Tak perlu dinafikan lagi tentunya bahwa peradaban manusia berkembang dengan sangat dinamis seiring dengan perkembangan pola pikir insan-insan di dalamnya. Bumi yang menempati posisi ketiga dalam sistim tata surya galaksi Bima Sakti ini menjadi saksi perkembangan tersebut, setidaknya mulai dari zaman prasejarah hingga era digital seperti sekarang ini. Perubahan dan transformasi di setiap sektor kehidupan tentu saja menjadi sebuah konsekuensi dari perkembangan peradaban tersebut. Tak terkecuali pada hasil rasa, karya dan cipta manusia yang disebut kebudayaan. Imbas dari perkembangan peradaban tersebut tentunya sampai pada anak-anak kandung kebudayaan, salah satunya adalah kesusastraan.
Berbagai sumber mendefinisikan kesusastraan sebagai bentuk rangkaian tulisan yang memiliki maksud tertentu dengan nilai-nilai keindahan serta estetik di dalamnya. Sedangkan secara fungsi, kesusastraan berperan sebagai cerminan keadaan sosial suatu bangsa pada satu era. Fungsi dari kesusastraan inilah yang kemudian menjadikannya sebagai referensi bagi masyarakat pada era selanjutnya. Sifat referensial dari kesusastraan tersebut bukan hanya dalam tataran dunia sastra saja, tetapi juga melingkupi hampir ke segala sektor kehidupan. Bagi bangsa Asia Raya, beberapa karya-karya agung dari jazirah Arab, Cina daratan dan tanah Hindustan di India sangat berpengaruh. Hingga saat ini nilai-nilai kandungannya masih diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu contohnya adalah Strategi Peperangan Sun Tzu yang pada masa sekarang ini masih banyak diaplikasikan di pelbagai manajemen perkantoran di Asia bahkan dunia. Di Nusantara sendiri pun ada berbagai karya yang berpengaruh hingga hari ini, diantaranya adalah kakawin Sutasoma karya Mpu Tantular, dimana pada salah satu pupuhnya terdapat kalimat yang dipakai sebagai semboyan negara kita. Selain itu, tentu saja ada karya-karya lain seperti kitab Negarakertagama atau Jangka Jayabaya. Pada karya yang terakhir disebut harus diakui sangat berpengaruh pada pola pikir sebagian rakyat Indonesia, setidaknya ketika negara sedang mengalami suatu kekacauan atau bencana, dalam istilah pewayangan disebut “Goro-goro”.
Jika dilihat berdasarkan perjalanan sejarahnya, ternyata fungsi kesusastraan mengalami sebuah transformasi. Pada awalnya ia hanya berfungsi sebagai media propaganda yang dengan keindahan unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsiknya ditujukkan untuk mengagung-agungkan sang penguasa. Pada karya-karya jenis ini umumnya tema yang diangkat adalah kepahlawanan dengan mengangkat penguasa sebagai tokoh utama. Seiring dengan berbagai perkembangan yang terjadi, dan kejenuhan rakyat akan kesewenang-wenangan penguasa, kesusastraan pun mengalami sebuah transformasi. Pada fungsinya yang baru ini, ia berperan sebagai media kritik sosial. Para pemikir dan pujangga yang kebanyakan berasal dari kaum marjinal pada saat itu banyak menggunakan kesusastraan sebagai media bagi mereka untuk mengkritisi penguasa atas ketidakadilan yang melanda rakyat kecil.
Kesusastraan banyak digunakan sebagai media kritik sosial karena kemampuannya yang mengagumkan dalam menyamarkan atau men-stilasi maksud dan tujuan yang sebenarnya, sehingga pihak yang dikritik tidak merasa dikritik. Kritikan-kritikan sosial tersebut pada umumnya mengalir dan disampaikan melalui tokoh-tokoh imajiner ciptaan si empunya gagasan. Banyak tokoh-tokoh legendaris yang lahir dari budaya kritik sosial tersebut, salah satunya yang menjagat adalah Robin Hood dari Britania. Lalu bagaimana dengan Nusantara? Indonesia dengan beragam suku bangsa dan budaya yang bernaung di dalamnya tentu saja memiliki banyak tokoh seperti itu. Salah satu yang paling tua serta memiliki sejarah panjang adalah Punakawan. Ya, Punakawan atau Panakawan adalah keluarga yang terdiri dari empat orang pria, Semar, Bagong (Cepot), Petruk (Dawala) dan Nalagareng. Sebagai media kritik sosial, keluarga ini telah mengalami perjalanan panjang, mulai dari era kerajaan Hindu kuno hingga hari ini.
Awal kelahiran
Jika berbicara tentang Punakawan tentu saja tidak dapat terlepas dari wiracarita Mahabarata dan Ramayana. Sebenarnya Punawakan tidak termasuk dalam naskah asli yang ditulis oleh Walmiki dan Begawan Abyasa tersebut, hal ini terjadi karena Punakawan memang asli ciptaan para pujangga Nusantara. Diambil dari suatu sumber, Punakawan berasal dari kata “Puna” yang berarti “paham” dan “Kawan” yang berarti “teman”. Dapat dikatakan bahwa Punakawan berarti “teman yang memahami”, jika dikaitkan dengan cerita yang menaunginya, maka Punakawan ini adalah abdi setia yang paham dan mengerti akan berbagai kesulitan dan masalah yang dialami oleh para tuannya.
Menurut sejarawan Prof. Dr. Slamet Muljana, tokoh punakawan pertama kali ditampilkan oleh Mpu Panuluh dalam karyanya Gatotkacasraya yang merupakan gubahan dari Mahabarata. Tokoh-tokoh Punakawan-nya sendiri bernama Jurudyah, Punta dan Prasanta. Kelahiran dari tokoh-tokoh Punakawan generasi pertama ini dapat dikatakan sebagai salah satu anak kandung dari khazanah kesusastraan nusantara pada awal era keemasannya. Tak berlebihan rasanya jika menggolongkannya seperti demikian, mengingat Mpu Panuluh sang penciptanya hidup pada masa kerajaan Kadiri di bawah pemerintahan Sri Jayabhaya yang memang dikenal karena jasanya mengembangkan kesusastraan Jawa.
Pada masa selanjutnya, tepatnya pada era kerajaan Majapahit, para tokoh-tokoh Punakawan generasi pertama ciptaan Mpu Panuluh dikembangkan lagi, pada masa inilah diciptakan seorang tokoh bernama Semar. Untuk menjaga kaitannya dengan generasi sebelumnya, maka tokoh Semar ini pun disebut juga dengan nama Jurudyah Puntaprasanta. Tokoh Semar pertama kali muncul dalam cerita Sudhamala. Cerita ini masih mengambil lakon dari wiracarita Mahabarata, dengan mengangkat Shadewa, bungsu dari Pandawa sebagai tokoh utamanya. Secara garis besar cerita Sudhamala mengisahkan tentang Shadewa yang meruwat atau menghilangkan kutukan yang menimpa Bhatari Durga. Cerita ini masih dapat ditemui dalam bentuk-bentuk relief di Candi Sukuh dan Cetho di Karanganyar, Solo serta pada Sangku Sudhamala, sebuah bejana berrelief peninggalan Majapahit yang terletak di Pura Pusering Jagat, desa Pejeng, Gianyar, Bali.
Punakawan memang lahir sekitar sembilan abad yang lalu, tepatnya pada abad ke-12 Masehi, namun perannya masih minim sekali. Pada karya sastra Gatotkacasraya dan Sudhamala, para Punakawan masih berfungsi sebagai pemecah suasana dengan humor-humornya dan tentu saja agar cerita tersebut terasa lebih hidup. Pada era kerajaan Islam, Punakawan akan lebih berkembang lagi sekaligus bertransformasi sebagai media dakwah dan kritik sosial.
Perkembangan pada era kerajaan Islam
Seiring dengan makin kuatnya pengaruh Islam di tanah Jawa dan melemahnya Majapahit pada waktu itu, berkembang pula metode-metode penyebaran ajaran Islam. Berbagai metode telah diaplikasikan oleh para waliyullah yang di kemudian hari dikenal dengan nama Wali Songo. Salah satu metodenya adalah akulturasi budaya. Metode ini merupakan metode dakwah yang menyisipkan ajaran-ajaran Islam dalam kebudayaan lokal yang berkembang pada saat itu. Salah satu contoh akulturasi budaya ini adalah berdakwah melalui pewayangan. Adalah Sunan Kalijaga atau Raden Said, seorang ulama dan budayawan Jawa yang memakai metode tersebut sebagai cara dakwahnya.
Pada masa penyebaran Islam inilah terjadi transformasi pada tokoh Punakawan. Semar yang sudah lahir sejak era pemerintahan Majapahit tetap dipertahankan, bahkan status dan derajatnya dinaikkan. Semar tidak lagi menyandang identitas sebagai abdi yang biasa-biasa saja. Pada masa ini tokoh Semar dikisahkan sebagai jelmaan dewa. Berdasarkan beberapa naskah kuno, seperti Serat Kanda, Paramayoga, Purwakanda dan Purwacarita disebutkan bahwa Semar sebenarnya merupakan dewa yang bernama Bhatara Ismaya, ia adalah saudara dari Bhatara Guru, sang raja dewa.
Pada era Islam muncul kemudian tokoh-tokoh Punakawan lainnya seperti Nalagareng, Petruk, dan Bagong. Mereka bertiga diceritakan sebagai anak-anak Semar. Meskipun demikian, masing-masing dari ketiga tokoh tersebut memiliki cerita sendiri. Nalagareng dan Petruk pada awalnya adalah ksatria-ksatria sakti, yang satu bernama Bambang Sukodadi dan lainnya bernama Bambang Panyukilan. Akibat sebuah kesalahpahaman mereka berdua akhirnya berkelahi habis-habisan, karena keduanya sama-sama sakti, maka perkelahian tersebut berjalan terus-menerus hingga akhirnya datang Semar untuk melerainya. Singkat cerita kedua ksatria memohon kepada Semar agar dapat mengabdi. Pada akhirnya kedua ksatria tersebut diangkat anak oleh Semar. Lain lagi dengan cerita dibalik tokoh Bagong. Konon ia lahir dari bayangan Semar sebagai anugerah dari Sang Hyang Tunggal. Dalam pewayangan Sunda, Keempat Punakawan ini tinggal di sebuah desa bernama Karang Tumaritis yang kurang lebih artinya “tempat menitis”. Makna tempat ini tentunya berkaitan erat dengan latar belakang dari keluarga Punakawan tersebut.
Para tokoh-tokoh Punakawan tersebut bukan hanya berkembang di Jawa Tengah saja, melainkan juga di berbagai daerah lainnya di Jawa dan Bali. Tokoh-tokohnya pun disesuaikan dengan budaya lokal setempat. Untuk pewayangan di tatar Pasundan, tokoh-tokoh Punakawan-nya menggunakan Semar, Cepot (Astrajingga), Dawala dan Gareng. Pewayangan Jawa Tengah memakai tokoh-tokoh Semar, Nalagareng, Petruk dan Bagong sebagai pengasuh ksatria serta Togog dan Bilung sebagai pengasuh raksasa. Jawa Timuran hanya memakai tokoh Semar dan Bagong saja. Sedangkan Bali memakai Tokoh Tualen dan Merdah untuk pengasuh para ksatria serta Delem dan Sungut sebagai pengasuh golongan raksasa. Sosok-sosok Tualen dan Merdah dapat ditemui dalam bentuk arca di situs Arjuna Metapa di desa Pejeng, Gianyar, Bali. Dua orang punakawan tersebut terpahat abadi menemani Arjuna yang sedang bertapa. Sebenarnya Punakawan hadir bukan hanya dalam pewayangan saja, tetapi juga dalam pementasan Ketroprak. Beberapa diantaranya adalah Bancak dan Doyok yang sering dipakai dalam golongan cerita Panji, sedangkan Nayagenggong dan Sabdapalon digunakan pada cerita yang mengambil setting kerajaan Majapahit, seperti Brawijaya dan Damarwulan. (www.wikipedia.com)
Pada era kerajaan Islam ini, Punakawan digunakan bukan hanya sebagai media dakwah saja, tetapi juga sudah mulai digunakan sebagai media kritik sosial. Wujud fisiknya yang lucu, karakter-karakternya yang asal bicara serta kedekatannya dengan masyarakat marjinal membuat apa yang diungkapkan oleh sang Dalang melalui tokoh-tokoh ini sangat mudah untuk diterima di kalangan rakyat kecil. Namun di satu sisi, kritikan-kritikan berbalut guyonan dari para Punakawan tersebut tidak begitu disadari oleh para elite-elite penguasa pada waktu itu. Di kemudian hari, Punakawan yang juga merupakan simbol dari rakyat kecil dipergunakan sebagai alat perjuangan.
Masa-masa tersebut berlangsung ketika pendudukan VOC di kesultanan Mataram, Jawa Tengah. Bahkan sepeninggal Sultan Agung, dunia seni pewayangan harus terbagi dua karena besarnya pengaruh Belanda pada saat itu. Pihak VOC tidak suka dengan kritik-kritik sosial yang dilancarkan oleh para dalang-dalang yang menentang kebijakan Amangkurat I dan Belanda. Tentu saja kritikan-kritikan tersebut meluncur lewat tokoh-tokoh Punakawan. Sebagai konsekuensi, tokoh Bagong yang paling gencar dalam mengkritik penguasa pada waktu itu harus dihilangkan. Namun aliran Nyai Panjang Mas yang memilih untuk terus menentang penguasa tetap mempertahankannya. Politik adu domba atau “Divide et Impera” pada dunia seni pewayangan tersebut berlangsung lama hingga akhirnya kemudian kedua aliran yang saling bertolak belakang itu saling “berdamai” pada zaman kemerdekaan. Dan Bagong sebagai “korban” politik dari perseteruan itu pun muncul kembali.
Era kerajaan Islam hingga masa pra kemerdekaan telah menjadi saksi transformasi dan perkembangan tokoh-tokoh Punakawan. Semar yang mulanya dipakai sebagai pemanis cerita, berkembang menjadi salah satu dewa dengan wujud rakyat biasa. Selain itu, pada masa ini pun Semar mendapat anak-anak yang kelak menemaninya dari panggung ke panggung. Punakawan yang lahir di kerajaan Kadiri dari rahim imajinasi Mpu Panuluh mulai tumbuh kembang berkelana ke bumi Mataram, Pasundan hingga Balidwipa. Fungsinya pun menjadi sangat vital dalam kebudayaan masyarakat tanah Jawa, bukan hanya sebagai pelontar humor, Punakawan pun bertransformasi menjadi media dakwah, kritik sosial hingga alat perjuangan. Pada era selanjutnya peranan Punakawan dalam kebudayaan nusantara semakin kuat meskipun ada satu masa dimana mereka harus “dipincangkan” kembali karena kepentingan penguasa.
Transformasi pada era pasca kemerdekaan
Eksistensi Punakawan pada masa setelah kemerdekaan semakin kokoh dan populer. Seiring seni pewayangan yang pada saat itu masih menjadi primadona hiburan mayoritas masyarakat di tanah Jawa dan Pasundan. Apapun jenis pewayangannya, baik itu wayang golek, kulit ataupun wayang orang, dapat dikatakan bahwa Punakawan pada masa itu menjadi suatu suguhan yang sangat ditunggu-tunggu. Meskipun sedang berada dalam puncak popularitasnya, Punakawan tidak serta-merta meninggalkan tugasnya sebagai media dakwah dan kritik sosial.
Popularitas pewayangan pada saat itu tentunya tidak terlepas dari kreativitas dan kecerdasan para dalang-dalang dalam memodifikasi wiracarita Mahabarata dan Ramayana agar dapat digunakan sebagai media untuk menyampaikan gagasan-gagasan baik itu dalam hal berdakwah ataupun kritik sosial. Tentu saja dalam hal ini Punakawan memiliki peran yang sangat vital.
Modifikasi dilakukan bukan hanya dari segi cerita, tetapi juga dari segi tehnik memainkan wayang dan produksi wayang-wayang itu sendiri. Tercatat dalam sejarah, diantaranya adalah Ki Manteb Soedarsono seorang dalang kondang wayang kulit yang berani bermanuver dalam tehnik “sabet” yang menghasilkan sebuah pertunjukkan wayang kulit yang sangat atraktif. Ada pula Asep Sunandar Sunarya, seorang dalang wayang golek asal Jelekong, Jawa Barat yang memodifikasi bentuk wayang Cepot serta para Buta (raksasa) sehingga lebih hidup dan atraktif. Atas kegigihan dan dedikasinya, Asep Sunandar Sunarya berhasil membawa seni wayang golek sebagai salah satu hiburan tidak hanya bagi masyarakat “elite” nasional tetapi juga ke seluruh dunia. Ia pula yang membawa Cepot atau Astrajingga ke panggung nasional bahkan dunia.
Tanpa meninggalkan identitasnya sebagai media kritik sosial, punakawan beserta seni pewayangan yang menaunginya mulai melenggang memasuki media elektronik. Dengan daya jangkau yang lebih luas dan penonton yang berasal dari berbagai kalangan, Punakawan sebagai anak kandung kesusastraan nusantara ini pun semakin dikagumi dan digandrungi. Imbasnya, para tokoh-tokoh Punakawan tersebut pun justru lebih terkenal dibanding para ksatria asuhan mereka. Pada era ini pula Semar, Cepot (Bagong), Petruk (Dawala) dan Nalagareng perlahan menapaki hari-hari mereka bukan hanya sebagai tokoh pewayangan yang populer, tetapi juga sebagai ikon budaya bangsa Indonesia.
Kepopularitasan ternyata tidak membuat mereka lepas dari kesederhanaan dan respon kritis mereka terhadap keadaan sosial, tidak juga melepaskan identitas mereka sebagai simbol kaum marjinal. Hal ini terlihat ketika Semar, Petruk dan Gareng mulai merambah media komik. Ya! Melalui kreativitas dan imajinasi Tatang. S, Petruk dan Gareng tampil dalam media dwimatra sebagai tokoh utamanya. Dalam komik yang sempat populer pada tahun ’80 an tersebut, kedua Punawakan tersebut tampil dalam balutan modern dan berpakaian modis serta fashionable. Meskipun demikian, almarhum Tatang S tidak menanggalkan identitas asli mereka, kesederhanaan, kepolosan, kejenakaan bahkan kecenderungannya dalam mengkritisi sesuatu masih dominan ditampilkan. Selain warna horor yang kerap mewarnai setiap edisinya, komik ini pun selalu menghadirkan kesialan-kesialan Petruk dan Gareng karena terlindas oleh pembangunan kota yang tak pandang bulu. Mungkin hal inilah yang membuat komik karya Tatang S ini digemari oleh kebanyakan orang, karena kedekatan dan kesamaan nasib di dalamnya. Bahkan isu-isu seperti itu terasa masih segar pada masa sekarang ini.
Masih di era tahun 80’an, Punakawan sekeluarga mendapat kehormatan ketika Drs. H. Subrata, Direktur TVRI pada saat itu membuatkan acara sendiri bagi Semar, Gareng, Petruk dan Bagong. Mungkin masih segar di memori anda ketika Ateng (Bagong), Iskak (Petruk), Suroto (Gareng), Sampan Hismanto (Semar) dan Teten (Mono) saling bersenda gurau dengan gaya slapstick setiap hari minggu siang. Ya! RIA JENAKA! Tayang mulai Maret 1981, acara ini sempat pula menjadi primadona kala itu. Namun di sisi lain, masa-masa inilah saat dimana Punakawan dikerdilkan. Bayangkan saja selama delapan abad Punakawan bertahan dengan identitas sebagai pembela kaum marjinal, tiba-tiba mereka harus takluk pada kepentingan penguasa. Di luar identitas mereka yang masih menampilkan warna komedi, tidak ada lagi kritik-kritik sosial yang biasanya menggelitik. Pada masa itu mereka memang dijadikan sebagai alat penyuluhan program-program pemerintah, rupanya memang penguasa pada waktu itu jeli dalam memanfatkan kedekatan Punakawan dan masyarakat.
Perjalanan Punakawan sebagai penyandang ikon budaya bangsa terus berjalan. Seiring dengan perubahan zaman, mereka terus berusaha mempertahankan identitasnya, mekipun sempat dikerdilkan pada suatu masa, namun mereka dapat pulih dan kembali menjadi pembela kaum marjinal. Punakawan kembali melenggang ke panggung modern, kali ini tetap menjaga identitas aslinya. Cepot adalah salah satu punakawan yang melangkah lebih jauh dibanding ayahnya Semar dan kedua saudaranya. Mulai dari awal millennium kedua ia kerap tampil di berbagai televisi swasta, mulai dari acara relijius seperti pengantar berbuka puasa hingga acara-acara komedi. Bahkan akhir-akhir ini Cepot dianggap sebagai ikon kota Bandung. Gambarnya dalam bentuk dwimatra banyak menghiasi kaos-kaos suvenir khas kota kembang tersebut. Sementara itu Punakawan yang lain pun masih tetap setia dengan seni pewayangan yang menaunginya. Masih setia dengan kritik-kritik, gurauan-gurauan khas dan nasehat-nasehat bijaknya.
Di era reformasi dimana demokrasi dan kebebasan berpendapat kembali “dihidupkan”, Punakawan hadir dengan gagasan-gagasan yang lebih segar dan menggugah. Kepekaannya dalam merespon berbagai gejolak sosial yang terjadi pun semakin tajam. Salah satu contohnya adalah pagelaran kolaborasi Wayang Kulit & Golek dengan lakon “Semar Gugat” oleh Ki Manteb Soedarsono dan Asep Sunandar Sunarya yang sempat ditayangkan di salah satu stasiun televisi swasta tanah air. Dalam pagelaran tersebut, dikisahkan Semar menggugat dan mengkritisi pemerintah akan keadaan negara yang semakin kacau. Kritikan-kritikan Semar tersebut kemudian dijawab oleh anak-anaknya, Cepot, Dawala dan Gareng dengan berbagai solusi-solusi yang dapat dilakukan untuk mengantisipasi berbagai kekacauan tersebut. Intinya, pagelaran “Semar Gugat” menyampaikan sebuah ajakan kepada setiap elemen bangsa dari berbagai bidang untuk bersatu, bergotong-royong dan berkontribusi sesuai dengan profesi dan kemampuannya masing-masing untuk membangun dan merawat Nusantara yang sedang banyak dihantam berbagai masalah, termasuk bencana alam. Selain ajakan yang memang secara verbal disampaikan melalui lakon yang dibawakan, pagelaran tersebut pun menjadi sebuah contoh nyata persatuan dalam bidang seni pewayangan. Wayang Kulit dan Golek yang selama ini dianggap berbeda pakem, dalam pagelaran tersebut justru dapat menyatu secara harmonis, tanpa meninggalkan identitasnya masing-masing.
Zaman akan terus berganti, kebudayaan akan terus bergerak dinamis, dan modernisasi tak akan terelakkan. Punakawan telah menjalani perubahan-perubahan itu selama genap sembilan abad sejak kelahirannya di tanah Kadiri. Hingga hari ini, mereka masih dan tetap setia, merelakan dirinya dipinjam sebagai media untuk menyampaikan gagasan-gagasan serta kritikan-kritikan demi terjaganya keharmonisan hidup di antara sesama manusia. Sesuai dengan arti nama Punakawan, “teman yang memahami”, mereka akan terus memahami dan menemani manusia-manusia “asuhannya” selama kita masih mau menghargai mereka bukan hanya sebagai bagian dari kebudayaan nusantara tetapi juga sebagai “teman” yang senantiasa hadir dalam keresahan-keresahan akan gejolak sosial yang terjadi.(pj)