Konflik yang dibiarkan berlarut-larut dalam intensitas dan waktu lama dapat menyebabkan eskalasi/peningkatan konflik hingga mencapai puncaknya. Oleh karena itu, konflik hendaknya mendapat penanganan tepat agar mencapai deeskalasi/penurunan, bahkan berhenti. Beberapa cara yang dapat dilakukan, yaitu pencegahan, resolusi, manajemen, dan transformasi konflik.
1. Pencegahan Konflik
Konflik sosial dapat dicegah apabila masyarakat memiliki kepekaan sosial dalam mengenali tanda-tanda atau gejala konflik sosial. Misalnya, ketika menghadapi percekcokan atau perselisihan yang berlarut-larut, perbuatan kurang menyenangkan, atau tindakan yang berpotensi merugikan orang lain. Secara umum pencegahan konflik mencakup langkah-langkah berikut (Lyamouri-Bajja, 2012: 99-100).
a. Pemantauan cermat terhadap perselisihan yang berpotensi menimbulkan kekerasan.
b. Pembentukan mekanisme peringatan dini.
c. Perencanaan koordinasi untuk mencegah konflik.
d. Pelembagaan mekanisme pencegahan di tingkat lokal, regional, atau internasional.
Pencegahan penting dilakukan agar konflik dapat diantisipasi, diselesaikan secara bijak, dan tidak berujung pada tindak kekerasan. Kepekaan dan kepedulian sosial sangat dibutuhkan dalam pencegahan konflik. Oleh karena itu, konflik sosial dapat kita cegah melalui sikap-sikap positif seperti sopan santun, peduli terhadap sesama, dan mengutamakan musyawarah dalam penyelesaian masalah di kehidupan sehari-hari.
2. Resolusi Konflik
Konflik yang terjadi dalam masyarakat perlu segera dicarikan solusinya. Konflik sosial dapat diselesaikan dengan mengajak antarpihak yang terlibat duduk bersama dan sepakat untuk mengakhirinya. Penyelesaian konflik menggunakan upaya negosiasi atau bentuk lain yang dapat diterima bersama, bukan melalui otoritas hukum atau kekuatan tertentu.
Konsep inilah yang disebut resolusi konflik. Tujuan resolusi konflik adalah menyelesaikan konflik secara tuntas sehingga semua kebutuhan para pihak terpenuhi dan konflik menghilang (Lyamouri, 2012: 100). Resolusi konflik dapat diwujudkan melalui pengamatan atau penyelidikan secara saksama. Misalnya, mulai dari latar belakang isu masalah, perilaku antarpihak, dan tuntutan yang diinginkan oleh semua pihak.
3. Manajemen Konflik
Manajemen konflik sering digunakan sebagai pendekatan dalam penanganan konflik. Manajemen konflik diperlukan agar eskalasi (peningkatan/perluasan) konflik tidak terjadi lebih lanjut. Artinya, manajemen konflik tidak selalu bertujuan mengatasi masalah yang mengakar dalam jangka waktu panjang. Manajemen konflik lebih menekankan pada kemampuan untuk mengendalikan intensitas konflik, dampak, dan efeknya melalui berbagai metode seperti intervensi, negosiasi, upaya diplomatik, serta mekanisme kelembagaan (LyamouriBajja, 2012: 101).
Metode manajemen konflik dapat berbasis hak atau kepentingan. Manajemen konflik berbasis hak lebih menekankan pada mekanisme formal. Lembaga-lembaga berwenang dipilih untuk menegakkan keadilan sesuai aturan atau hukum yang berlaku. Sementara itu, manajemen konflik berbasis kepentingan lebih fokus pada penyelesaian masalah melalui jalur informal.
Adapun maksud dari setiap bentuk penanganan konflik sebagai berikut.
A. Dialog sangat dibutuhkan untuk menyelesaikan konflik karena melalui proses tersebut antarpihak dapat melakukan refleksi secara kritis. Refleksi ini mengajak antarpihak memikirkan kembali mengenai adanya perbedaan, harapan hidup bersama, dan sikap konformitas dalam masyarakat. Tujuan utamanya untuk menciptakan konsensus atau kesepakatan bersama.
B. Mengadakan pertemuan (convening) merupakan keterlibatan pihak ketiga yang netral untuk membantu mencari akar penyebab konflik, mengidentifikasi pihak atau entitas yang akan terpengaruh oleh hasil konflik, dan membantu pihak-pihak yang bertikai dalam mempertimbangkan cara terbaik untuk menangani konflik. Pihak ketiga juga dapat mengajak pihak yang berkonflik untuk berpartisipasi dalam proses penyelesaian sengketa dengan memberikan pengarahan tentang proses yang dipilih nantinya.
C. Negosiasi merupakan kesepakatan yang dilakukan antarpihak yang bertikai untuk bertemu dan bertatap muka melakukan perundingan yang bersifat win-win solution atau menguntungkan kedua belah pihak.
D. Mediasi merupakan upaya penyelesaian konflik oleh pihak ketiga. Pihak ketiga cenderung aktif dalam proses mediasi dengan mengarahkan pihak yang terlibat konflik untuk menemukan titik terang.
E. Arbitrase merupakan penyelesaian konflik yang bersifat formal. Metode ini melibatkan pihak ketiga untuk menyelesaikan konflik. Perbedaannya dengan mediasi adalah metode ini mengharuskan pihak yang berkonflik untuk menerima keputusan pihak ketiga/ penengah.
F. Adjudikasi merupakan penyelesaian konflik sosial dengan melibatkan pihak ketiga yang berwewenang penuh memberikan putusan dalam menyelesaikan konflik.
4. Transformasi Konflik
Bentuk-bentuk penanganan konflik sebelumnya lebih banyak fokus pada penyelesaian masalah. Lebih dari itu, transformasi konflik bertujuan untuk mengubah konflik menjadi kondisi yang lebih konstruktif. Konflik dipandang sebagai suatu kondisi yang dinamis. Oleh karena itu, para pihak yang berkonflik hendaknya dilibatkan untuk berkolaborasi dalam pemecahan masalah tersebut. Tujuan utamanya adalah melibatkan para pelaku konflik untuk mengembangkan pemahaman dan keterampilan yang memberdayakan setiap orang dalam jangka waktu panjang di berbagai lapisan masyarakat (Lyamouri-Bajja, 2012: 101).
Upaya yang dilakukan dalam tranformasi konflik hendaknya mempertimbangkan kondisi konflik secara kontekstual. Secara umum dapat dimulai melalui penyadaran dan mendorong para pihak melihat perbedaan mereka dari pendekatan menang-kalah menjadi pemecahan menang-menang (kolaboratif). Selanjutnya, menjalin kerja sama yang baik dengan berbagai pihak hingga membangun struktur yang memadai. Misalnya, dengan mengatasi ketakutan, ketidakpercayaan, stereotip, persepsi mengenai pihak yang salah, dan berkomunikasi efektif untuk mendefinisikan kembali hubungan antarpihak yang berkonflik. Selanjutnya, pihak yang terlibat berkontribusi pada pembentukan keadilan dan kesetaraan sosial.
5. Membangun Perdamaian Sosial
Terdapat empat konsep untuk mewujudkan perdamaian, yaitu pencegahan (preventive), peacemaking (membentuk perdamaian), peacekeeping (menjaga perdamaian) dan peacebuilding (membangun perdamaian). Ketika konflik tidak mampu dicegah, maka dibutuhkan upaya-upaya perdamaian, baik melalui pendekatan berbasis hak maupun kepentingan. Tujuannya untuk menegakkan perdamaian. Setelah konflik mereda atau terjadi gencatan senjata, perdamaian tetap harus dijaga dan diolah dengan melibatkan berbagai pihak agar konflik tidak kembali muncul.
Referensi
Lyamouri-Bajja, N., Ohana, Y., Markosyan, R., Abukatta, O., Dolejšiová, D., & Vidanovic, A. (2012). Youth Transforming Conflict. Council of Europe
Joan, Hesti dan Seli Septiana. 2021. Sosiologi: Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Jakarta