Sejarah Awal Masuknya Islam ke Indonesia

Perkembangan Islam ke berbagai wilayah di Indonesia, menurut para pakar berawal dari Sumatera bagian Utara yaitu Pasai dan Perlak karena letak daerah ini berada di tepi selat Malaka tempat lalu lintas kapal-kapal asing sehingga berdiri kerajaan Islam yang bernama kerajaan Samudera Pasai. karena memang menurut sebagian pakar sejarah mengatakan bahwa daerah yang pertama kali menerima agama Islam adalah pantai Barat pulau Sumatera lalu kemudian menyebar ke seluruh Indonesia mulai dari pesisir pulau Sumatera – Aceh, Pariaman (Sumatera Barat), Palembang (Sumatera Selatan), selanjutnya ke pulau Jawan, Kalimantan, Sulawesi dan Indonesia bagian timur.

Ada sebagian sejarahwan yang berkomentar bahwa Islam datang ke nusantara dibawah oleh pedagang Arab pada kisaran abad ke 7 Masehi atau pada abad pertama Hijriyah berdasarkan penemuan batu nisan seorang perempuan Muslimah yang bernama Fatimah binti Maimun di Lera dekat Surabaya. Diantara ilmuwan yang menganut teori kisaran masuknya Islam ke Indonesia pada abad ke 7 ini adalah J.C. Van Leur, Hamka, Abdullah bin Nuh, D. Shahab, dan T.W Arnold, namun ada pula yang berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia pada kisaran abad ke 11 dan 13 Masehi berdasarkan laporan Ibnu Batutah seorang musafir (penjelajah) berkebangsaan Maroko yang pernah mengunjungi kerajaan Samudera Pasai dalam perjalanannya ke negeri China pada tahun 1345 Masehi.

Untuk mengetahui gambaran atau informasi mengenai awal mulanya Islam masuk ke nusantara secara garis besarnya dapat kita ketahui lewat beberapa teori yang telah dikemukankan para pakar sejarah yang antara lain sebagai berikut :

A. Teori Gujarat

sejarahwan menyebutkan bahwa Islam masuk ke Indonesia sekitar abad ke 13 di bawah oleh para saudagar (pedagang) dari Gujarat – India atau juga dikenal dengan pelaut Muslim yang belayar melewati selat Malaka menuju nusantara, karena saat itu bumi nusantara negeri yang ditumbuhi rempah-rempah berharga mulai buah pala, cengkeh, lengkuas, dan lainnya. Inilah salah satu sebabnya nusantara kelimpahan komoditas perdagangan yang kemudian menetap di nusantara dan bercampur dengan masyarakat lokal serta melakukan kontak secara langsung dengan kerajaan Samudera Pasai yang kala itu sebagai penguasa selat Malaka, hingga pada abad ke 16 agama Islam sudah melampaui jumlah penganut agama Hindu dan Buddha yang sebelumnya merupakan agama yang paling dominan di Jawa dan Sumatera terkecuali Bali dan pulau-pulau Timur Indonesia.

Orang-orang Gujarat, membawa barang-barang perdagangan mereka untuk dipasarkan di nusantara, namun disisi yang lain orang-orang Indonesia juga membawa hasil pertanian dan rempah-rempah juga pergi ke Gujarat untuk menjualnya sehingga tidak tertutup kemungkinan mereka yang pergi ke sana tersebut ikut serta mendalami ajaran Islam dan kemudian dibawa mereka pulang ke Indonesia. Dari sini, dapat disimpulkan bahwa orang-orang Gujarat dan orang-orang Indonesia yang sudah mendalami ajaran Islam di Gujarat secara bersamaan aktif mengembangkan ajaran Islam di Indonesia.

Teori ini, sangat diperkuat dengan penemuan batu nisan di makam sultan Samudera Pasai yang bernama Malik As-Saleh yang wafat pada tahun 1297 yang merupakan penguasa Muslim pertama di kerajaan Samudera Pasai, dimana tanda-tanda fisik batu ini bercorak Gujarat sama dengan batu nisan yang terdapat di perkuburan Islam Gujarat – India. Bukti lain adalah corak tasawuf yang terdapat di nusantara ini memiliki kesamaan dengan Islam yang bercorak sufistik yang sudah cukup lama berkembang di anak benua India.

B. Teori Persia

Pendapat lain, menyebutkan bahwa kedatangan Islam ke nusantara bukan dari Gujarat tetapi melalui para pedagang Persia – Iran yang bercorak Syi’ah, maka sebagian para ahli sejarah mengklaim bahwa di Indonesia banyak sejumlah tradisi-tradisi umat Islam Indonesia memiliki kemiripan dengan tradisi-tradis dalam ajaran Syi’ah. Teori ini, diperkuat dengan adanya beberapa kesaman tradisi yang ada di Indonesia dengan yang ada di Persia, seperti tradisi tabut atau peringatan 10 Muharram yang terdapat diberbagai daerah khususnya di wilayah Sumatera, Jambi, dan Bengkulu sama dengan tradisi memperingati 10 Muharram di Persia. Begitu juga, tradisi maulid Lompoa Cikoang di Takalar – Sulawesi Selatan sangat mirip dengan tradisi yang terdapat di wilayah Iran, bahkan Saifullah3 menyebutkan bahwa banyak ungkapan-ungkapan dan kata-kata Persia dalam hikayat-hikayat Melayu, Aceh, dan Jawa.

Labih dari itu, kantor Kedutaan Besar Iran di Jakarta pernah menerbitkan sebuah buku yang lumayan atau cukup tebal tentang bahasa-bahasa Persia yang masuk ke dalam perbendaharaan bahasa Indonesia baik sebagai bahasa resmi maupun sebagai prokem. Maka banyak juga sejarahwan yang mengindikasikan bahwa besar kemungkinan masuknya Islam ke nusantara berawal dari wilayah Kaukasus – Azerbaizan dikarenakan adanya banyaknya kemiripan cultur negara Indonesia dengan Azerbaizan yang salah satunya adalah kesamaan nisan kuno yang terdapat di wilayah Barus dan Namggroh Aceh Darussalam (NAD) memiliki kesamaan dengan batu nisan yang terdapat di Azerbaizan, semua ini menjadi kepingan-kepingan bukti yang mengindikasikan bahwa bangsa Persia berkontribusi dalam penyebaran agama Islam di Indonesia.

Teori ini, juga didukung oleh Prof. Hoesein Djajadininggrat dan Umar Amir Husen karena memang di masa dulu menurut kebanyakan ahli sejarah bahwa pulau nusantara yang tercinta ini merupakan bagian dari wilayah operasi dakwah dan wilayah dagang kerajaan Persia, maka tidak heran apabila teori ini banyak ditemukan dibeberapa manuskrip di berbagai perpustakaan di Iran termasuk pusat manuskrip di Quom – Iran.

C. Teori Makkah

Pendapat Sejarawan lain mengatakan bahwa Islam pertama kalinya telah masuk ke Indonesia pada abad ketujuh Masehi yang langsung datang dari Arab, dimana daerah yang pertama kali didatangi adalah wilayah pesisir Sumatera yang kemudian terbentuk masyarakat Islam sehingga berdirilah kerajaan Islam di Aceh, yang konon katanya sebagai raja Islam yang pertama berada di Aceh dimana para saudagar juga merangkap sebagai mubalik (penceramah).

Sebagian sejarahwan, berpendapat bahwa masuknya Islam ke Indonesia dibawah langsung oleh para musafir Arab yang memiliki semangat menyebar luaskan Islam ke seluruh penjuru dunia. Teori ini diperkuat, dengan adanya sebuah perkampungan Arab di pantai Barat Sumatera yaitu Barus provinsi Sumatera Utara yang dikenal dengan nama Bandar Khalifah, dimana banyak diketahui bahwa kota Barus merupakan daerah pengahsil batu kafur barus yang konon katanya sudah digunakan orang-orang Mesir untuk mengawetkan jasad Fir’aun, sehingga oleh sebagian sejarahwan mengindikasikan bahwa telah terjadi kontak orang-orang Arab (Mesir) dengan orang-orang Indonesia di Barus yang kemudian dianggap oleh sebagian pakar sebagai titik nol penyebaran Islam di bumi nusantara.

Sebagaimana disampaikan Abdul Malik Karim Amrullah bahwa pada tahun 625 M sebuah naskah Tiongkok yang menjelaskan menemukan kelompok bangsa Arab telah bermukim di pantai Barat Sumatera yaitu Barus. Beranjak dari Barus, kemudian Zainal Abidin Ahmad menyebutkan bahwa pada masa pemerintahan khalifah Usman bin Affan pernah mengirimkan utusan yaitu Muawiyah bin Abu Sofyan ke tanah Jawa tepatnya di Kalingga yang sekarang dinamai Jepara yang berhasil mengislamkan raja Jay Sima dan putra ratu Sima.

Selain cerita perkampungan Arab di pantai Barat Sumatera, juga banyak tulisan-tulisan yang dikarang oleh penulis Arab yang mengindikasikan bahwa mereka sudah sangat mengenal lautan Indonesia diantara mereka adalah Sulaiman (850 M), Ibnu Rusta (900 M) dan Abu Zaid. Mereka menjelaskan bahwa pelaut-pelaut Arab Islam telah mengenal sekali laut Indonesia bahkan mereka menjelaskan bahwa bangsa Arab telah mengenal pertambangan timah yang dikuasai oleh Zabaj yang menurut Sir Thomas W. Arnold adalah Sriwijaya.

Beberapa catatan lain, juga menyebutkan delegasi-delegasi yang dikirim China itu sempat mengunjungi Zabaj atau Sribuza sebutan lain dari Sriwijaya, mereka umumnya mengenal kebudayaan Budha Sriwijaya yang sangat dikenal pada masa itu. Kunjungan ini dikisahkan oleh Ibnu Abd al-Rabbih. Ia menyebutkan, bahwa sejak tahun 100 Hijriah atau 718 Masehi sudah terjalin hubungan diplomatik yang cukup baik antara raja Sriwijaya, Sri Indravarman dengan khalifah Umar Ibnu Abdul Aziz.

D. Teori Cina

sejarahwan juga mengatakan bahwa kedatangan Islam ke nusantara melalui atau perantaraan masyarakat Muslim China, yaitu migrasi Muslim China dari Kanton ke nusantara, karena memang dalam catatan sejarah bahwa pedagang China juga termasuk pedagang yang pertama menduduki pelabuhanpelabuhan di nusantara. Teori ini, diperkuat dengan adanya raja Demak yang berketurunan China yang bernama Raden Fatah dan selain itu penulisan gelar raja-raja Demak pun banyak menggunakan istilah -istilah bahasa China.

Para walisongo merupakan simbol penyebaran Islam di Indonesia khususnya di Jawa mulai Maulana Malik Ibrahim dilaporkan telah mengislamkan banyak orang di wilayah pesisir Utara Jawa bahkan ia pernah beberapa kali mencoba membujuk raja Majapahid yang bernama Wikramawardhana yang memimpin di kerajaan Majapahit priode 1386-1429 agar masuk Islam. Sekalipun Maulana Malik Ibrahim telah melakukan bujukan demi bujukan, tetapi Islam baru memproleh momentum di istana Majapahit setelah kedatangan Raden Rahmat putra seorang dai Arab di Camp, beliau digambarkan memiliki peran dalam islamisasi di pulau Jawa bahkan dipandang sebagai pemimpin wali sango dengan gelar sunan Ampel bahkan beliau telah mendirikan pusat keilmuan Islam.

Referensi

Saifullah, Sejarah & Kebudayaan Islam di Asia Tenggara, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010

Abdul Malik Karim, Amrullah,. Dari Perbendaharaan Lama: Menyingkap Sejarah Islam di Indonesia, Jakarta: Gema Insani Press, 2017.

Yatim, Badri,. Sejarah Islam di Indonesia, cet ke 1, Jakarta: Depag, 1998.