Pemikiran dan Karakteristik Neo-Sufisme (Tasawuf Modern)

Munculnya Pemikiran dan Karakteristik Neo-Sufisme (Tasawuf Modern) dalam dunia Islam tidak luput dari adanya kebangkitan agama yang menolak terhadap kepercayaan yang berlebihan kepada sains dan teknologi selaku produk era modernisme. Pemikiran dan Karakteristik Neo-Sufisme (Tasawuf Modern)Modernisme telah dinilai gagal dalam mengantarkan kehidupan manusia lebih baik, yang penuh dengan kepedulian dan menebarkan kasih sayang, atau bahkan efek dari modernisme tidak lagi memanusiakan manusia sebagaimana layaknya manusia adanya, justru modernisme menjauhkan kehidupan yang bermakna bagi manusia itu sendiri, maka banyak orang yang kembali pada agama sebagai institusi religiusitas. Era modern harus merapat pada agama yang mampu menjamin kehidupan penuh makna.

Sufisme sendiri diambil dari kata “sufi”. Istilah “sufi” dan “tasawuf” tidak dikenal pada masa Nabi Muhammad SAW maupun khulafaurradyidin. Istilah ini baru dikenal mulai pada pertengan abad ketika Hijriyah. Abu Hasyim Al-Khufi adalah orang yang pertama yang memperkenalkan istilah as-sufi dengan menambahkan kata as-sufi di belakang namanya. Sedangkan secara etimologis, para ahli berbeda pendapat tentang asal kata tasawuf

Kebanyakan sepakat bahwa tasawuf berasal dari kata suf yang berarti bulu domba. Sebagian menyatakan bahwa kata tasawuf berasal dari kata suffah yang berarti emper atau tempat mesjid Nabawi yang didiami sebagian sahabat anshar. Ada pula yang mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata saff, yang berarti barisan. Dan ada juga yang mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata safa yaitu jernih.

Sufisme terdahulu mencoba mengungkapkan bahwa menempatkan penghayatan keagamaan yang paling benar adalah pada pendekatan batiniyah. Dampak dari pendekatan ini adalah timbulnya kepincangan dalam aktualisasi nilai-nilai Islam, karena lebih mementingkan dan mengutamakan batiniyah dan kurang memperhatikan aspek formal atau lahiriyah. Maka wajar apabila kaum sufi kurang tertarik dengan masalah-masalah sosial kemasyarakatan.

Islam merupakan agama yang kaffah, memberikan kebebasan dalam penghayatan keagamaan, baik itu yang lahiri ataupun yang batini. Akan tetapi, kecenderungan terhadap yang lahiri ini lebih banyak.

Dalam perjalanan sejarahnya, antara dua kubu penghayatan ini sempat menimbulkan konflik ketegangan antara ahli tasawuf dan ahli fiqih, ahli haqiqat dan ahli syari’at. Ini terjadi terutama pada abad ke-3 Hijriyah.

Pemikiran dan Karakteristik Neo-Sufisme (Tasawuf Modern)
Illustrasi Ibn Taymiyyah (1263 -1328)

Terminologi Neo-Sufisme pertama kali dimunculkan oleh pemikir muslim kontemporer, yakni Fazlur Rahman. Menurut Fazlur Rahman perintis apa yang ia sebut dengan Neo-Sufisme ialah Ibn Taimiyah (wafat tahun 728 H) yang kemudian dilanjutkan oleh muridnya Ibn Qoyyim.

Kemunculan kembali sufisme di abad ke-7 H/13 M menjadi tonggak awal sejarah perkembangan tradisi Islam dikemudian hari.5 Semakin berkembangnya tasawuf terutama pada abad ke-3 H, maka pengaruh eksternal semakin dirasakan. Di antaranya karena dipengaruhi oleh berbagai macam corak budaya, akibatnya muncul dua corak pemikiran tasawuf.

Di antara dua corak tersebut ialah corak tasawuf yang materi dasarnya berdasar pada Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan ide gagasan dasar pembentukan moralitas yang di back up ulama moderat, dan corak yang satunya ialah tasawuf yang bersumber pada filsafat dengan kecenderungan tentang materi-materi yang berhubungan antara manusia dengan Tuhan yang di usung oleh pemikir yang terkadang mengemukakan pengalaman atau ucapan-ucapannya yang ganjil atau sulit dipahami seperti istilah wahdat al wujud, hulul dan lain sebagainya.

Demikian era post modernisme yang ditandai dengan munculnya krisis demi krisis yang semakin parah dalam aspek kehidupan, moralitas semakin terpuruk dan kriminalisasi semakin merajalela. Dua ciri peradaban modern yang paling fundamental ialah rasionalitas dan mentalitas, yang disebabkan oleh adanya dua unsur masyarakat modern ini, maka terbentuklah mental manusia modern menjadi rasional serta materialistik, karena materialistik maka manusia modern kemudian cenderung individualistik.

Pada era pos modernisasi yang penuh dengan kebengisan, kedzalimaan dan keserakahan yang mengutamakan gaya hidup materialistik dan hedonistik banyak yang mengkambing hitamkan sufisme sebagai penyebab keterbelakangan. Hal ini yang melatar belakangi munculnya kebangkitan sufisme di era kontemporer di dunia Islam yang disebut Neo-Sufisme.

Salah satu tujuan Neo-Sufisme adalah penekanan yang lebih intens pada penguatan iman sesuai dengan prinsip aqidah Islam, dan penilaian terhadap kehidupan duniawi sama pentingnya dengan ukhrawi. Dengan demikian seorang ulama bisa merangkum sebagai ahli syari’ah (fuqaha’) dan sekaligus ahli haqiqah (sufi), karena ciri Neo-Sufisme diantaranya adalah merekonsiliasi dan akomodasi antara syariah dan sufisme terdahulu.

Karakter Dasar Neo-Sufisme

Karakter dasar Neo-Sufisme berdasarkan pada komentar para ahli dalam bidang tasawuf, yang membedakan Neo-Sufisme dibandingkan dengan sufisme lama adalah sebagai berikut:

  1.  Menolak terhadap praktek tawawuf yang ekstrim dan ekstatis, seperti ritual dzikir yang diiringi tarian dan musik, atau praktek dzikir yang heboh dan tidak terkendali. Dengan demikian Neo-Sufisme terkesan agak menyederhanakan berbagai metode dan akspresi yang dilakukan sesuai dengan konsep syari’ah.
  2. Menolak pemujaan yang berlebihan terhadap para wali-sufi dan kuburannya atau tempat-tempat lain yang dianggap kramat-suci. Fenomena ini didasari fanatisme berlebihan, yang mengakibatkan runtuhnya iman dan menghancurkan basis tauhidullah, bisa dilihat jelas terjadi di Saudi Arabia sebelum munculnya gerakan Wahabi abad ke-18. Pola sikap ini banyak diilhami oleh Ibn Taimiyyah
  3. Menolak ajaran wahdah al-wujud. Pemahaman ini kontroversial dengan pemahaman orang awam dan ulama’ fikih. Dalam Neo-Sufisme, konsep ini lebih dipahami sebagai kerangka transendensi Tuhan sehingga tetap sebagai Tuhan yang Khaliq.
  4.  Penolakan terhadap fanatisme murid kepada sang guru atau mursyid. Dalam tasawuf lama terdapat pandangan bahwa hanya dengan kepatuhan dan loyalitas mutlak terhadap guru, sang murid akan mecapai kemajuan spiritual atau maqam tertinggi, hal ini sudah menjadi kepercayaan mengakar. Dalam Neo-Sufisme, murid tidak harus memenuhi perintah dan ajaran sang guru jika jelas-jelas bertentangan dengan syari’at, bahkan murid berhak dan harus melawannya. Dengan demikian, dalam Neo-Sufisme, hubungan guru dan murid berlandaskan pada komitmen sosial dan moral akhlak yang harus memiliki kesesuaian dengan al-Quran dan al-Sunnah.
  5. Dalam dimensi Neo-Sufisme, yang diposisikan sebagai syekh tarekat adalah langsung Nabi Saw., bukan para awliya atau pendiri-pendiri tarekat. Dengan demikian Neo-Sufisme hendak untuk menempatkan Nabi Saw. sebagai pendiri tarekat yang kemudian dijadikan sebagai teladan dalam kegiatan berfikir, berdzikir dan suri tauladan dalam hal apapun.
  6. Menciptakan organisasi massa yang terstruktur dan tersentralisasi secara cukup hierarkis dibawah otoritas pendiri tarekat dan para khalifah, namun masih berorientasi komunal atau sosial. Maka Neo-Sufisme mempelajari tasawuf berarti melakukan inisiasi atau masuk dalam organisasi massa.
  7. Menitik tekankan khusus pada kajian hadist atau sunnah yang betul-betul shahih, terutama tema terkait dengan memberi pengaruh pada rekonstruksi sosial-moral masyarakat, dari pada hanya ketetapan hukum fikih.
  8. Menolak taklid dan penegasan hak individu muslim melakukan ijtihad. Maka Neo-Sufisme berupaya mendorong orang muslim untuk mempunyai kapasitas keilmuan dan kemampuan berijtihad dari pada sekedar taklid pada ulama tampa reserve.
  9. Kesediaan berpolitik dan heroik patriotisme militerian untuk membela Islam. Jika tasawuf lama cenderung uzlah menghadapi realita sosial yang tidak baik dalam pertumbuhan keislaman, maka beda halnya dengan Neo-Sufisme yang dengan karakter aktifisnya siap menghadapi tantangan dan memberikan respos perubahan konstruktif dan positif melawan ekspansi imperialisme Barat, terutama pada abad ke-18.