Legenda Asal Mula Gunung Pinang

Gunung Pinang di Kecamatan Kramatwatu, Kabupaten Serang, merupakan sebuah bukit yang tingginya 300 mdpl dengan luas 222 hektare. Gunung ini bisa jadi pilihan untuk sekadar berolah raga melewati track berupa jalan beraspal yang sudah disediakan sejauh kurang lebih dua kilometer.

Menurut cerita, gunung yang sering menjadi tempat piknik ini merupakan penjelmaan perahu seorang saudagar kaya yang bernama Dampu Awang. Peristiwa apakah yang menyebabkan perahu Dampu Awang menjelma menjadi Gunung Pinang? Kisahnya dapat ikuti dalam cerita Legenda Asal Mula Gunung Pinang berikut ini.

* * *

Alkisah, di sebuah perkampungan nelayan di daerah pesisir teluk Banten, hiduplah seorang janda tua dengan anak laki-lakinya yang bernama Dampu Awang. Sejak kematian sang Ayah beberapa tahun silam, Dampu Awang harus bekerja keras membantu ibunya mencari kerang di pantai. Sudah bertahun-tahun mereka melakoni pekerjaan itu, namun hidup mereka tetap serba kekurangan. Dompu Awang yang telah berusia remaja itu sudah jenuh dan bosan dengan keadaan tersebut. Ia berpikir bahwa jika ia tetap tinggal di kampungnya, nasib keluarganya tidak akan berubah. Dengan begitu, timbullah keinginannya untuk merantau ke Negeri Malaka.

Pada suatu malam, Dampu Awang menyampaikan niat itu kepada ibunya. Tanpa diduganya, perempuan yang telah melahirkannya itu tidak merestuinya. Walaupun ia telah memberikan berbagai alasan dan rayuan, sang Ibu tetap tidak merestuinya pergi.

“Ibu tidak akan mengizinkanmu pergi, Anakku,” cegah ibunya.

“Tapi, Bu!” sergah Dampu Awang.

“Sudahlah, Dampu! Ibu mengerti perasaanmu bahwa kamu sudah tidak tahan lagi hidup menderita seperti ini. Tapi, jika kamu pergi siapa lagi yang akan menemani Ibu di sini, Anakku!” ujar ibunya.

“Bu! Dampu berjanji, kalau sudah berhasil, Dampu akan segera kembali menemani dan membahagiakan Ibu. Kita akan membangun rumah mewah seperti rumah para bangsawan di kampung ini,” bujuk Dampu Awang.

“Sudahlah, Dampu! Berhentilah berhayal seperti itu! Ibu sudah lelah mendengar semua bujuk rayumu. Ibu akan merasa bahagia jika kamu tetap berada di samping Ibu,” ujar ibu Dampu seraya merebahkan tubuhnya di atas balai-balai bambu.

Dampu Awang tidak dapat lagi berkata-kata. Ia mengerti perasaan ibunya, meskipun di hatinya tersimpan rasa kecewa. Dengan langkah pelan, ia keluar dari gubuknya lalu duduk bersandar pada pohon nyiur sambil menikmati semilir angin malam pantai teluk Banten. Pandangangnya tajam seolah-olah menembus kegelapan malam. Pikirannya terbang nun jauh di sana meninggalkan kepenatan hidup dan kekecewaan atas sikap ibunya. Di wajahnya terpancar secercah sinar harapan yang akan menerangi hidupnya.

“Ya, Tuhan! Tolong bukakanlah pintu hati Ibu hamba agar ia mengerti bahwa di Negeri Malaka sana banyak sekali pekerjaan yang akan membuat hamba menjadi kaya raya,” ucap Dampu Awang dengan penuh harapan.

Tanpa disadarinya, sang Ibu sedang memerhatikannya dari balik jendela. Perempuan setengah baya itu tak kuasa membendung air matanya. Ia merasa bersalah karena telah mengecewakan anak semata wayangnya. Malam semakin larut. Janda tua itu kembali merebahkan tubuhnya hingga tertidur lelap. Tak berapa lama kemudian, Dampu Awang masuk ke dalam gubuk, lalu tidur di samping ibunya.

Keesokan paginya, perempuan tua itu menghampiri Dampu Awang yang baru saja terbangun.

“Dampu, Anakku!” sapa ibunya dengan lembut.

“Ada apa, Bu?” tanya Dampu sambil menatap wajah ibunya.

Dampu melihat ibunya tersenyum. Ada kehangatan cinta yang terpancar dari tatapan mata ibunya.

“Dampu, Anakku! Ibu tidak bermaksud melarangmu merantau. Tapi, ketahuilah! Umur Ibu sudah udzur. Ibu khawatir kelak kita takkan bertemu lagi. Ibu tidak memiliki siapa-siapa lagi dunia ini selain dirimu, Anakku!” ujar ibunya dengah penuh rasa haru.

“Tenanglah, Bu! Dampu tidak akan lama di perantauan. Setelah berhasil, Dampu akan segera pulang menemani Ibu di sini,” hibur Dampu Awang.

Ibunya kembali tersenyum lembut.

“Baiklah, Anakku! Jika itu sudah menjadi tekadmu, Ibu mengizinkan kamu pergi. Tapi ingat! Kamu harus berjanji cepat kembali jika sudah berhasil,” ujar ibunya.

Betapa bahagia hati Dampu Awang mendapat restu dari ibunya. Tubuhnya terasa mendapat kekuatan yang luar biasa. Darah di tubuhnya yang semula serasa membeku kembali mengalir. Ia tidak mampu lagi menyembunyikan perasaan bahagianya. Air matanya menetes membasahi kedua pipinya.

“Terima kasih, Bu! Dampu berjanji akan segera kembali untuk membahagiakan Ibu,” ucap Dampu Awang seraya memeluk ibunya.

“Iya, Anakku! Sekarang persiapkanlah barang-barang yang akan kamu bawa pergi. Besok pagi ada kapal yang akan berangkat ke Negeri Malaka. Pergilah temui Teuku Abu Matsyah pemilik kapal itu! Barangkali saja dia bersedia membawamu pergi berlayar bersamanya,” ujar ibunya.

Setelah menyiapkan bekalnya, Dampu Awang segera menemui Teuku Abu Matsyah di pelabuhan.

“Tuan! Bolehkah saya ikut berlayar bersama Tuan? Tapi maaf Tuan, saya tidak mempunyai uang untuk membayar ongkos kapal. Kalau Tuan berkenan, saya akan membayarnya dengan tenaga,” pinta Dampu.

Melihat ketulusan hati Dampu, Teuku Abu Matsyah pun memenuhi permintaannya. Dengan perasaan gembira, Dampu segera kembali ke rumahnya. Alangkah bahagianya hati ibunya mendengar berita gembira itu.

Keesokan harinya, sebelum Dampu Awang berangkat ke Pelabuhan, ibunya menitipkan kepadanya seekor burung perkutut bernama si Ketut.

“Anakku! Bawalah si Ketut pergi bersamamu! Burung ini peliharaan ayahmu dulu ketika masih hidup. Burung ini sangat mahir sebagai pengantar pesan. Kamu harus selalu mengirimi Ibu kabar. Jaga dan rawatlah dia dengan baik seperti kamu menjaga Ibu, ya Nak!” ujar ibunya.

“Baik, Bu! Dampu berjanji akan mengirim surat kepada Ibu setiap awal bulan purnama,” jawab Dampu.

Setelah itu, berangkatlah Dampu bersama ibunya ke pelabuhan. Setibanya di pelabuhan, Teuku Abu Matsyah sudah menunggunya. Usai menyalami ibunya, Dampu Awang segera naik ke atas kapal. Tak berapa lama kemudian, ia pun terlihat berdiri di anjungan kapal sambil melambaikan tangan.

“Ibu… Dampu berangkat! Jaga diri Ibu baik-baik!” teriak Dampu dari anjungan kapal.

“Iya, Dampu! Hati-hati di jalan! Jangan lupa cepat kembali, ya Nak!” jawab janda tua itu.

Dengan diiringi isap tangis ibunya, Dampu Awang meninggalkan pelabuhan Banten menuju Negeri Malaka. Untuk mengganti ongkos kapal, ia ditugaskan oleh Teuku Abu Matsyah membersihkan seluruh galangan kapal. Dampu Awang sangat rajin dan tekun bekerja. Tak heran jika ia mendapat perhatian dari saudagar kaya itu.

“Hai, Dampu! Apa yang akan kamu kerjakan di Negeri Malaka?” tanya Teuku Abu Matsyah.

“Belum tahu, Tuan! Saya baru akan mencari pekerjaan setibanya di sana nanti,” jawab Dampu Awang.

`Kalau begitu, maukah kamu ikut bekerja denganku?” bujuk saudagar kaya itu.

Tanpa berpikir panjang, Dampu Awang menerima tawaran tersebut dengan senang hati. Sejak Dampau ikut dengannya, usaha Teuku Abu Matsyah semakin maju dan berkembang, sehingga dalam waktu tidak berapa lama ia mampu membeli sebuah kapal lagi. Karena itu, saudagar itu semakin sayang kepada Dampu hingga bermaksud menikahkan dia dengan putrinya yang bernama Siti Nurhasanah.

Pada mulanya, Dampu Awang menolak tawaran itu, karena merasa dirinya sebagai anak buah tak pantas menikah dengan putri juragannya.

“Maaf Juragan! Saya tidak bermaksud menolak niat baik Juragan. Tapi, apakah saya pantas menjadi pendamping hidup putri Juragan?” kata Dampu Awang dengan merendah.

Teuku Abu Matsyah hanya tersenyum sambil mengelus-elus jenggotnya yang mulai memutih.

“Jangan khawatir, Dampu! Setelah kalian menikah nanti, aku akan mengangkatmu menjadi nahkoda kapal dan mewariskan semua harta kekayaanku kepada kalian,” ujar Teuku Abu Matsyah.

Akhirnya, Dampu Awang dan Siti Nurhasanah menikah dan hidup bahagia. Beberapa bulan setelah mereka menikah, ayah Siti Nurhasanah meninggal dunia. Sejak itu, Dampu dan istrinya mewarisi seluruh harta kekayaan Teuku Abu Matsyah. Ia pun terkenal sebagai saudagar kaya di Negeri Malaka. Ia hidup dengan penuh kemewahan dan bergelimang harta, sehingga melupakan ibunya yang berada di kampung halaman. Setelah lima tahun di perantauan, tiba-tiba timbul kerinduannya ingin kembali ke tanah kelahirannya di Banten.

Pada suatu hari, berangkatlah Dampu Awang bersama istri dan para pengawalnya ke Banten dengan menggunakan kapal besar dan megah. Setelah berhari-hari mengarungi lautan luas, tibalah mereka di pelabuhan Banten. Berita tentang kedatangan kapal besar dan megah itu tersebar ke seluruh pelosok negeri Banten. Setiap penduduk ramai membicarakan kemegahan kapal itu. Mereka bertanya-tanya siapa gerangan pemiliknya. Karena penasaran, para penduduk Banten berbondong-bondong menuju ke pelabahun. Di antara kerumunan orang banyak, tampak seorang perempuan tua dengan wajah sumringah dan pakaian lusuh baru saja tiba. Dia adalah ibu kandung Dampu Awang.

“Wah, jangan-jangan pemilik kapal itu adalah putraku,” ucap ibu Dampu Awang.

Ibu Dampu Awang berusaha menyusup di antara kerumunan orang banyak untuk melihat kapal itu lebih dekat. Ketika mendekat, ia melihat seorang pemuda gagah berdiri di anjungan kapal bersama seorang putri cantik. Mulanya, perempuan tua itu ragu kalau pemuda itu adalah putranya, Dampu Awang. Tapi, setelah melihat ada seekor burung perkutut bertengger di pundak pemuda itu, barulah ia merasa yakin bahwa pemuda itu anaknya yang selama ini dirindukannya.

“Oh Dampu Awang, Anakku! Akhirnya, kamu pulang juga,” ucapnya dengan perasaan bahagia.

Perempuan tua itu kemudian berteriak memanggil anaknya.

“Dampuuu…! Dampu Awang, Anakku! Ini Ibu, Nak!” teriaknya sambil melambai-lambaikan tangan di antara kerumunan orang.

Mendengar teriakan itu, Dampu Awang segera mencari sumber suara teriakan itu. Namun, ketika melihat orang yang berteriak itu adalah seorang nenek yang berwajah lusuh dan berpakaian compang-camping, ia segera mengalihkan pandanganya. Ia malu mengakui nenek tua itu sebagai ibunya di hadapan istrinya. Melihat sikap suaminya, Siti Nurhasanah menjadi terheran-heran.

“Hai, Kanda! Kenapa Kanda memalingkan wajah? Bukankah nenek itu mengaku sebagai ibu Kanda? Benarkah dia Ibu Kanda?” tanya Siti Nurhasanah.

“Tidak, Dinda! Perempuan tua itu bukan ibu Kanda!” tampik Dampu Awang. “Ibu Kanda kaya raya dan cantik, tidak seperti nenek yang miskin dan keriput itu!”

“Tapi Kanda, nenek itu terus memanggil-manggil nama Kanda,” kata istri Dampu.

“Sudahlah, Dinda! Tidak usah hiraukan nenek keriput itu. Dia hanya mengada-ada,” ujar Dampu Awang.

Usai berkata begitu kepada istrinya, Dampu Awang membentak nenek itu dan mengusirnya.

“Hai, perempuan tua! Pergilah dari sini! Aku tidak pernah mempunyai Ibu seperti dirimu,” bentak Dampu Awang.

Perempuan malang itu bagai disambar petir di siang bolong mendengar bentakan itu. Hatinya bagai teriris-iris mendapat perlakuan tidak senonoh dari darah dagingnya sendiri. Ia tertunduk lesu seraya meneteskan air mata. Harapan, kebahagiaan, dan penantiannya selama bertahun-tahun telah lenyap begitu saja. Ia duduk bersimpuh memohon doa kepada Tuhan Yang Mahakuasa dengan penuh khusyuk.

“Oh, Tuhan! Jikalau memang benar pemuda itu bukan putra hamba, biarkanlah ia tetap pergi. Tapi, kalau dia putra hamba, Dampu Awang, berilah ia pelajaran karena telah menyakiti perasaan ibunya sendiri,” pinta ibu Dampu.

Ketika Dampu Awang bersama rombongannya akan meninggalkan pelabuhan Banten, tiba-tiba langit menjadi gelap dan angin tertiup kencang. Petir menyambar-nyambar kemudian diiringi hujan yang sangat deras. Dalam sekejap, dunia serasa kiamat. Langit memuntahkan segala yang dikandungnya. Bumi bergoncang dengan dahsyatnya. Air laut bergelombang setinggi gunung. Seluruh penduduk berlarian meninggalkan pelabuhan untuk menyelamatkan diri.

Sementara itu, Dampu Awang beserta anak buahnya terombang-ambing di lautan. Kapalnya dipermain-mainkan oleh gelombang besar. Seluruh penumpang kapal menjadi panik dan ketakutan. Dalam suasana panik seperti itu, tiba-tiba terjadi keajaiban. Si Ketut tiba-tiba dapat berbicara seperti manusia.

“Hai, Dampu Awang! Akuilah… akuilah… akuilah ibumu!” seru si Ketut.

Dampu Awang tidak menghiraukan seruan si Ketut. Ia tetap tidak mau mengakui ibunya.

“Tidak! Dia bukan ibuku! Dia bukan ibuku!” sergah Dampu Awang.

“Akuilah…. akuilah… akuilah ibumu, Dampu Awang!” si Ketut kembali berseru.

Berulang kali si Ketut berseru kepadanya, Dampu Awang tetap saja menyangkal. Tanpa diduganya, tiba-tiba angin puyuh datang dengan meliuk-liuk di atas laut menuju ke arah kapalnya. Tak ayal lagi, kapalnya pun terseret masuk ke dalam pusaran angin puyuh, lalu terbang berputar-putar di udara. Dalam keadaan panik, Dampu Awang berteriak kencang.

“lbuuu…! Ibuuu… tolong aku! Ini anakmu, Dampu Awang!”

Namun apa hendak dibuat. Nasi telah menjadi bubur. Tuhan telah murkah kepadanya. Kapalnya terus berputar-putar di udara dipermainkan angin puyuh. Lama-kelamaan, kapal dan seluruh isinya terlempar jauh ke arah selatan dan jatuh tertelengkup. Konon, perahu itu kemudian menjelma menjadi sebuah gunung yang kini dikenal dengan nama Gunung Pinang.

* * *

Demikian cerita Legenda Gunung Pinang dari Provinsi Banten. Pelajaran yang terkandung dari cerita di atas terlihat pada sikap dan perilaku Dampu Awang, yaitu ia pemuda yang rajin dan tekun bekerja serta memiliki tekad kuat untuk maju. Ia berani meninggalkan kampung halamannya untuk memperbaiki nasib keluarganya. Alhasil, ia menjadi orang yang kaya raya dan memperistri seorang gadis cantik nan rupawan.

Namun sayang, harta benda dan istri cantik yang dimilikinya telah membutakan mata hati Dampu Awang. Ia tidak mau mengakui ibu kandungnya di hadapan istrinya karena malu mempunyai seorang ibu yang miskin dan tua. Akibatnya, ia dan kapalnya terseret angin puyuh hingga terlempar jauh dan akhirnya menjadi gunung. Dari sini dapat dipetik pelajaran bahwa harta kekayaan, pangkat, dan wanita cantik dapat membuat seseorang menjadi anak durhaka kepada orang tua. Padahal, durhaka kepada orang tua merupakan salah satu dosa besar yang akan ditanggung sendiri oleh si anak.