indonesia memiliki Cerita Rakyat yang sangat banyak ,  Cerita ini menjadi ciri khas (tradisi/budaya) pada bangsa (kota/tempat) tersebut, yang mempunyai kultur budaya dengan keaneka ragaman termasuk didalamnya khasanah kekayaan budaya serta sejarah pada setiap bangsa (kota/tempat) yang diceritakan. Dari puluhan ribu cerita rakyat yang ada Berikut Cerita Rakyat yang sangat populer sepanjang masa di Indonesia:

Kisah Rara Jonggrang dan Candi Prambanan

Alkisah, pada dahulu kala terdapat sebuah kerajaan besar yang bernama Prambanan.
Rakyatnya hidup tenteran dan damai. Tetapi, apa yang terjadi kemudian?
Kerajaan Prambanan diserang dan dijajah oleh negeri Pengging.
Ketentraman Kerajaan Prambanan menjadi terusik. Para tentara tidak
mampu menghadapi serangan pasukan Pengging. Akhirnya, kerajaan
Prambanan dikuasai oleh Pengging, dan dipimpin oleh Bandung Bondowoso.

Bandung Bondowoso seorang yang suka memerintah dengan kejam. “Siapapun yang
tidak menuruti perintahku, akan dijatuhi hukuman berat!”, ujar Bandung
Bondowoso pada rakyatnya. Bandung Bondowoso adalah seorang yang sakti
dan mempunyai pasukan jin. Tidak berapa lama berkuasa, Bandung
Bondowoso suka mengamati gerak-gerik Roro Jonggrang, putri Raja
Prambanan yang cantik jelita. “Cantik nian putri itu. Aku ingin dia
menjadi permaisuriku,” pikir Bandung Bondowoso.

Esok harinya, Bondowoso mendekati Roro Jonggrang. “Kamu cantik sekali, maukah kau
menjadi permaisuriku ?”, Tanya Bandung Bondowoso kepada Roro Jonggrang.
Rara Jonggrang tersentak, mendengar pertanyaan Bondowoso. “Laki-laki
ini lancang sekali, belum kenal denganku langsung menginginkanku
menjadi permaisurinya”, ujar Roro Jongrang dalam hati. “Apa yang harus
aku lakukan ?”. Roro Jonggrang menjadi kebingungan. Pikirannya
berputar-putar.

Jika ia menolak, maka Bandung Bondowoso akan marah
besar dan membahayakan keluarganya serta rakyat Prambanan. Untuk
mengiyakannya pun tidak mungkin, karena Rara Jonggrang memang tidak
suka dengan Bandung Bondowoso. “Bagaimana, Rara Jonggrang ?” desak
Bondowoso. Akhirnya Roro Jonggrang mendapatkan ide. “Saya bersedia
menjadi istri Tuan, tetapi ada syaratnya,” Katanya. “Apa syaratnya?
Ingin harta yang berlimpah? Atau Istana yang megah?”. “Bukan itu,
tuanku, kata Roro Jonggrang. Saya minta dibuatkan candi, jumlahnya
harus seribu buah. “Seribu buah?” teriak Bondowoso. “Ya, dan candi itu
harus selesai dalam waktu semalam.” Bandung Bondowoso menatap Rara
Jonggrang, bibirnya bergetar menahan amarah.

Sejak saat itu Bandung Bondowoso berpikir bagaimana caranya membuat 1000 candi. Akhirnya ia bertanya kepada penasehatnya. “Saya percaya tuanku bias membuat candi
tersebut dengan bantuan Jin!”, kata penasehat. “Ya, benar juga usulmu,
siapkan peralatan yang kubutuhkan!” Setelah perlengkapan di
siapkan. Bandung Bondowoso berdiri di depan altar batu. Kedua lengannya
dibentangkan lebar-lebar. “Pasukan jin, Bantulah aku!” teriaknya dengan
suara menggelegar. Tak lama kemudian, langit menjadi gelap. Angin
menderu-deru. Sesaat kemudian, pasukan jin sudah mengerumuni Bandung
Bondowoso. “Apa yang harus kami lakukan Tuan ?”, tanya pemimpin jin.
“Bantu aku membangun seribu candi,” pinta Bandung Bondowoso.

Para jin segera bergerak ke sana kemari, melaksanakan tugas masing-masing. Dalam
waktu singkat bangunan candi sudah tersusun hampir mencapai seribu
buah. Sementara itu, diam-diam Roro Jonggrang mengamati dari
kejauhan. Ia cemas, mengetahui Bondowoso dibantu oleh pasukan jin.
“Wah, bagaimana ini?”, ujar Rara Jonggrang dalam hati. Ia mencari akal.
Para dayang kerajaan disuruhnya berkumpul dan ditugaskan mengumpulkan
jerami. “Cepat bakar semua jerami itu!” perintah Rara Jonggrang.
Sebagian dayang lainnya disuruhnya menumbuk lesung. Dung…
dung…dung! Semburat warna merah memancar ke langit dengan diiringi
suara hiruk pikuk, sehingga mirip seperti fajar yang menyingsing.

Pasukan jin mengira fajar sudah menyingsing. “Wah, matahari akan terbit!” seru
jin. “Kita harus segera pergi sebelum tubuh kita dihanguskan matahari,”
sambung jin yang lain. Para jin tersebut berhamburan pergi meninggalkan
tempat itu. Bandung Bondowoso sempat heran melihat kepanikan pasukan
jin. Paginya, Bandung Bondowoso mengajak Loro Jonggrang ke
tempat candi. “Candi yang kau minta sudah berdiri!”. Loro Jonggrang
segera menghitung jumlah candi itu. Ternyata jumlahnya hanya 999 buah!.
“Jumlahnya kurang satu!” seru Loro Jonggrang. “Berarti tuan telah gagal
memenuhi syarat yang saya ajukan”. Bandung Bondowoso terkejut
mengetahui kekurangan itu.

Ia menjadi sangat murka. “Tidak mungkin…”,
kata Bondowoso sambil menatap tajam pada Loro Jonggrang. “Kalau begitu
kau saja yang melengkapinya!” katanya sambil mengarahkan jarinya pada
Loro Jonggrang. Ajaib! Loro Jonggrang langsung berubah menjadi patung
batu. Sampai saat ini candi-candi tersebut masih ada dan terletak di
wilayah Prambanan, Jawa Tengah dan disebut Candi Loro Jonggrang.

Legenda Batu Batangkup

Konon, di sebuah dusun di Indragiri Hilir, Riau, hiduplah seorang janda tua yang bernama Mak Minah. Ia hidup bersama ketiga anaknya. Anak pertama dan keduanya laki-laki, bernama Utuh dan Ucin. Sementara anak ketiganya seorang perempuan, bernama Diang.

Sejak ditinggal mati suaminya, Mak Minah-lah yang bekerja keras untuk menghidupi ketiga anaknya. Meskipun sudah tua, Mak Minah masih bersemangat dan tekun bekerja. Setiap pagi, ia sudah bangun memasak dan mencuci. Setelah pekerjaan rumah beres, Mak Minah segera berangkat ke hutan untuk mencari kayu bakar untuk dijual ke pasar. Hasil penjualannya itulah yang dipakai untuk memenuhi kebutuhannya dan ketiga anaknya.

Ketiga anak Mak Minah masih kanak-kanak. Mereka sangat nakal dan pemalas. Sehari-hari mereka hanya bermain. Mereka tidak pernah membantu emaknya yang sudah tua dan mulai sakit-sakitan. Mereka tidak merasa iba melihat emaknya setiap hari bekerja keras membanting tulang sendirian untuk menghidupi mereka. Bahkan, mereka sering membantah nasihat emaknya hingga membuat Mak Minah bersedih.

Baca Juga: Legenda Ande-Ande Lumut

Pada suatu sore, ketiga anak Mak Minah sedang asyik bermain tidak jauh dari rumah mereka. “Utuh, Ucin, Diang… !” teriak Mak Minah memanggil ketiga anaknya. Meskipun mereka telah mendengar panggilan emaknya, ketiga anak itu diam saja. “Anak-anakku, Pulanglah! Hari sudah sore,” lanjut Mak Minah.

Ketiga anak itu masih asyik bermain tanpa menghiraukan seruan emaknya. Tak lama kemudian, Mak Minah kembali memanggil mereka. “Utuh, Ucin, Diang…! Pulanglah! Hari sudah gelap. Hari ini Emak kurang enak badan. Masaklah untuk makan malam!” seru Mak Minah. Usai berseru kepada ketiga anaknya, Mak Minah kembali merebahkan tubuhnya yang lemas ke pembaringan. Setelah menunggu beberapa saat, ketiga anaknya tetap saja asyik bermain. Mereka tidak menghiraukan panggilan Mak Minah. Beberapa saat menunggu, ketiga anaknya tidak mau berhenti bermain. Akhirnya, Mak Minah pergi ke dapur untuk memasak, meskipun badannya sangat lemas.

Tak berapa lama, makanan sudah siap. Mak Minah kembali memanggil ketiga anaknya. “Utuh, Ucin, Diang… ! Pulanglah, Nak! Makan malam kalian sudah Emak siapkan.” Setelah mendengar makan malam mereka siap, baru mereka beranjak dan berhenti bermain. Lalu, ketiga anak tersebut, langsung menuju ke dapur menyantap makanan yang sudah disiapkan emaknya. Dengan lahapnya, mereka menghabiskan semua makanan itu tanpa menyisakan sedikitpun untuk emaknya. Usai mereka makan, bukannya membantu emaknya mencuci piring, malah mereka kembali bermain.

Malam pun semakin larut. Sakit Mak Minah semakin parah. Seluruh badannya terasa pegal-pegal dan sangat lemah karena kelelahan bekerja seharian. “Utuh, Ucin, Diang… ! Tolong pijitin Emak, Nak!” rintih Mak Minah memanggil anaknya. Tapi, anak-anaknya pura-pura tidak mendengar. Mereka terus saja bermain hingga larut malam tanpa mengenal waktu.

Mak Minah sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi, kecuali meratapi nasibnya. “Ya Tuhan, tolonglah hamba! Sadarkanlah ketiga anak-anakku, agar mereka mau perduli pada Emaknya yang tak berdaya ini,” Mak Minah berdoa sambil meneteskan air mata. Usai berdoa, Mak Minah pun tertidur lelap.

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Mak Minah sudah bangun memasak nasi dan lauk yang banyak untuk anak-anaknya. Setelah itu, tanpa sepengetahuan anaknya, Mak Minah pergi ke tepian sungai di dekat gubuknya. Ia mendekati sebuah batu yang konon bisa berbicara seperti manusia. Batu itu juga bisa membuka dan menutup seperti kerang. Orang-orang menyebutnya Batu Batangkup.

Di depan batu itu, Mak Minah berlutut dan memohon kepada batu itu agar menelan dirinya. “Wahai Batu Batangkup, telanlah saya. Saya sudah tidak sanggup lagi hidup bersama ketiga anak saya yang tidak mau mendengar nasihat,” pinta Mak Minah.

“Apakah engkau tidak menyesal, Mak Minah?” jawab Batu Batangkup. “Lalu, bagaimana nasib anak-anakmu?” Batu Batangkup kembali bertanya.

“Biarlah mereka hidup sendiri tanpa emaknya. Mereka juga sudah tidak mau perduli pada emaknya,” jawab Mak Minah.

“Baiklah, jika itu yang engkau inginkan,” kata Batu Batangkup.

Dalam waktu sekejap, Batu Batangkup menelan tubuh Mak Minah dan hanya menyisakan rambutnya yang panjang hingga masih tampak di luar.

Sementara itu, ketika hari menjelang sore, ketiga anak Mak Minah pulang dari bermain. Mereka langsung menyantap makanan yang sudah disiapkan Mak Minah. Mereka heran, karena emak mereka belum juga pulang. Karena melihat persediaan makanan masih banyak, mereka tetap tidak peduli dengan emak mereka.

Menjelang hari kedua, persediaan makanan mereka sudah habis. Sementara Mak Minah belum juga pulang ke rumah. Ketiga anaknya pun kebingungan mencari Mak Minah karena mereka sudah kelaparan. Setelah mencari ke sana ke mari, mereka tidak menemukan Mak Minah. “Maafkan kami, Emak! Kami sangat menyesal menyiakan-nyiakan Emak…,” ratap ketiga anak tersebut. Hingga larut malam, mereka terus meratap dan menangis karena kelaparan. Tapi, karena kecapaian seharian bermain, akhirnya mereka pun tertidur lelap.

Keesokan harinya, ketiga anak tersebut kembali mencari emak mereka. Setelah menyusuri sungai yang tak jauh dari tempat tinggal mereka, sampailah mereka di depan Batu Batangkup. Alangkah terkejut ketika mereka melihat rambut emaknya terurai di sela-sela Batu Batangkup.

“Wahai, Batu Batangkup! Keluarkanlah Emak kami dari perutmu. Kami membutuhkan Emak kami,” pinta ketiga anak itu. Batu Batangkup diam saja. Tapi ketiga anak itu terus meratap memohon agar emak mereka dilepaskan.

“Tidak! Kalian hanya membutuhkan emak kalian pada saat lapar. Kalian tidak pernah mau membantu dan mendengar nasihat emak kalian,” ujar Batu Batangkup. Ketiga anak itu pun terus meratap dan menangis.

“Batu Batangkup! Kami berjanji untuk membantu emak dan mematuhi nasihat emak kami,” jawab Utuh menangis. “Iya, Batu Batangkup, kami berjanji,” sambung Uci dan Diang, lalu keduanya turut menangis.

“Baiklah, emak kalian akan aku keluarkan karena kalian sudah berjanji. Tetapi jika kalian mengingkari janji, emak kalian akan kutelan kembali,” kata Batu Batangkup mengancam. Mereka pun sepakat dengan perjanjian itu. Batu Batangkup kemudian mengeluarkan Mak Minah dari perutnya. Utuh, Ucin dan Diang segera memeluk Mak Minah.

“Maafkan Utuh, Emak! kata Utuh minta maaf. “Maafkan Uci juga, Mak! Uci berjanji akan mematuhi nasihat Emak,” sambung Uci. “Iya, Mak! Diang juga minta maaf. Diang berjanji akan membantu Emak!” kata Diang. “Sudahlah, Anakku! Kalian sudah Emak maafkan,” kata Mak Minah dengan haru. Setelah itu, mereka pun pulang dengan perasaan gembira, karena mereka bisa berkumpul kembali.

Sejak saat itu, setiap hari ketiga anak tersebut rajin membantu Mak Mina bekerja. Utuh dan Uci membantu emaknya mencari kayu bakar di hutan untuk di jual ke pasar. Sementara Diang, sibuk di rumah menyiapkan makanan untuk kedua emak dan kedua abangnya. Mak Minah sangat gembira dan bahagia melihat perubahan perilaku anaknya.

Namun sayang, kebahagiaan itu hanya berlangsung beberapa hari. Perilaku ketiga anaknya tersebut kembali berubah. Justru, mereka semakin nakal dan pemalas. Utuh dan Uci tidak pernah lagi membantu emaknya mencari kayu bakar. Demikian pula Diang, ia tidak pernah memasak di rumah. Bahkan, mereka semakin berani membantah nasihat emak mereka. Hal itu membuat hati Mak Minah semakin sedih.

Pada suatu malam, Mak Minah memasak nasi dan lauk cukup banyak. Rupanya, Mak Minah sudah tidak tahan melihat perilaku anaknya. Pada saat tengah malam, di saat ketiga anaknya tertidur lelap, Mak Minah ingin kembali ke Batu Batangkup. Sebelum berangkat, Mak Minah mencium dan menyelimuti anaknya satu per satu.

Dengan perasaan sedih, Mak Minah meninggalkan ketiga anaknya. Di depan Batu Batangkup, Mak Minah berlutut dan memohon, “Wahai, Batu Batangkup! Telanlah saya kembali. Mereka benar-benar tidak mau menghormatiku lagi,” kata Mak Minah pasra. Tanpa menunggu lama, Batu Batangkup pun menelan Mak Minah.

Keesokan harinya, ketiga anaknya kembali bermain seperti biasanya. Mereka tidak menghiraukan emaknya. Dikiranya, emaknya pergi ke hutan mencari kayu. Yang penting bagi mereka, saat lapar makanan sudah siap. Menjelang sore hari, Mak Minah belum pulang ke rumah. Mereka kemudian tersadar, ternyata mereka telah melanggar janji yang pernah mereka sepakati untuk tidak nakal lagi.

bat batangkupTanpa berpikir panjang, ketiga anak itu segera berlari ke Batu Batangkup. “Maafkan kami, Batu Batangkup! Kami sangat menyesal. Keluarkanlah emak kami dari perutmu!” ratap ketiga anak itu sambil menangis.

“Kalian memang anak nakal. Kali ini aku tidak akan memaafkan kalian,” jawab Batu Batangkup dengan kesal. Batu Batangkup kemudian menelan ketiga anak itu. Setelah tubuh ketiga anak itu sudah masuk di dalam perutnya, Batu Batangkup itu pun masuk ke dalam tanah. Sampai sekarang Batu Batangkup itu tidak pernah muncul lagi.

* * *
Cerita rakyat di atas termasuk cerita teladan yang mengandung nilai-nilai moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Adapun nilai-nilai moral tersebut di antaranya sifat pemalas, nakal dan suka membantah nasihat orang tua. Ketiga sifat ini tercermin pada sifat Utuh, Uci dan Diang. Ketiga anak tersebut sangat nakal dan tidak mau membantu emaknya yang sudah tua untuk mencari nafkah. Bahkan, mereka berani membantah nasihat emaknya. Ketiga sifat yang dimiliki anak tersebut tidak dapat dijadikan sebagai suri teladan dalam kehidupan sehari-hari. Bagi orang Melayu, ketiga sifat tersebut termasuk sifat-sifat yang tercela dan sangat dipantangkan.

Kisah Malin Kundang, Si Anak Durhaka

Pada zaman dahulu di sebuah perkampungan nelayan Pantai Air Manis di daerah Padang, Sumatera Barat hiduplah seorang janda bernama Mande Rubayah bersama seorang anak laki-lakinya yang bernama Malin Kundang. Mande Rubayah amat menyayangi dan memanjakan Malin Kundang. Malin adalah seorang anak yang rajin dan penurut.

Mande Rubayah sudah tua, ia hanya mampu bekerja sebagai penjual kue untuk mencupi kebutuhan ia dan anak tunggalnya. Suatu hari, Malin jatuh-sakit. Sakit yang amat keras, nyawanya hampir melayang namun akhirnya ia dapat diseiamatkan-berkat usaha keras ibunya. Setelah sembuh dari sakitnya ia semakin disayang. Mereka adalah ibu dan anak yang saling menyayangi. Kini, Malin sudah dewasa ia meminta izin kepada ibunya untuk pergi merantau ke kota, karena saat itu sedang ada kapal besar merapat di Pantai Air Manis.

“Jangan Malin, ibu takut terjadi sesuatu denganmu di tanah rantau sana. Menetaplah saja di sini, temani ibu,” ucap ibunya sedih setelah mendengar keinginan Malin yang ingin merantau.

“Ibu tenanglah, tidak akan terjadi apa-apa denganku,” kata Malin sambil menggenggam tangan ibunya. “Ini kesempatan Bu, kerena belum tentu setahun sekali ada kapal besar merapat di pantai ini. Aku ingin mengubah nasib kita Bu, izinkanlah” pinta Malin memohon.

“Baiklah, ibu izinkan. Cepatlah kembali, ibu akan selalu menunggumu Nak,” kata ibunya sambil menangis. Meski dengan berat hati akhirnya Mande Rubayah mengizinkan anaknya pergi. Kemudian Malin dibekali dengan nasi berbungkus daun pisang sebanyak tujuh bungkus, “Untuk bekalmu di perjalanan,” katanya sambil menyerahkannya pada Malin. Setelah itu berangkatiah Malin Kundang ke tanah rantau meninggalkan ibunya sendirian.

Hari-hari terus berlalu, hari yang terasa lambat bagi Mande Rubayah. Setiap pagi dan sore Mande Rubayah memandang ke laut, “Sudah sampai manakah kamu berlayar Nak?” tanyanya dalam hati sambil terus memandang laut. la selalu mendo’akan anaknya agar selalu selamat dan cepat kembali.

Beberapa waktu kemudian jika ada kapal yang datang merapat ia selalu menanyakan kabar tentang anaknya. “Apakah kalian melihat anakku, Malin? Apakah dia baik-baik saja? Kapan ia pulang?” tanyanya. Namun setiap ia bertanya pada awak kapal atau nahkoda tidak pernah mendapatkan jawaban. Malin tidak pernah menitipkan barang atau pesan apapun kepada ibunya.

Bertahun-tahun Mande Rubayah terus bertanya namun tak pernah ada jawaban hingga tubuhnya semakin tua, kini ia jalannya mulai terbungkuk-bungkuk. Pada suatu hari Mande Rubayah mendapat kabar dari nakhoda dulu membawa Malin, nahkoda itu memberi kabar bahagia pada Mande Rubayah.

“Mande, tahukah kau, anakmu kini telah menikah dengan gadis cantik, putri seorang bangsawan yang sangat kaya raya,” ucapnya saat itu.

“Malin cepatlah pulang kemari Nak, ibu sudah tua Malin, kapan kau pulang…,” rintihnya pilu setiap malam. Ia yakin anaknya pasti datang. Benar saja tak berapa lama kemudian di suatu hari yang cerah dari kejauhan tampak sebuah kapal yang megah nan indah berlayar menuju pantai.

Orang kampung berkumpul, mereka mengira kapal itu milik seorang sultan atau seorang pangeran. Mereka menyambutnya dengan gembira.Mande Rubayah amat gembira mendengar hal itu, ia selalu berdoa agar anaknya selamat dan segera kembali menjenguknya, sinar keceriaan mulai mengampirinya kembali. Namun hingga berbulan-bulan semenjak ia menerima kabar Malin dari nahkoda itu, Malin tak kunjung kembali untuk menengoknya.

Ketika kapal itu mulai merapat, terlihat sepasang anak muda berdiri di anjungan. Pakaian mereka berkiiauan terkena sinar matahari. Wajah mereka cerah dihiasi senyum karena bahagia disambut dengan meriah.

Mande Rubayah juga ikut berdesakan mendekati kapal. Jantungnya berdebar keras saat melihat lelaki muda yang berada di kapal itu, ia sangat yakin sekali bahwa lelaki muda itu adalah anaknya, Malin Kundang. Belum sempat para sesepuh kampung menyambut, Ibu Malin terlebih dahulu menghampiri Malin. la langsung memeluknya erat, ia takut kehilangan anaknya lagi.

“Malin, anakku. Kau benar anakku kan?” katanya menahan isak tangis karena gembira, “Mengapa begitu lamanya kau tidak memberi kabar?”

Malin terkejut karena dipeluk wanita tua renta yang berpakaian compang—camping itu. Ia tak percaya bahwa wanita itu adalah ibunya. Sebelum dia sempat berpikir berbicara, istrinya yang cantik itu meludah sambil berkata, “Wanita jelek inikah ibumu? Mengapa dahulu kau bohong padaku!” ucapnya sinis, “Bukankah dulu kau katakan bahwa ibumu adalah seorang bangsawan yang sederajat denganku?!”

Mendengar kata-kata pedas istrinya, Malin Kundang langsung mendorong ibunya hingga terguling ke pasir, “Wanita gila! Aku bukan anakmu!” ucapnya kasar.

Mande Rubayah tidak percaya akan perilaku anaknya, ia jatuh terduduk sambil berkata, “Malin, Malin, anakku. Aku ini ibumu, Nak! Mengapa kau jadi seperti ini Nak?!” Malin Kundang tidak memperdulikan perkataan ibunya. Dia tidak akan mengakui ibunya. la malu kepada istrinya. Melihat wanita itu beringsut hendak memeluk kakinya, Malin menendangnya sambil berkata, “Hai, wanita gila! lbuku tidak seperti engkau! Melarat dan kotor!” Wanita tua itu terkapar di pasir, menangis, dan sakit hati.

Orang-orang yang meilhatnya ikut terpana dan kemudian pulang ke rumah masing-masing. Mande Rubayah pingsan dan terbaring sendiri. Ketika ia sadar, Pantai Air Manis sudah sepi. Dilihatnya kapal Malin semakin menjauh. Ia tak menyangka Malin yang dulu disayangi tega berbuat demikian.

Hatinya perih dan sakit, lalu tangannya ditengadahkannya ke langit. Ia kemudian berdoa dengan hatinya yang pilu, “Ya, Tuhan, kalau memang dia bukan anakku, aku maafhan perbuatannya tadi. Tapi kalau memang dia benar anakku yang bernama Malin Kundang, aku mohon keadilanmu, Ya Tuhan!” ucapnya pilu sambil menangis. Tak lama kemudian cuaca di tengah laut yang tadinya cerah, mendadak berubah menjadi gelap. Hujan tiba-tiba turun dengan teramat lebatnya.

Tiba-tiba datanglah badai besar, menghantam kapal Malin Kundang. Laiu sambaran petir yang menggelegar. Saat itu juga kapal hancur berkeping- keping. Kemudian terbawa ombak hingga ke pantai.

Esoknya saat matahari pagi muncul di ufuk timur, badai telah reda. Di kaki bukit terlihat kepingan kapal yang telah menjadi batu. Itulah kapal Malin Kundang! Tampak sebongkah batu yang menyerupai tubuh manusia.

Itulah tubuh Malin Kundang anak durhaka yang kena kutuk ibunya menjadi batu karena telah durhaka. Disela-sela batu itu berenang-renang ikan teri, ikan belanak, dan ikan tengiri. Konon, ikan itu berasal dari serpihan tubuh sang istri yang terus mencari Malin Kundang.

Sampai sekarang jika ada ombak besar menghantam batu-batu yang mirip kapal dan manusia itu, terdengar bunyi seperti lolongan jeritan manusia, terkadang bunyinya seperti orang meratap menyesali diri, “Ampun, Bu…! Ampuun!” konon itulah suara si Malin Kundang, anak yang durhaka pada ibunya.

Kisah Rara Mendut

Rara Mendut atau Roro Mendut (dalam bahasa Jawa) adalah seorang gadis cantik yang berpendirian teguh. Karunia kecantikan yang luar biasa membuat  Rara Mendut menjadi rebutan para pria, mulai dari kalangan rakyat biasa, bangsawan, hingga panglima perang. Suatu ketika, Rara Mendut diculik oleh Adipati Pragolo II, penguasa Kadipaten Pati untuk dijadikan selir. Namun, sebelum menjadi selir Adipati Pragolo II, Rara Mendut direbut oleh panglima perang Kerajaan Mataram, Tumenggung Wiraguna untuk dijadikan selir pula. Bagaimana nasib Rara Mendut selanjutnya? Berikut kisahnya dalam cerita Kisah Rara Mendut.

* * *

Dahulu, di pesisir pantai utara Pulau Jawa, tepatnya di daerah Pati, Jawa Tengah, tersebutlah sebuah desa nelayan bernama Teluk Cikal. Desa itu termasuk ke dalam wilayah Kadipaten Pati yang diperintah oleh Adipati Pragolo II. Kadipaten Pati sendiri merupakan salah satu wilayah taklukan dari Kesultanan Mataram yang dipimpin oleh Sultan Agung.

Di Teluk Cikal, hidup seorang gadis anak nelayan bernama Rara Mendut. Ia seorang gadis yang cantik dan rupawan. Rara Mendut juga dikenal sebagai seorang gadis yang teguh pendirian. Ia tidak sungkan-sungkan menolak para lelaki yang datang melamarnya sebab ia sudah memiliki calon suami, yakni seorang pemuda desa yang tampan bernama Pranacitra, putra Nyai Singabarong, seorang saudagar kaya-raya.

Suatu hari, berita tentang kecantikan dan kemolekan Rara Mendut terdengar oleh Adipati Pragolo II. Penguasa Kadipaten Pati itu pun bermaksud menjadikannya sebagai selir. Sudah berkali-kali ia membujuknya, namun Rara Mendut tetap menolak. Merasa dikecewakan, Adipati Pragolo II mengutus beberapa pengawalnya untuk menculik Rara Mendut.

Hari itu, ketika Rara Mendut sedang asyik menjemur ikan di pantai seorang diri, datanglah utusan Adipati Progolo.

“Ayo gadis cantik, ikut kami ke keraton!” seru para pengawal itu sambil menarik kedua tangan Rara Mendut dengan kasar.

“Lepaskan, aku!” teriak Rara Mendut sambil meronta-ronta, “Aku tidak mau menjadi selir Adipati Pragolo. Aku sudah punya kekasih!”

Para pengawal itu tidak peduli dengan rengekan Rara Mendut. Mereka terus menyeret gadis itu naik ke kuda lalu membawanya ke keraton. Sebagai calon selir, Rara Mendut dipingit di dalam Puri Kadipaten Pati di bawah asuhan seorang dayang bernama Ni Semangka dengan dibantu oleh seorang dayang yang lebih muda bernama Genduk Duku.

Sementara Rara Mendut dalam masa pingitan, di Kadipaten Pati sedang terjadi gejolak. Sultan Agung menuding Adipati Pragolo II sebagai pemberontak karena tidak mau membayar upeti kepada Kesultanan Mataram. Sultan Agung pun memimpin langsung penyerangan ke Kadipaten Pati.

Menurut cerita, Sultan Agung tidak mampu melukai Adipati Pragolo II karena penguasa Pati itu memakai kere waja (baju zirah) yang tidak mempan senjata apapun. Melihat hal itu, abdi pemegang payung sang Sultan yang bernama Ki Nayadarma pun berkata,

“Ampun, Gusti Prabu. Perkenankanlah hamba yang menghadapi Adipati Pragolo!” pinta Ki Nayadarma seraya memberi sembah.

“Baiklah, Abdiku. Gunakanlah tombak Baru Klinting ini!” ujar sang Sultan.

Berbekal tombak pusaka Baru Klinting, Ki Nayadarma langsung menyerang Adipati Pragolo II. Namun, serangannya masih mampu ditepis oleh Adipati Pragolo II. Saat Adipati itu lengah, Ki Nayadarma dengan cepat menikamkan pusaka Baru Klinting ke bagian tubuh sang Adipati yang tidak terlindungi oleh baju zirah. Adipati Pragolo II pun tewas seketika.

Sementara itu, para prajurit yang dikomandani panglima perang Mataram, Tumenggung Wiraguna, segera merampas harta kekayaan Kadipaten Pati, termasuk Rara Mendut. Tumenggung Wiraguna langsung terpesona saat melihat kecantikan Rara Mendut. Ia pun memboyong Rara Mendut ke Mataram untuk dijadikan selirnya.

Tumenggung Wiraguna berkali-kali membujuk Rara Mendut untuk dijadikan selir, namun selalu ditolak. Bahkan, di hadapan panglima itu, ia berani terang-terangan menyatakan bahwa dirinya telah memiliki kekasih bernama Pranacitra. Sikap Rara Mendut yang keras kepala itu membuat Tumenggung Wiraguna murka.

“Baiklah, Rara Mendut. Jika kamu tidak ingin menjadi selirku, maka sebagai gantinya kamu harus membayar pajak kepada Mataram!” ancam Tumenggung Wiraguna.

Rara Mendut tidak gentar mendengar ancaman itu. Ia lebih memilih membayar pajak daripada harus menjadi selir Tumenggung Wiraguna. Oleh karena masih dalam pengawasan prajurit Mataram, Rara Mendut kemudian meminta izin untuk berdagang rokok di pasar. Tumenggung Wiraguna pun menyetujuinya. Ternyata, dagangan rokoknya laku keras, bahkan, orang juga beramai-ramai membeli puntung rokok bekas isapan Rara Mendut.

Suatu hari, ketika sedang berjualan di pasar, Rara Mendut bertemu dengan Pranacitra yang sengaja datang mencari kekasihnya itu. Pranacitra berusaha mencari jalan untuk bisa melarikan Rara Mendut dari Mataram.

Setiba di istana, Rara Mendut menceritakan perihal pertemuannya dengan Pranacitra kepada Putri Arumardi, salah seorang selir Wiraguna, dengan harapan dapat membantunya keluar dari istana. Rara Mendut tahu persis bahwa Putri Arumardi tidak setuju jika Wiraguna menambah selir lagi.

Putri Arumardi dan selir Wiraguna lainnya yang bernama Nyai Ajeng menyusun siasat untuk mengeluarkan Rara Mendut ke luar dari istana. Bersama dengan Pranacitra, Rara Mendut berusaha untuk kembali ke kampung halamannya di Kadipaten Pati.

Namun sungguh disayangkan, pelarian Rara Mendut dan Pranacitra diketahui oleh Wiraguna. Pasangan ini akhirnya berhasil ditemukan oleh para prajurit Wiraguna. Rara Mendut pun dibawa kembali ke Mataram, sedangkan secara diam-diam, Wiraguna memerintahkan abdi kepercayaannya untuk menghabisi nyawa Pranacitra. Alhasil, kekasih Rara Mendut itu tewas dan dikuburkan di sebuah hutan terpencil di Ceporan, Desa Gandhu, terletak kurang lebih 9 kilometer sebelah timur Kota Yogyakarta.

Sepeninggal Pranacitra, Tumenggung Wiraguna kembali membujuk Rara Mendut agar mau menjadi selirnya. Namun, usahanya tetap sia-sia, gadis cantik itu tetap menolak. Sang Panglima pun tidak kehabisan akal. Ia kemudian menceritakan perihal kematian Pranacitra kepada Rara Mendut.

“Sudahlah, Rara Mendut. Percuma saja kamu menikah dengan Pranacitra,” ujar Tumenggung Wiraguna.

“Apa maksud, Tuan?” tanya Rara Mendut mulai cemas.

“Pemuda yang kamu kasihi itu sudah tidak ada lagi,” jawab Tumenggung Wiraguna.

“Kanda Pranacitra sudah tidak ada? Ah, itu tidak mungkin terjadi. Aku baru saja bertemu dengannya kemarin,” kata Rara Mendut tidak percaya.

“Jika kamu tidak percaya, ikutlah bersamaku, akan kutunjukkan kuburnya,” ujar Tumenggung Wiraguna.

Rara Mendut pun menurut untuk membuktikan perkataan Tumenggung Wiraguna. Betapa terkejutnya Rara Mendut begitu sampai di tempat Pranacitra dikuburkan. Ia berteriak histeris di hadapan makam kekasihnya.

“Kanda, jangan tinggalkan Dinda!” tangis Rara Mendut.

“Sudahlah, Mendut! Tak ada lagi gunanya meratapi orang yang sudah mati,” ujar Wiraguna, “Ayo, kita tinggalkan tempat ini!”

Rara Mendut pun bangkit lalu mengikuti Tumenggung Wiraguna sambil terus menangis. Belum jauh mereka meninggalkan tempat pemakaman itu, Rara Mendut pun murka dan mengancam akan melaporkan perbuatan Wiraguna kepada Raja Mataram, Sultan Agung.

“Tuan jahat sekali. Perbuatan Tuan akan kulaporkan kepada Raja Mataram agar mendapat hukuman yang setimpal!” ancam Rara Mendut.

Seketika, Tumenggung Wiraguna menjadi sangat marah. Ia kemudian menarik tangan Rara Mendut untuk dibawa pulang ke rumahnya. Namun, gadis itu menolak dan meronta-ronta untuk melepaskan diri. Begitu tangannya terlepas, ia menarik keris milik Tumenggung Wiraguna yang terselip di pinggangnya. Rara Mendut kemudian berlari menuju makam kekasihnya. Panglima itu pun berusaha mengejarnya.

“Berhenti, Mendut!” teriaknya.

Setiba di makam Pranacitra, Rara Mendut bermaksud untuk bunuh diri.

“Jangan, Mendut! Jangan lakukan itu!” teriak Tumenggung Wiraguna yang baru saja sampai.

Namun, semuanya sudah terlambat. Rara Mendut telah menikam perutnya dengan keris yang dibawanya. Tubuhnya pun langsung roboh dan tewas di samping makam kekasihnya. Melihat peristiwa itu, Tumenggung Wiraguna merasa amat menyesal atas perbuatannya.

“Oh, Tuhan. Sekiranya aku tidak memaksanya menjadi selirku, tentu Rara Mendut tidak akan nekad bunuh diri,” sesal Tumenggung Wiraguna.

Penyesalan itu tak ada gunanya karena semuanya sudah terjadi. Untuk menebus kesalahannya, Tumenggung Wiraguna menguburkan Rara Mendut satu liang dengan Pranacitra. Begitulah kisah perjuangan Rara Mendut dalam mempertahankan harga diri dan kesetiaannya.

Kisah Jaka Tarub Dan Tujuh Bidadari

Pada jaman dahulu hidup seorang pemuda bernama Jaka Tarub di sebuah desa di daerah Jawa Tengah. Ia tinggal bersama ibunya yang biasa dipanggil Mbok Milah. Ayahnya sudah lama meninggal. Sehari hari Jaka Tarub dan Mbok Milah bertani padi di sawah.

Pada suatu malam, ditengah tidurnya yang lelap, Jaka Tarub bermimpi mendapat istri seorang bidadari nan cantik jelita dari kayangan. Begitu terbangun dan menyadari bahwa itu semua hanya mimpi, Jaka Tarub tersenyum sendiri.

Walaupun demikian, mimpi indah barusan masih terbayang dalam ingatannya. Jaka Tarub tidak dapat tidur lagi. Ia keluar dan duduk di ambengan depan rumahnya sambil menatap bintang bintang di langit. Tak terasa ayam jantan berkokok tanda hari sudah pagi.

Mbok Milah yang baru terjaga menyadari kalau Jaka Tarub tidak ada di rumah. Begitu ia melihat keluar jendela, dilihatnya anak semata wayangnya sedang melamun. “Apa yang dilamunkan anakku itu”, pikir Mbok Milah.

Ia menebak mungkin Jaka Tarub sedang memikirkan untuk segera berumah tangga. Usianya sudah lebih dari cukup. Teman teman sebayanyapun rata rata telah menikah. Pikirannya itu membuat Mbok Milah berniat untuk membantu Jaka Tarub menemukan istri.

Siang hari ketika Mbok Milah sedang berada di sawah, tiba tiba datang Pak Ranu pemilik sawah sebelah menghampirinya. “Mbok Milah, mengapa anakmu sampai saat ini belum menikah juga ?”, tanya Pak Ranu membuka percakapan. “Entahlah”, kata Mbok Milah sambil mengingat kejadian tadi pagi. “Ada apa kau menanyakan itu Pak Ranu ?”, tanya Mbok Milah. Ia sedikit heran kenapa Pak Ranu tertarik dengan kehidupan pribadi anaknya. “Tidak apa apa Mbok Milah. Aku bermaksud menjodohkan anakmu dengan anakku Laraswati”, jawab Pak Ranu.

Mbok Milah terkejut mendengar niat Pak Ranu yang baru saja diutarakan. Ia sangat senang. Laraswati adalah seorang gadis perparas cantik yang tutur katanya lemah lembut. Ia yakin kalau Jaka Tarub mau menjadikan Laraswati sebagai istrinya.

Walaupun demikian Mbok Milah tidak ingin mendahului anaknya untuk mengambil keputusan. Biar bagaimanapun ia menyadari kalau Jaka Tarub sudah dewasa dan mempunyai keinginan sendiri. “Aku setuju Pak Ranu. Tapi sebaiknya kita bertanya dulu pada anak kita masing masing”, kata Mbok Milah bijak. Pak Ranu mengangguk angguk. Ia pikir apa yang dikatakan Mbok Milah benar adanya.

Hari berganti hari. Mbok Milah belum juga menemukan waktu yang tepat untuk membicarakan rencana perjodohan Jaka Tarub dan Laraswati. Ia takut Jaka Tarub tersinggung.

Mungkin juga Jaka Tarub telah memiliki calon istri yang belum dikenalkan padanya. Lama kelamaan Mbok Milah lupa akan niatnya semula.

Jaka Tarub adalah seorang pemuda yang sangat senang berburu. Ia juga seorang pemburu yang handal. Keahliannya itu diperolehnya dari mendiang ayahnya.

Jaka Tarub seringkali diajak berburu oleh ayahnya sedari kecil. Pagi itu Jaka Tarub telah siap berburu ke hutan. Busur, panah, pisau dan pedang telah disiapkannya. Iapun pamit pada ibunya.

Mbok Milah terlihat biasa biasa saja melepaskan kepergian Jaka Tarub. Ia berharap anaknya itu akan membawa pulang seekor menjangan besar yang bisa mereka makan beberapa hari ke depan.

Tak lama kemudian Mbok Milah masuk ke kamarnya. Ia bermaksud beristrihat sejenak sebelum berangkat ke sawah. Maklumlah, Mbok Milah sudah tua.

Tak memakan waktu lama di tengah hutan, Jaka tarub berhasil memanah seekor menjangan. Hatinya senang. Segera saja ia memanggul menjangan itu dan bermaksud segera pulang. Nasib sial rupanya datang menghampiri. Tengah asyik berjalan, tiba tiba muncul seekor macan tutul di hadapan Jaka Tarub.

Macan itu mengambil ancang ancang untuk menyerang. Jaka tarub panik. Ia segera melepaskan menjangan yang dipanggulnya dan mencabut pedang dari pinggangnya. Sang macan bergerak sangat cepat. Ia segera menggigit menjangan itu dan membawanya pergi.

Jaka Tarub terduduk lemas. Bukan hanya kaget atas peristiwa yang baru dialaminya, iapun merasa heran. Baru kali ini nasibnya sesial ini.

Hewan buruan sudah ditangan malah dimangsa binatang buas. “Pertanda apa ini ?”, pikirnya. Jaka Tarub segera menepis pikiran buruk yang melintas di benaknya. Setelah beristirahat sejenak, ia segera berjalan lagi.

Nasib sial belum mau meninggalkan Jaka tarub. Setelah berjalan dan menunggu beberapa kali, tak seekor hewan buruanpun yang melintas. Matahari makin meninggi. Jaka Tarub merasa lapar.

Tak ada bekal yang dibawanya karena ia memang yakin tak akan selama ini berada di hutan. Akhirnya Jaka Tarub memutuskan untuk pulang walau dengan tangan hampa.

Ketika Jaka Tarub mulai memasuki desanya, ia heran melihat banyak orang yang berjalan tergesa gesa menuju ke arah yang sama. Bahkan ada beberapa orang yang berpapasan dengannya terlihat terkejut.

Walaupun merasa heran Jaka Tarub enggan untuk bertanya. Rasa lapar yang menderanya membuat Jaka Tarub ingin cepat cepat sampai di rumah.

Jaka Tarub tertegun memandang rumahnya yang sudah nampak dari kejauhan. Banyak orang berkerumun di depan rumahnya. Bahkan orang orang yang tadi dilihatnya berjalan tergesa gesa ternyata menuju ke rumahnya juga. “Ada apa ya ?”, pikirnya. Jaka Tarub mulai tidak enak hati. Ia segera berlari menuju rumahnya.

“Ada apa ini ?”, tanya Jaka Tarub setengah berteriak. Orang orang terkejut dan menoleh kearahnya. Pak Ranu yang memang menunggu kedatangan Jaka Tarub sedari tadi langsung menghampiri dan menepuk nepuk bahu Jaka Tarub. “Sabar nak..”, katanya sambil membimbing Jaka Tarub memasuki rumah.

Mata Jaka Tarub langsung tertuju pada sesosok tubuh yang terbujur kaku diatas dipan di ruang tengah. Beberapa detik kemudian Jaka Tarub menyadari kalau ibunya telah meninggal. Jaka Tarub tak sanggup menahan air mata. Inilah bukti atas firasat buruk yang kurasakan sejak pagi, pikirnya.

Jaka Tarub tak sanggup berbuat apa apa. Ia hanya termenung memandang wajah Mbok Milah. Cerita Pak Ranu bahwa istrinya yang menemukan Mbok Milah telah meninggal dunia dalam tidurnya tadi pagi tak dihiraukannya.

Ia merenungi nasibnya yang kini sebatang kara. Jaka Tarub juga menyesal belum memenuhi keinginan ibunya melihat ia berumah tangga dan menimang cucu. Tapi semua tinggal kenangan. Kini ibunya telah beristirahat dengan tenang.

Sepeninggal ibunya, Jaka Tarub mengisi hari harinya dengan berburu. Hampir setiap hari ia berburu ke hutan. Hasil buruannya selalu ia bagi bagikan ke tetangga. Hanya dengan berburu, Jaka Tarub bisa melupakan kesedihannya.

Seperti pagi itu, Jaka Tarub telah bersiap siap untuk berangkat berburu. Dengan santai ia berjalan menuju Hutan Wanawasa karena hari masih pagi.

Ketika sampai di hutanpun Jaka tarub hanya menunggu hewan buruan lewat di depannya. Tak terasa hari sudah siang. Tak satupun hewan buruan yang didapat Jaka Tarub. Ia justru lebih banyak melamun.

Karena rasa haus yang baru dirasakannya, Jaka Tarub melangkahkan kakinya kea rah danau. Danau yang terletak di tengah Hutan Wanawasa itu dikenal masyarakat sebagai Danau Toyawening.

Ketika hampir sampai di danau itu, Jaka Tarub menghentikan langkah kakinya. Telinganya menangkap suara gadis gadis yang sedang bersenda gurau. “Mungkin ini hanya hayalanku saja”, pikirnya heran.”Mana mungkin ada gadis gadis bermain main di tengah hutan belantara begini ?”.

Dengan mengendap endap Jaka Tarub melangkahkan kakinya lagi menuju Danau Toyawening. Suara tawa gadis gadis itu makin jelas terdengar. Jaka Tarub mengintip dari balik pohon besar kearah danau.

Alangkah terkejutnya Jaka Tarub menyaksikan tujuh orang gadis cantik sedang mandi di Danau Toyawening. Jantungnya berdegub makin kencang.

Jaka Tarub memperhatikan satu satu gadis di danau itu. Semuanya berparas sangat cantik. Dari percakapan mereka, Jaka Tarub tahu kalau tujuh orang gadis itu adalah bidadari yang turun dari kayangan. “Apakah ini arti mimpiku waktu itu ?”, pikirnya senang.

Mata Jaka Tarub melihat tumpukan pakaian bidadari di atas sebuah batu besar di pinggir danau. Semua pakaian itu memiliki warna yang berbeda. “Jika aku mengambil salah satu pakaian bidadari ini, tentu yang punya tidak akan dapat kembali ke kayangan”, gumam Jaka Tarub. Wajahnya dihiasi senyum manakala membayangkan sang bidadari yang bajunya ia curi akan bersedia menjadi istrinya.

Dengan hati hati Jaka Tarub berjalan menghampiri tumpukan baju itu. Ia berjalan sangat perlahan. Jika para bidadari itu menyadari kehadirannya, tentu semua rencananya akan buyar.

Jaka Tarub memilih baju berwarna merah. Setelah berhasil, Jaka Tarub buru buru menyelinap ke balik semak semak.

Tiba tiba seorang dari bidadari itu berkata “, Ayo kita pulang sekarang. Hari sudah sore”. “Ya benar. Sebaiknya kita pulang sekarang sebelum matahari terbenam”, tambah yang lain. Para bidadari itu keluar dari danau dan mengenakan pakaian mereka masing masing.

“Dimana bajuku ?”, teriak salah seorang bidadari. “Siapa yang mengambil bajuku ?”, tanyanya dengan suara bergetar menahan tangis. “Dimana kau taruh bajumu Nawangwulan ?”, tanya seorang bidadari kepadanya. “Disini. Sama dengan baju kalian..”, Nawangwulan menjawab sambil menangis. Ia terlihat sangat panik. Tanpa bajunya, mana mungkin ia bisa pulang ke Kayangan. Apalagi selendang yang dipakainya untuk terbang ikut raib juga.

Karena Nawangwulan tidak menemukan bajunya, ia segera masuk kembali ke Danau Toyawening. Teman temannya yang lain membantu mencari baju Nawangwulan. Usaha mereka sia sia karena baju Nawangwulan sudah dibawa pulang Jaka Tarub ke rumahnya.

Akhirnya seorang bidadari berkata “Nawangwulan, maafkan kami. Kami harus segera pulang ke kayangan dan meninggalkanmu disini. Hari sudah menjelang sore”. Nawangwulan tidak dapat berbuat apa apa.

Ia hanya bisa mengangguk dan melambaikan tangan kepada keenam temannya yang terbang perlahan meninggalkan Danau Toyawening. “Mungkin memang nasibku untuk menjadi penghuni bumi”, pikir Nawangwulan sambil mencucurkan air mata.

Nawangwulan kelihatan putus asa. Tiba tiba tanpa sadar ia berucap “Barangsiapa yang bisa memberiku pakaian akan kujadikan saudara bila ia perempuan, tapi bila ia laki laki akan kujadikan suamiku”.

Jaka Tarub yang sedari tadi memperhatikan gerak gerik Nawangwulan dari balik pohon tersenyum senang. “Akhirnya mimpiku menjadi kenyataan”, pikirnya.

Jaka Tarub keluar dari persembunyiannya dan berjalan kearah danau. Ia membawa baju mendiang ibunya yang diambilnya ketika pulang tadi.

Jaka Tarub segera meletakkan baju yang dibawanya diatas sebuah batu besar seraya berkata “Aku Jaka Tarub. Aku membawakan pakaian yang kau butuhkan. Ambillah dan pakailah segera. Hari sudah hampir malam”.

Jaka Tarub meninggalkan Nawangwulan dan menunggu di balik pohon besar tempatnya bersembunyi. Tak lama kemudian Nawangwulan datang menemuinya. “Aku Nawangwulan. Aku bidadari dari kayangan yang tidak bisa kembali kesana karena bajuku hilang”, kata Nawangwulan memperkenalkan diri. Ia memenuhi kata kata yang diucapkannya tadi. Tanpa ragu Nawangwulan bersedia menerima Jaka Tarub sebagai suaminya.

Hari berganti hari, bulan berganti bulan, tak terasa rumah tangga Jaka Tarub dan Nawangwulan telah dikaruniai seorang putri yang diberi nama Nawangsih.

Tak seorangpun penduduk desa yang mencurigai siapa sebenarnya Nawangwulan. Jaka Tarub mengakui istrinya itu sebagai gadis yang berasal dari sebuah desa yang jauh dari kampungnya.

Sejak menikah dengan Nawangwulan, Jaka Tarub merasa sangat bahagia. Namun ada satu hal yang mengganggu pikirannya selama ini. Jaka Tarub merasa heran mengapa padi di lumbung mereka kelihatannya tidak berkurang walau dimasak setiap hari.

Lama lama tumpukan padi itu semakin meninggi. Panen yang diperoleh secara teratur membuat lumbung mereka hampir tak muat lagi menampungnya.

Pada suatu pagi, Nawangwulan hendak mencuci ke sungai. Ia menitipkan Nawangsih pada Jaka Tarub. Nawangwulan juga mengingatkan suaminya itu untuk tidak membuka tutup kukusan nasi yang sedang dimasaknya.

Ketika sedang asyik bermain dengan Nawangsih yang saat itu berumur satu tahun, Jaka Tarub teringat akan nasi yang sedang dimasak istrinya.

Karena terasa sudah lama, Jaka Tarub hendak melihat apakah nasi itu sudah matang. Tanpa sadar Jaka Tarub membuka kukusan nasi itu. Ia lupa akan pesan Nawangwulan.

Betapa terkejutnya Jaka Tarub demi melihat isi kukusan itu. Nawangwulan hanya memasak setangkai padi. Ia langsung teringat akan persediaan padi mereka yang semakin lama semakin banyak. Terjawab sudah pertanyaannya selama ini.

Nawangwulan yang rupanya telah sampai di rumah menatap marah kepada suaminya di pintu dapur. “Kenapa kau melanggar pesanku Mas ?”, tanyanya berang. Jaka Tarub tidak bisa menjawab. Ia hanya terdiam. “Hilanglah sudah kesaktianku untuk merubah setangkai padi menjadi sebakul nasi”, lanjut Nawangwulan. “Mulai sekarang aku harus menumbuk padi untuk kita masak. Karena itu Mas harus menyediakan lesung untukku”.

Jaka Tarub menyesali perbuatannya. Tapi apa mau dikata, semua sudah terlambat. Mulai hari itu Nawangwulan selalu menumbuk padi untuk dimasak. Mulailah terlihat persediaan padi mereka semakin lama semakin menipis. Bahkan sekarang padi itu sudah tinggal tersisa di dasar lumbung.

Seperti biasa pagi itu Nawangwulan ke lumbung yang terletak di halaman belakang untuk mengambil padi. Ketika sedang menarik batang batang padi yang tersisa sedikit itu, Nawangwulan merasa tangannya memegang sesuatu yang lembut.

Karena penasaran, Nawangwulan terus menarik benda itu. Wajah Nawangwulan seketika pucat pasi menatap benda yang baru saja berhasil diraihnya. Baju bidadari dan selendangnya yang berwarna merah.. !!

Bermacam perasaan berkecamuk di hatinya. Nawangwulan merasa dirinya ditipu oleh Jaka Tarub yang sekarang telah menjadi suaminya.

Ia sama sekali tidak menyangka ternyata orang yang tega mencuri bajunya adalah Jaka Tarub. Segera saja keinginan yang tidak pernah hilang dari hatinya menjadi begitu kuat. Nawangwulan ingin pulang ke asalnya, kayangan.

Sore hari ketika Jaka Tarub kembali ke rumahnya, ia tidak mendapati Nawangwulan dan anak mereka Nawangsih. Jaka Tarub mencari sambil berteriak memanggil Nawangwulan, yang dicari tak jua menjawab.

Saat itu matahari sudah mulai tenggelam. Tiba tiba Jaka Tarub yang sedang berdiri di halaman rumah melihat sesuatu melayang menuju ke arahnya. Dia mengamatinya sesaat.

Jaka Tarub terpana. Beberapa saat kemudian ia mengenali ternyata yang dilihatnya adalah Nawangwulan yang menggendong Nawangsih. Nawangwulan terlihat sangat cantik dengan baju bidadari lengkap dengan selendangnya.

Jaka Tarub merasa dirinya gemetar. Ia sama sekali tidak menyangka kalau Nawangwulan berhasil menemukan kembali baju bidadarinya. Hal ini berarti rahasianya telah terbongkar.

“Kenapa kau tega melakukan ini padaku Jaka Tarub ?”, tanya Nawangwulan dengan nada sedih. “Maafkan aku Nawangwulan”, hanya itu kata kata yang sanggup diucapkan Jaka Tarub. Ia terlihat sangat menyesal. Nawangwulan dapat merasakan betapa Jaka Tarub tidak berdaya di hadapannya.

“Sekarang kau harus menanggung akibat perbuatanmu Jaka Tarub”, kata Nawangwulan. “Aku akan kembali ke kayangan karena sesungguhnya aku ini seorang bidadari. Tempatku bukan disini”, lanjutnya. Jaka Tarub tidak menjawab. Ia pasrah akan keputusan Nawangwulan.

“Kau harus mengasuh Nawangsih sendiri. Mulai saat ini kita bukan suami istri lagi”, kata Nawangwulan tegas. Ia menyerahkan Nawangsih ke pelukan Jaka Tarub. Anak kecil itu masih tertidur lelap. Ia tidak sadar bahwa sebentar lagi ibunya akan meninggalkan dirinya.

“Betapapun salahmu padaku Jaka Tarub, Nawangsih tetaplah anakku. Jika ia ingin bertemu denganku suatu saat nanti, bakarlah batang padi, maka aku akan turun menemuinya”, tutur Nawangwulan sambil menatap wajah Nawangsih. “Hanya satu syaratnya, kau tidak boleh bersama Nawangsih ketika aku menemuinya. Biarkan ia seorang diri di dekat batang padi yang dibakar”, lanjut Nawangwulan.

Jaka Tarub menahan kesedihannya dengan sangat. Ia ingin terlihat tegar. Setelah Jaka Tarub menyatakan kesanggupannya untuk tidak bertemu lagi dengan Nawangwulan, sang bidadaripun terbang meninggalkan dirinya dan Nawangsih.

Jaka Tarub hanya sanggup menatap kepergian Nawangwulan sambil mendekap Nawangsih. Sungguh kesalahannya tidak termaafkan. Tiada hal lain yang dapat dilakukannya saat ini selain merawat Nawangsih dengan baik seperti pesan Nawangwulan.