Baca Juga:
Dengan membawa semangat ‘kiri’ yang masih muda tersebut, Tan Malaka kembali ke Deli pada bulan November 1919 sebagai pengawas sekolah perkebunan. Dua tahun berkiprah di Deli, Tan Malaka memutuskan untuk berpindah dan bergabung dengan kaum pergerakan di Semarang sebagai pemimpin dan pelaksana Sarekat Islam School pada tahun 1921. Akibat aktivitas pendidikan dan politiknya, Tan Malaka terjerat exorbinante rechten dan ditangkap di Bandung dan kemudian diasingkan ke Belanda pada 1922. Pengasingan tersebut tidak menghentikan gerak Tan Malaka. Implikasi pengasingan tersebut justru memperluas spektrum pergerakan Tan Malaka menjadi taraf global dan regional.
Setiba di Belanda, Tan Malaka masuk dalam wadah Partai Komunis Belanda dan meningkat dengan bergabung dengan komintern dan povintern.
Tan Malaka merantau dari Belanda, Jerman, Tiongkok, Filipina, Thailand, Malaya, Birma dan Singapura. Dalam perantauan dan pelariannya tersebut Tan Malaka membangun dua pemahaman penting yaitu pemahaman terhadap konteks permasalahan global dan nasional.
Selain itu, Tan Malaka tetap mencurahkan perhatiannya terhadap pergerakan nasional di Indonesia dengan menulis beberapa tulisan seperti Naar. Bukan kebetulan bahwa selama di Harleem dan Bussum, Tan Malaka selalu dihadapkan pada lingkungan sosial kaum buruh.
Filsafat Hegel dan Marx memiliki perbedaan, Hegel menekankan pada kekuatan ide dan gagasan sementara itu Marx menekankan pada materialisme historis. Akan tetapi terdapat persinggungan yaitu dalam konteks filsafat dialektis Hegel yang diadopsi oleh Marx untuk menganalisis dan menjabarkan kondisi masyarakat dan spekulasi masyarakat di masa depan. Sementara itu pengaruh Hegel dan Marx bagi Tan Malaka tampak dalam tulisan Madilog yaitu Materialisme, Dialektis dan Logika. Marx percaya bahwa sejarah manusia ditentukan oleh kebutuhan ekonominya yang paling dasar yaitu kebutuhan materi (materialisme historis).
Karl Marx membagi fase perkembangan masyarakat dalam beberapa tahap yaitu: (1) komunisme primitif; (b) perbudakan, (c) Feodalisme; (d) Kapitalisme; (e) Sosialisme; (f) komunisme.
Dalam perspektif marx terdapat dua kelas berdasarkan penguasaan alat-alat produksi yaitu kaum borjuis sebagai penguasa alat produksi dan proletar atau buruh sebagai rakyat jelata yang selalu berada dalam subordinate.
Perbedaan antara Sosialisme dan Komunis dapat diamati dari perbedaan jalan mencapai masyarakat komunis dimana Tan Malaka menggunakan kerangka berfikir dan retorika marxisme-sosialisme dan komunisme.
Pemikiran Geo-politik ASLIA (Asia-Australia) yang digagas oleh Tan Malaka merupakan cerminan pemikiran global dan regional Tan Malaka. Tan Malaka berpendapat bahwa masyarakat di ASLIA memiliki persamaan-persamaan seperti iklim, bentuk fisik, bahasa dll. Sebagai contoh yaitu Filipina yang disebut Tan Malaka sebagai Indonesia utara karena kesamaan bentuk fisik dan cara hidup masyarakat Filipina dengan Indonesia.
Kesempatan Tan Malaka untuk kembali ke tanah air terbuka pada masa imperialisme Jepang. Tan Malaka menyusup ke Bukittinggi dan kemudian beralih ke Jakarta. Kemudian ke Banten sampai dengan menjelang proklamasi kemerdekaan.