Perkembangan Islam di Indonesia Pada Masa Kemerdekaan

Proses datangnya Islam di Indonesia menjadi bagian dalam babak sejarah dunia Islam. Islamisasi tersebut melalui priode yang disertai dengan pembagian waktu dan mengikuti pembagian tempat. Agama tersebut masuk di perairan Nusantara secara damai tanpa paksaan dan tidak melalui peperangan.

Pergerakan Islam dan nasionalis senantiasa jalan beriringan dalam pertarungan ideologi mengawal terwujudnya kemerdekaan dari tangan para kolonial. Sehubungan dengan pembentukan negara baru, kalangan muslim menuntut pembentukan sebuah negara Islam sedangkan pada lain pihak kalangan nasionalis dengan tegas melarang setiap penglebihan terhadap simbol-simbol muslim yang dilekatkan pada pembentukan negara baru tersebut. Setelah Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 ditetapkanlah “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai sila pertama Pancasila. Meskipun kalangan muslim menawarkan konsep berbeda yang disisipkan dalam Piagam Jakarta. Substansi kehadiran sila pertama ini di antara lima sila pada dasar negara merupakan pernyataan aktif.

Perkembangan Islam di Indonesia tidak hanya mengalami grafik menukik ke atas namun terkadang mengalami pergeseran ke bawah. Hal ini terjadi karena adanya gesekan kepentingan pemerintah yang kebijakannya terkadang memberikan tekanan pada ruang gerak muslim, khususnya dalam hal yang terkait dengan politik. Hal lain yang mewarnai perkembangan Islam di Indonesia adalah terbentuknya beberapa partai Islam yang kemudian mencoba memasuki dunia politik dengan memperkuat benteng kekuatan masing-masing untuk ikut serta dalam pertarungan perebutan kekuasaan di Indonesia.

1. Proses masuknya Islam ke Indonesia

Pertama, informasi tentang pembawa Islam masuk ke Indonesia. Literatur atau sumber-sumber sejarah tentang Islamisasi di Nusantara menginformasikan bahwa Islam datang dibawa oleh orang-orang Arab mubalig yang kebetulan berprofesi pedagang. Pembawa Islam tersebut dapat disebut sebagai mubalig pedagang. Mereka membawa barang-barang dagangan yang mendukung proses penyebaran Islam.

Kedua, informasi tentang waktu masuknya Islam di Indonesia. Informasi tentang hal ini sangat beragam berdasarkan daerah di mana Islam berkembang. Sebagaimana hasil seminar yang di adakan di Medan pada tahun 1963 dan di Aceh pada tahun 1980 menyimpulkan bahwa Islam masuk di Indonesia pada abad 1 H dan dibawa dari Arab. Munculnya tesis baru ini, yakni Islam masuk di Indonesia pada abad pertama hijriyah sekitar abad ke-7 dan ke-8 Masehi merupakan pembetulan dari pendapat yang berkembang sebelumnya.

Ketiga, informasi tentang tempat Islam pertama kali masuk. Informasi tentang hal ini diwarnai dengan beragam pendapat. Asumsi-asumsi tersebut disimpulkan juga dengan beragam pendekatan. Salah satunya adalah asumsi bahwa Islam masuk ke Nusantara melalui pesisir Sumatra Utara. Realitas bahwa pesisir Sumatra Utara sebagai persinggahan pelayaran memperkuat interpretasi bahwa Islam masuk ke Nusantara melalui pesisir Sumatra Utara. Para saudagar yang berlayar ke Asia Timur melalui Selat Malaka singgah di Pantai Sumatra Utara untuk memperoleh tambahan bekal yang mulai berkurang, seperti makanan, minuman dan kebutuhan lainnya.

2. Perkembangan Islam di Indonesia pasca kemerdekaan

a. Masa Orde Lama

Dalam sidang PPKI, M. Hatta berhasil meyakinkan bahwa tujuh kata dalam anak kalimat yang tercantum dalam sila pertama Pancasila “Ketuhanan yang maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dengan segala konsekuensinya dihapuskan dari konstitusi. Namun hal yang sedikit melegahkan hati para nasionalis Islam adalah keputusan tentang diadakannya Kementerian Agama yang akan menangani masalah keagamaan.

Sejak tahun 1950 sampai 1955 PNI dan Masyumi terlibat perselisihan mengenai peran Islam dan peran komunis. Tetapi kalangan muslim sendiri saling berseberangan. Misalnya pada tahun 1952 Nahdatul Ulama (NXJ) menarik diri dari Masyumi dan menjadi partai politik yang mandiri. Terjadi pula perselisihan antara kaum tua dan kaum muda dan antara Muhammadiyah dan NU mengenai. Orientasi keagamaan. Pergolakan yang tidak terselesaikan antara beberapa partai politik yang mengantarkan sebuah pemilihan nasional (pemilu) tahun 1955 yang terbukti sebagai sebuah peristiwa yang menentukan dalam sejarah Indonesia.

Perkembangan Islam pada masa orde lama, (masa berlakunya UUD 1945, Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950) berada pada tingkat pengaktualisasian ajaran agama untuk dijadikan sebuah dasar dalam bernegara. Sehingga pergolakan ideologi antara golongan muslim dan golongan nasionalis saling tarik ulur untuk memperjuangkan berlakunya rumusan ideologi masing-masing. Sedangkan pada masa demokrasi terpimpin (1959 – 1966) golongan Islam mendapat tekanan melalui dominasi peranan golongan komunis yang membonceng kepada pemerintah.

b. Masa Orde Baru

Munculnya orde baru dianggap sebagai kemenangan bagi umat Islam karena ada andil dalam pembentukannya. Sehingga umat Islam menarah banyak harapan pada pemerintah, khususnya kesempatan untuk berkiprah di bidang politik.

Awal 1970-an merupakan periode penting bagi perkembangan Islam di Indonesia. Menjelang diadakannya pemilihan umum pertama pada masa orde baru, Nurcholis Madjid sebagai intelektual menggagas perlunya pembaraan pemikiran dalam Islam. Gagasan Cak Nur tersebut rrtenunjukkan secara jelas penolakan terhadap pandangan yang menjadikan Islam sebagai landasan ideologi poiitik dengan jargon “Islam yes, partai Islam no”. Selain beliau, masih ada beberapa pembaharu seperti Harun Nasution dan Abd Rahman Wahid juga berperan dalam gagasan tersebut. Di samping perkembangan pemikiran keislaman oleh cendikiawan Muslim di Lingkungan Islam seperti di IAIN, pesantren, organisasi Islam, corak pemikiran di IAIN mulai pertengahan 1980-an sampai dengan pertengahan 1990-an, menjadi salah satu kiblat perkembangan pemikiran Islam di Indonesia.

Pada masa ini pula, perkembangan yang perlu dicatat adalah munculnya ide reformasi fiqh yang diusulkan oleh ulama Indonesia, misalnya Hasbi al-Shiddieqy dan Hazairin, yang keduanya meninggal dunia pada 1975. Hasbi al-Shiddieqy mengajukan konsep “Fiqh Indonesia” dan berusaha menekankan pentingnya merevisi fiqh tradisional yang tidak mempertimbangkan karakteristik komunitas Islam di Indonesia. Sedangkan Hazairin mengajukan konsep “Fiqh Mazhab Nasional” dengan tujuan agar lebih relevan dengan adat dan budaya di Indonesia. Selain itu konsep “Reaktualisasi Ajaran Islam” juga disampaikan oleh Munawir Sjadzali sebagai upaya reinterpretasi terhadap doktrin Islam. Menyusul konsep “ Fiqh Sosial” yang diajukan oleh Ali Yafie.

c. Masa Reformasi

enyusul lengsernya rezim Soeharto, muncul kembali seputar hubungan Islam, negara, masyarakat serta peran Islam dalam Indonesia Baru. Banyak partai Islam seperti PPP dan Partai Bulan Bintang (PBB) yang beipartisipasi dalam Pemilu 1999, kembali mengusung isu Piagam Jakarta dalam sidang Tahunan MPR. Namun usaha untuk mengamandemen UUD 1945 dengan memasukkan kembali tujuh kata dalam Piagam Jakarta gagal diwujudkan karena seimia fraksi lain di MPR menolaknya. Selama periode ini pula sejumlah daerah di Indonesia menuntut penerapan syariat Islam secara formal.

Selain Aceh yang sudah diberikali hak otonomi untuk menerapkan syariat Islam, provinsi-provinsi lain (misalnya provinsi Sulawesi Selatan, Riau, Banten dan beberapa kabupaten lain) juga menyampaikan tuntutan untuk menerapkan syariat Islam. Sekalipun tuntutan tersebut disuarakan dari waktu ke waktu, tidak terdapat konsep yang jelas tentang syariat yang akan diberlakukan. Oleh karena itu, penerapan syariat Islam pada faktanya bukanlah masalah yang sederhana. Di antara keramitan yang muncul di dalamnya adalah kalangan umat Islam sendiri masih terjadi perdebatan sengit mengenai apa yang dimaksud dengan syariat dan bagaimana bentuk konkrit rumusan syariat.

Referensi

Yatim, Badri. 2008. Sejarah Peradaban Islam. Cet. XX; Jakarta: PT. Raja Grafmdo Persada, 2008.

Hasjmy, A. 1989. Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia. Bandung: Al-Ma’arif.

Abd. Rasyid Rahman. 2017. PERKEMBANGAN ISLAM DI INDONESIA MASA KEMERDEKAAN (SUATU KAJIAN HISTORIS). Lensa Budaya, Vol. 12, No. 2, Oktober 2017. Departemen Ilmu Sejarah, Universitas Hasanuddin