AIkisah di sebuah dusun di daerah Riau, hiduplah seorang laki-laki tua bernama Awang Gading. Ia hidup sebatang kara karena istrinya sudah meninggal tanpa meninggalkan seorang anak.
Sehari-hari, pekerjaan Awang Gading adalah menangkap ikan di sungai. Jika beruntung, ia akan mendapatkan banyak ikan yang bisa ditukar dengan beras di pasar. Meskipun hidup sederhana, Awang Gading tak pernah mengeluh. Ia bahagia dan selalu bersyukur dengan keadaannya itu.
Pagi itu, seperti biasanya Awang Gading pergi ke sungai. Sambil berdendang, ia menanti ikan memakan umpannya. Tapi, sepertinya hari itu bukanlah hari keberuntungannya. Sudah berkali-kali umpannya dimakan ikan, tapi ikan itu lepas saat Awang Gading menarik pancingnya.
“Hmm… mungkin nasibku hari ini kurang balk. Lebih baik aku pulang saja, aku akan kembali besok. Siapa tahu aku Iebih mujur,” katanya sambil mengemasi peralatan pancingnya.
“Oweekkk… owekkk…,” tiba-tiba terdengar suara bayi menangis. Langkah kaki Awang Gading terhenti. “‘Suara tangis bayi siapa itu?”
Ia mencari-cari sumber suara itu. Oh, ternyata suara bayi merah yang tergeletak di semak-semak. Awang Gading menoleh ke kanan dan ke kiri. Tak ada seorang pun di sana, lalu bayi siapa itu? Awang Gading bingung, tapi akhirnya memutuskan untuk membawa dan merawat bayi itu. Ia menamainya Dayang Kumunah.
Seluruh penduduk dusun menyambut kehadiran Dayang Kumunah dengan sukacita. Kepala dusun pun mengunjungi rumah Awang Gading, “Bayi ini adalah titipan dari raja penghuni sungai. Rawatlah dengan balk,” kata kepala dusun. Awang Gading sangat bahagia. Apalagi Dayang Kumunah tumbuh menjadi gadis yang cantik clan berbudi luhur. Tingkah lakunya sopan, ia pun ramah pada semua orang. Hanya satu kekurangannya, Dayang Kumunah tak pernah tertawa.
Kecantikan Dayang Kumunah terdengar sampai ke telinga Awangku Usop, seorang pemuda kaya dari luar dusun. Penasaran, Awangku Usop pun datang berkunjung. Benar saja, ia Iangsung jatuh cinta pada pandangan pertama. “Dayang, maukah kau menikah denganku? Aku berjanji akan membahagiakanmu,” pinta Awangku Usop.
“Sebelum menikahiku, Kanda perlu tahu, aku adalah penghuni sungai. Dunia kita berbeda, tapi jika Kanda mau menerimaku apa adanya, aku bersedia menjadi istri Kanda,” jawab Dayang Kumunah. “Satu lagi, jangan pernah memintaku untuk tertawa. Aku tak bisa dan tak boleh melakukannya.”
Awangku Usop menyetujui semua permintaan Dayang Kumunah. Pesta pernikahan pun digelar dengan meriah. Semua tamu bersenang-senang. Menurut mereka, Dayang Kumunah dan Awangku Usop adalah pasangan yang serasi.
Bertahun-tahun kemudian, rumah tangga Dayang Kumunah dan Awangku Usop dihiasi oleh tawa riang lima orang anak. Dayang Kumunah benar-benar melaksanakan tugasnya sebagai istri dan ibu yang baik. Awangku Usop tak pernah meragukannya. Namun suatu hari kebahagiaan mereka terusik. Awang Gading meninggal. Dayang Kumunah sangat sedih sepeninggal ayah angkatnya itu. Setiap hari mukanya murung. Biasanya, meskipun tak pernah tertawa, Dayang Kumunah masih tersenyum.
Namun sekarang senyumnya tak pernah tampak lagi. Awangku Usop tak ingin istrinya bersedih terus. Ia berusaha de ganse gala cara agar Dayang Kumunah kembali tersenyum.
Usahanya tak sia-sia. Perlahan-lahan, Dayang Kumunah mulai merelakan kepergian ayah angkatnya dan menjalani kehidupannya seperti biasa.
Tapi, Awangku Usop tak puas. Ia penasaran sekali, mengapa Dayang Kumunah tak pernah tertawa. Ia ingin agar sesekali istrinya tertawa, menunjukkan kebahagiaan hidup bersamanya dan anak-anak.
Anak bungsu mereka mulai bisa berjalan. Cara berjalannya lucu sekali. Dengan kakinya yang montok, ia tertatih-tatih berusaha berjalan lurus. Awangku Usop dan kakak-kakak si Bungsu tertawa menggoda si bungsu. Si bungsu pun tertawa terkekeh-kekeh dan berusaha mendekati ayahnya.
“Lihat istriku, anak kita mulai berjalan. Mengapa kau tak ikut bergembira bersama kami? Tertawalah, apakah kau tak bahagia melihat kelucuan si bungsu?” tanya Awangku Usop pada Dayang Kumunah.
Dayang Kumunah terdiam. Sebenarnya ia ingin tertawa, tapi tak boleh. Suaminya terus memaksa, akhirnya Dayang Kumunah tertawa juga. Ia tertawa terbahak-bahak, karena memang tingkah polah si bungsu sangat menggemaskan.
Saat Dayang Kumunah tertawa, Awangku Usop dan anak-anaknya tertegun. Mereka melihat insang ikan dalam mulut Dayang Kumunah. Hal itu menandakan bahwa ia keturunan ikan.
Dayang Kumunah tersentak, ia menyadari kesalahannya serta berlari meninggalkan suami dan anak-anaknya.
“Dayang… tunggu… kau mau ke mana?” Awangku Usop berlari mengejarnya. Kelima anaknya mengikuti dari belakang. Si bungsu digendong oleh kakaknya.
Dayang Kumunah terus berlari menuju sungai. Sesampainya di sungai, ia segera menceburkan diri. Aneh, tak lama kemudian tubuhnya berubah menjadi ikan. Ikan itu berenang meninggalkan Awangku Usop dan anak-anaknya.
Awangku Usop sadar telah berbuat salah dan menangis menyesali perbuatannya, “Mengapa aku memaksanya tertawa? Maafkan aku istriku, kembalilah, kami semua membutuhkanmu,” ratapnya.
Kelima anaknya juga menangis. Tapi semuanya sudah terlambat. Meskipun telah menjadi ikan, Dayang Kumunah tetap cantik. Ikan jelmaan Dayang Kumunah itu berkulit mengkilat tanpa sisik, wajahnya cantik, dan ekornya bagaikan sepasang kaki wanita yang bersilang.
Masyarakat menyebutnya ikan patin. Karena itulah banyak masyarakat Riau yang tidak mau menyantap ikan patin. Mereka beranggapan ikan patin adalah jelmaan Dayang Kumunah yang masih merupakan kerabat mereka.