Masa Kecil
Tan Malaka lahir dari rahim keluarga terpandang pegawai pemerintah Hindia-Belanda- Minangkabau di Suliki Sumatera Barat pada 1897. Tan Malaka kecil mulai merajut jalan kehidupan di dalam lingkungan sosial dengan adat dan budaya Minangkabau yang kental akan sistem matrilineal.
Lingkungan sosial Minangkabau khususnya pendidikan surau, prinsip egalitarian dan merantau, sangat memengaruhi struktur pengalaman politik Tan Malaka (Mrazek, 1972: 1-14). Pendidikan surau tidak hanya terdiri dari aktivitas dan pelajaran keagamaan, tetapi juga pelajaran pencak silat sebagai bekal merantau. Sementara itu merantau merupakan bentuk aktualisasi diri dalam dunia yang lebih luas. Konsep rantau adalah mencari pengalaman keluar alam untuk memperkaya alam dan masyarakat asal (Nasir, 2007: 7-11)
Pada usia tiga belas sampai dengan enam belas tahun (1908-1913), Tan Malaka melanjutkan sekolah di Kweekschool atau sekolah guru di Fort Roterdam, Bukittinggi. Atas prakarsa G.H. Horensma Tan Malaka kemudian melanjutkan studinya di Rijkskweekschool Belanda pada usia enam belas tahun (1913-1919). Perantauan di Belanda tersebut memberikan pengaruh yang amat besar bagi pembentukan worldview
dan ideologi Tan Pada Mei 1989, terdapat kasus menarik mengenai penerbitan buku Tan Malaka oleh Harry Poeze. Buku bermuatan Tan Malaka tersebut diputuskan dilarang oleh Jaksa Agung karena dianggap menyebarkan pemikiran dan ideologi komunisme-marxisme.
Dalam adat istiadat dan budaya Minangkabau anak usia sekitar 5 atau 6 tahun mulai menginggalkan rumah dan berguru di surau. Selain itu, rumah gadang tidak memiliki kamar bagi anak laki-laki, sehingga anak laki-laki Minangkabau mau tidak mau harus merantau.
Marxisme-sosialisme
Nafsu dan ketersediaan bacaan serta pengaruh lingkungan sosial-politik memperkenalkan Tan Malaka pada paham marxisme-sosialisme dan komunisme. Dua ideologi yang memengaruhi mindset dan worldview Tan Malaka adalah filsafat Hegelian dan Karl Marx.
Pengaruh filsafat Hegelian tampak dalam konstruksi pemikiran Tan Malaka yang mengadopsi adopsi siklus thesis-antithesis dan synthesis.
Sementara itu pengaruh Marx dalam bentuk sosialisme-komunisme tampak dalam perspektif materialisme historis, fase perkembangan masyarakat dan pertentangan antar kelas serta jalan revolusioner yang dianut Tan Malaka. Dalam tulisan-tulisan Tan Malaka, warna dan perspektif sosialisme-komunisme tampak dalam argumentasi dan analisis Tan Malaka terhadap kondisi sosial, politik dan ekonomi yang berlangsung di dunia saat itu.
Dengan membawa semangat ‘kiri’ yang masih muda tersebut, Tan Malaka kembali ke Deli pada bulan November 1919 sebagai pengawas sekolah perkebunan. Dua tahun berkiprah di Deli, Tan Malaka memutuskan untuk berpindah dan bergabung dengan kaum pergerakan di Semarang sebagai pemimpin dan pelaksana Sarekat Islam School pada tahun 1921. Akibat aktivitas pendidikan dan politiknya, Tan Malaka terjerat exorbinante rechten dan ditangkap di Bandung dan kemudian diasingkan ke Belanda pada 1922. Pengasingan tersebut tidak menghentikan gerak Tan Malaka. Implikasi pengasingan tersebut justru memperluas spektrum pergerakan Tan Malaka menjadi taraf global dan regional.
Setiba di Belanda, Tan Malaka masuk dalam wadah Partai Komunis Belanda dan meningkat dengan bergabung dengan komintern dan povintern.
Tan Malaka merantau dari Belanda, Jerman, Tiongkok, Filipina, Thailand, Malaya, Birma dan Singapura. Dalam perantauan dan pelariannya tersebut Tan Malaka membangun dua pemahaman penting yaitu pemahaman terhadap konteks permasalahan global dan nasional.
Selain itu, Tan Malaka tetap mencurahkan perhatiannya terhadap pergerakan nasional di Indonesia dengan menulis beberapa tulisan seperti Naar. Bukan kebetulan bahwa selama di Harleem dan Bussum, Tan Malaka selalu dihadapkan pada lingkungan sosial kaum buruh.
Filsafat Hegel dan Marx memiliki perbedaan, Hegel menekankan pada kekuatan ide dan gagasan sementara itu Marx menekankan pada materialisme historis. Akan tetapi terdapat persinggungan yaitu dalam konteks filsafat dialektis Hegel yang diadopsi oleh Marx untuk menganalisis dan menjabarkan kondisi masyarakat dan spekulasi masyarakat di masa depan. Sementara itu pengaruh Hegel dan Marx bagi Tan Malaka tampak dalam tulisan Madilog yaitu Materialisme, Dialektis dan Logika. Marx percaya bahwa sejarah manusia ditentukan oleh kebutuhan ekonominya yang paling dasar yaitu kebutuhan materi (materialisme historis).
Karl Marx membagi fase perkembangan masyarakat dalam beberapa tahap yaitu: (1) komunisme primitif; (b) perbudakan, (c) Feodalisme; (d) Kapitalisme; (e) Sosialisme; (f) komunisme.
Dalam perspektif marx terdapat dua kelas berdasarkan penguasaan alat-alat produksi yaitu kaum borjuis sebagai penguasa alat produksi dan proletar atau buruh sebagai rakyat jelata yang selalu berada dalam subordinate.
Perbedaan antara Sosialisme dan Komunis dapat diamati dari perbedaan jalan mencapai masyarakat komunis dimana Tan Malaka menggunakan kerangka berfikir dan retorika marxisme-sosialisme dan komunisme.
Pemikiran Geo-politik ASLIA (Asia-Australia) yang digagas oleh Tan Malaka merupakan cerminan pemikiran global dan regional Tan Malaka. Tan Malaka berpendapat bahwa masyarakat di ASLIA memiliki persamaan-persamaan seperti iklim, bentuk fisik, bahasa dll. Sebagai contoh yaitu Filipina yang disebut Tan Malaka sebagai Indonesia utara karena kesamaan bentuk fisik dan cara hidup masyarakat Filipina dengan Indonesia.
Kesempatan Tan Malaka untuk kembali ke tanah air terbuka pada masa imperialisme Jepang. Tan Malaka menyusup ke Bukittinggi dan kemudian beralih ke Jakarta. Kemudian ke Banten sampai dengan menjelang proklamasi kemerdekaan.
Konsep Negara Merdeka
Proklamasi 17 Agustus 1945 tidak membawa perubahan dalam pergerakan Tan Malaka. Dalam beberapa bulan pasca proklamasi, Tan Malaka menempatkan dirinya dalam posisi oposisi terhadap pemerintahan Republik Indonesia. Pemilihan sikap tersebut tidak lepas dari pemikiran Tan Malaka mengenai merdeka 100 %, yaitu kemerdekaan yang dirasakan dan mencapai rakyat jelata. Tan Malaka menganggap proklamasi 17 Agustus 1945 belum mencapai titik tersebut.
Selain itu, Tan Malaka juga mengecam sikap politik diplomasi yang dilakukan pemerintah Indonesia dengan Belanda yang dicitrakan sebagai ‘langkah kaum borjuis kecil Indonesia untuk menegakkan kembali kapitalisme-imperialisme di Indonesia’.19 Peristiwa penculikan Sutan Sjahrir pada 3 Juli 1946 menjadi titik puncak dalam gerakan oposisi Tan Malaka. Tan Malaka dianggap memimpin pergerakan tersebut dan kemudian dijatuhi hukuman sampai dengan 17 September 1948. Tan Malaka kemudian bergerak gerilya mulai dari Surabaya, Madiun, dan akhirnya mengakhiri perjalanannya di Kediri pada tahun 1949.
Berdasarkan telaah dua puluh lima tulisan Tan Malaka, terdapat untaian benang merah yang mendasari rajutan gagasan dan konsep Tan Malaka mengenai suatu negara merdeka. Beberapa wacana yang diartikulasikan Tan Malaka yaitu: (a) filsafat marx dalam bangunan negara20; (b) kemandirian dalam mencapai kemerdekaan 100 %21; serta (c) keberpihakan terhadap rakyat jelata.22 Poin terakhir menjadi wacana inti dari setiap tulisan Tan Malaka. Terminologi kaum krama, proletar, murba menjadi elemen yang tidak dapat dihilangkan dari semangat perjuangan Tan Malaka.
Gagasan dan konsep rakyat tersebut secara konsisten dipegang oleh Malaka melampaui batas-batas zaman pra-proklamasi sampai dengan pasca-proklamasi. Ketiadaan perubahan dan kesinambungan pemikiran dan perjuangan Tan Malaka melintasi perubahan zaman pada tahun 1945 dalam pemikiran perjuangan Tan Malaka agaknya hadir sebagai akibat pemaknaanya terhadap filsafat Hegelian yaitu tesis-antitesis-sintesis. Hal tersebut tampak ketika Indonesia mencapai proklamasi 17 Agustus 1945, Tan Malaka menganggap masih ada masalah-masalah baru ataupun masalah yang belum tuntas yaitu menghadirkan kemerdekaan sampai ke akar-akar bangsa. Indonesia harus merdeka 100 persen. Oleh karena itu, ia tetap pada pendiriannya sebagai oposan.
Pendidikan Rakyat
Pemikiran pendidikan Tan Malaka menjadi hal menarik yang patut didiskusikan. Tan Malaka memang menaruh perhatian lebih di bidang pendidikan. Hal tersebut dibuktikan ketika Tan Malaka memilih bergerak di ranah pendidikan ketika memasuki Semarang pada Juli 1912.23 Latar belakang ilmu keguruan serta pengalaman semasa di Deli mendorong tekad Tan Malaka untuk mendirikan sekolah rakyat. Atas inisiasi Sarekat Islam Semarang, Sarekat Islam School (SI School) kemudian didirikan dengan tanggungjawab pelaksanaan di tangan Tan Malaka.
Tan Malaka kini mendapatkan wadah dalam mengartikulasikan serta mengaktualisasikan konsep pendidikannya. Artikulasi konsep pendidikan Tan Malaka tampak di dalam brosur ‘SI Semarang dan Onderwijs’ (1921) yang memuat tiga aspek haluan Tan Malaka amat dipengaruhi periodisasi sejarah marxisme yang mendambakan kehadiran zaman komunisme. Dalam imaji Tan Malaka, zaman komunisme dapat dicapai dengan jalan pembentukan negara republik soviet.
Dalam perspektif Tan Malaka, kemerdekaan harus dirasakan dan didapat oleh kaum proletar dengan jalan revolusi total dalam arti sesungguhnya.
Kemerdekaan harus dilihat dari penguasaan alat produksi. Artinya, kemerdekaan dapat diukur dengan Lihat Brosur Politik (1945) untuk tendensi Tan Malaka terhadap bentuk pemerintahan Republik, sistem birokrasi soviet serta kemerdekaan dan kedaulatan 100%.
Tan Malaka melihat iklim politik kurang begitu mendukung sehingga ia memutuskan bergerak di bidang pendidikan. Sementara itu, bagaimana pada akhirnya Tan Malaka terjun ke dunia politik praktis lahir dari ‘kekurangan tenaga di semua lapangan’. Keberangkatan Semaun dan Darsono ke Moskow memberikan peluang bagi Tan Malaka yang saat itu masih berusia sekitar 24 tahun untuk mengambilalih kepemimpinan politik PKI. Lihat Dari Penjara ke Penjara (DPkP) . Hlm. 90-98. Meskipun demikian kesaksian Tan Malaka tersebut agaknya bersifat apologetis bila melihat zeitgeist pada awal abad-XX yang cenderung menarik tokoh-tokoh dalam pergerakan politik.
Dalam konsep Tan Malaka, pendidikan bersifat kerakyatan. Pendidikan tidak ditujukan untuk menghasilkan state apparatus kolonial, melainkan diarahkan sebagai dasar pemberdayaan dalam mengangkat derajat rakyat. Tan Malaka berpendapat:
“Tujuan kami bukan mendidik murid menjadi juru tulis seperti sekolah gouvernement. Melainkan, selain untuk mencari nafkah diri sendiri dan keluarga, juga untuk membantu rakat dalam pergerakannya. Jelaslah, bahwa dasar yang diapakai ialah kerakyatan dalam masa penjajahan, hidup bersama rakyat untuk mengangkat derajat rakyat. Bukanlah untuk menjadi satu kelas yang terpisah dari rakyat dan dipakai oleh pemerintah penindas bangsa sendiri. Sesuai dengan dasar dan tujuan yang demikian, maka metodenya memajukan kecerdasan, perasaan dan kemauan murid, disesuaikan dengan kepentingan rakyat jelata, pekerjaan rakyat sehari-hari, idaman rakyat dan pergerakan serta organisasi rakyat. ” (DPkP. Hlm. 94)
Praktik pendidikan dalam imaji Tan Malaka dilaksanakan tanpa ‘kelas’ yang akan menghasilkan masyarakat tanpa kelas. Tidak ada diskriminasi antar kaum dalam praktik pendidikan. Dalam kerangka pendidikan tersebut, potensi anak mendapatkan perhatian lebih.
Di samping itu, perlu dipahami bahwa konsep pendidikan Tan Malaka bukan semata-mata ditujukan kepada aksi politik radikal. Tan Malaka mengemukakan pendapatnya mengenai politik praktis dan pendidikan selepas dirinya ditangkap dan diasingkan.
Pahlawan Yang Terlupakan
Gunung Wilis, 21 Februari 1949, Tan Malaka ditangkap dan ditembak oleh satuan Tentara Nasional Indonesia tanpa adanya vonis pengadilan. Miris ketika menyadari fakta bahwa Tan Malaka wafat ditangan bangsanya sendiri (Poeze, 2014: 201).
Kematian Tan Malaka justru menjadi hal tabu dan ditutup rapat-rapat oleh rezim yang berkuasa. Citra perjuangan Tan Malaka yang bergerak di arus ‘kiri’ ketika masa pergerakan serta posisinya sebagai oposan pada masa awal kemerdekaan menjadi alasan penting hilangnya nama Tan Malaka dalam wacana kehidupan bangsa sejak periode Republik Indonesia Serikat hingga orde baru. Akibatnya, fakta kematian Tan Malaka disembunyikan. Sementara itu narasi sejarah resmi pemerintah tidak memberikan tempat bagi Tan Malaka (Poeze, 2008: 155-156).
Keruntuhan rezim orde baru pada pertengahan 1998 membawa semangat rehabilitasi nama Tan Malaka. Hal tersebut ditandai dengan peningkatan kuantitas penerbitan serta penelitian sejarah Tan Malaka. Motif dari penerbitan tulisan Tan Malaka tersebut secara umum dapat dipandang dari dua aspek yaitu: (a) upaya rehabilitasi nama Tan Malaka; (b) upaya memahami pemikiran Tan Malaka sebagai jalan bagi penyelesaian permasalahan kontemporer bangsa.
Tulisan Pemikiran
- Parlemen atau Soviet (1920)
- SI Semarang dan Onderwijs (1921)
- Dasar Pendidikan (1921)
- Tunduk Pada Kekuasaan Tapi Tidak Tunduk Pada Kebenaran (1922)
- Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia) (1924)
- Semangat Muda (1925)
- Massa Actie (1926)
- Local Actie dan National Actie (1926)
- Pari dan Nasionalisten (1927)
- Pari dan PKI (1927)
- Pari International (1927)
- Manifesto Bangkok(1927)
- Aslia Bergabung (1943)
- Muslihat (1945)
- Rencana Ekonomi Berjuang (1945)
- Politik (1945)
- Manifesto Jakarta (1945)
- Thesis (1946)
- Pidato Purwokerto (1946)
- Pidato Solo (1946)
- Madilog (1948)
- Islam dalam Tinjauan Madilog (1948)
- Gerpolek (1948)
- Pidato Kediri (1948)
- Pandangan Hidup (1948)
- Kuhandel di Kaliurang (1948)
- Proklamasi 17-8-45 Isi dan Pelaksanaanya (1948)
- Dari Pendjara ke Pendjara (1970)