Tari Kecak: Penggabungan Unsur-Unsur Seni, Budaya dan Religi

Jika kita berbicara tentang pulau Bali, tentu saja kita akan berbicara tentang sebuah harmonisasi antara kesenian, kebudayaan dan kehidupan beragama. Bukan hanya sebatas wacana, masyarakat Bali memang mengejawantahkan harmonisasi tersebut dalam setiap sendi kehidupan mereka. Lebih hebatnya lagi, mereka sudah melakukannya sejak zaman dahulu dan masih berlanjut hingga hari ini, salah satu bentuk manifestasi dari harmonisasi tersebut adalah seni tari tradisional Bali. Hampir sebagian besar jenis tarian di Bali menggabungkan unsur-unsur seni, budaya dan religi, salah satu contohnya adalah Kecak yang sudah dikenal baik oleh dunia internasional.

Kecak dapat dikatakan sangat unik dan berbeda dengan tarian-tarian lainnya di Bali. Keunikannya tersebut terletak pada instrumen musik yang mengiringinya. Tari kecak tidak membutuhkan gamelan untuk mengiringi musiknya. Instrument musik pada tari kecak justru terletak pada penari-penarinya yang berjumlah puluhan orang. Penari-penari tersebut duduk melingkar dan kemudian menyerukan kata-kata “Cak” dalam irama-irama yang berbeda sambil mengangkat kedua lengannya.

Tari Kecak ini sebenarnya, merupakan tarian yang tergolong baru, karena tari Kecak diciptakan pada tahun 1930 dari hasil kerja sama antara I Wayam Limbak dan Walter Spies, seorang pelukis berkebangsaan Jerman. Meskipun demikian, bukan berarti tari Kecak tidak bersifat sakral-religius. Penciptaan tari Kecak itu sendiri pada dasarnya diambil dari ritual tarian Sang Hyang dimana penari yang berada dalam kondisi “Kerauhan” (kesurupan atau tidak sadar) menjadi media penghubung antara manusia dengan para dewa atau roh para leluhur. Dalam perkembangannya, tari Kecak ini mengalami berbagai modifikasi, salah satunya adalah disisipkannya epos Ramayana ke dalam tarian Kecak. Modifikasi tersebut bertahan hingga zaman sekarang, maka jangan heran jika hampir di setiap pertunjukkan tari Kecak selalu menampilkan cerita dari epos Ramayana. (pj)